Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jejak Kebhinekaan dalam Sejarah Pemukiman Swapraja Etnis Bolaang Mongondow

6 Februari 2021   19:41 Diperbarui: 8 Februari 2021   11:00 2462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow, awal abad 19. Sumber: Asmunandar/Balai Arkeologi Sulawesi Utara

Pembaca Kompasiana yang budiman, ada yang tahu Kabupaten Bolaang Mongondow? Mungkin bagi sebagian orang nama Bolaang Mongondow itu masih terasa asing. 

Bolaang Mongondow adalah salah satu nama daerah kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara. Dahulu, pada masa sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan di wilayah Semenanjung Minahasa, pada abad 16 M, berdiri sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama Kerajaan Bolaang Mongondow. 

Kerajaan-kerajaan di daerah Bolaang Mongondoow, yakni Kerajaan Bolaang Mongondow, Bintauna, Bolaang Itang dan Kaidipang, serta Kerajaan Bolaang Uki.

Saat ini, daerah itu mencakup wilayah administratif Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, yang berbatasan dengan wilayah administratif Provinsi Gorontalo.

Dalam sejarah nasional memang sejarah perjalanan kerajaan ini tidak banyak dikenal. Pun demikian, tidak banyak referensi yang bisa kita peroleh untuk mengetahui wilayah itu. 

Karena minimnya kajian sejarah tentang perkembangan Kerajaan di Bolaang Mongondow itu, maka beberapa peneliti dan akademisi baru-baru ini melakukan riset desk studi, untuk menelusuri jejak kerajaan tersebut. Riset ini melalui pendekatan desk studi arkeologi sejarah. 

Pintu masuk kajian dari Desk Studi berusaha mengungkap jejak pemukiman multietnis di wilayah kerajaan, yang kemudian diketahui memiliki peran cukup penting dalam sejarah peradaban di wilayah Semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara itu. 

Adalah Asmunandar, seorang arkeolog yang juga staf pengajar di Universitas Negeri Makassar bersama tim peneliti dari Balai Arkeologi Sulawesi Utara, menelusuri jejak pemukiman multietnis di wilayah kerajaan ini melalui riset desk studi. Pada intinya riset ini bertumpu pada metode penelusuruan pustaka, kajian terhadap peta-peta kuno yang masih bisa ditemukan, selain juga melakukan wawancara dan diskusi terpumpun. 

Dalam perencanaan penelitian awalnya difokuskan pada wilayah yang pada masa lampau merupakan wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaang Itang, Bintauna, Bolaang Itang, Kaidipang serta Kerajaan Bolaang Uki, dan masa kemudian wilayah-wilayah tersebut ketika menjadi wilayah swapraja.

Saat ini wilayah-wilayah kerajaan tersebut meliputi beberapa wilayah administratif dari Kabupaten Bolaang Mongondow hingga Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, di perbatasan wilayah dengan Provinsi Gorontalo.

Sekelumit Sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow

Sebutan swapraja tidak dikenal di dalam Undang-undang Dasar 1945. Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 dapat dijumpai kata zelfbesturende landscha (peraturan pemerintahan). 

Namun kemudian dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 dan Undang-undang Sementara Tahun 1950 dijumpai sebutan swapraja, masing-masing dalam Bab II dan Bab IV. 

Di dalam Bab II bagian III Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang berjudul daerah swapraja Pasal 64 dan 65 menyatakan bahwa; Daerah-daerah swapraja yang sudah ada diakui. 

Pengaturan kedudukan daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan, dengan pengertian bahwa pengaturan daerah itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah-daerah bagian dengan daerah-daerah swapraja yang bersangkutan. 

Dalam Bab IV UUDS 1950 yang berjudul Pemerintah Daerah dan Pemerintah Swapraja, dinyatakan dalam Pasal 32 bahwa kedudukan daerah-daerah swapraja diatur oleh undang-undang.

Swapraja pada dasarnya tidak bisa lepas dari pemerintahan Hindia Belanda. Sumber hukum yang digunakan oleh pemerintah swapraja adalah apa yang diperjanjikan atau tersurat dalam perjanjian antara pemerintah swapraja dan pemerintah Hindia Belanda. 

Hukum adat dari swapraja setempat yang tidak bertentangan dengan pemerintahan penjajah, serta ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam hukum antar negara (volkenrecht) seperti pembajakan laut bebas dan lainnya. 

Dalam riset deskt study itu, Asmunandar dan kawan-kawan (2020) memfokuskan di wilayah Bolaang Mongondow, untuk melihat perkembangan permukiman pada masa kerajaan.

Data hasil desk studi dalam penelitian ini adalah sumber informasi berupa resume hasil studi terhadap referensi dan kajian sumber pustaka baik yang dilakukan secara daring maupun luring.

Wilayah Bolaang Mongondow pada tahun 1883 Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:815258
Wilayah Bolaang Mongondow pada tahun 1883 Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:815258
Pada setiap melakukan penelitian tentunya tidak lepas dari yang namanya sumber sejarah, karena dalam pengumpulan data dan sumber merupakan langkah yang sangat penting dalam melakukan penyusunan historiografi. 

Asal usul penduduk Bolaang Mongondow menurut legenda rakyat, nenek moyang mereka pada mulanya tinggal di sekitar muara Sungai Sangkub Bintauna. 

Manusia disana terdiri dua pasang suami istri, yakni masing-masing Guma Langit dan Tendeduata sebagai istrinya, dan Tumotoy Bokol dengan istrinya Tumotoy Bokat. 

Gumalangit artinya turun dari langit sedangkan Tendeduata artinya putra dari dewa, sedangkan Tumotoy Bokol artinya yang meniti dari ombak dan Tumotoy Bokat artinya yang keluar dari pecahan ombak.

Mengingat riset ini pendekatan desk study, tentu data lapangan, berupa data arkeologi yang otentik, belum bisa ditemukan. Namun penelusuran pustaka ini, setidaknya menjadi data awal untuk ditindaklanjuti dalam penelitian arkeologi di lapangan nantinya. 

Pada akhir abad ke-19, terdapat lima kerajaan yang berpemerintahan sendiri (zelfbestuurendelandschappen) di Bolaang Mongondow, yaitu:

Pertama, Kerajaan Bolaang Mongondow, diperintah oleh Raja Riedel Manuel Manoppo (1893-1901). Letak ibukotanya adalah Bolaang yang terletak di pesisir Utara. 

Riedel Manuel Manoppo digantikan oleh Raja Datu Cornelis Manoppo (1901-1927) dan memindahkan ibukotanya ke Kotabangon di pedalaman. Pada 28 Juni 1928, Laurens Cornelis Manoppo diangkat menjadi raja.

Laurens Cornelis Manoppo (1928-1947) diganti oleh Henny Yusuf Cornelis Manoppo (1947–1950) sebagai raja terakhir.

Kedua, Kerajaan Bolaang Uki, di bawah Raja Willem van Gobel (1872-1901). Pada awalnya ibukota berada di Walugu kemudian Sauk, keduanya terletak di pesisir Utara. 

Willem van Gobel digantikan oleh Hasan Iskandar van Gobel (1901-1941), yang pada tahun 1906 memindahkan ibukota ke Molibagu di pesisir selatan.

Peta Afdeling Bolang Mongondow dan sebaran sekolah-sekolah pada akhir tahun 1916Sumber: www.delpher.nl
Peta Afdeling Bolang Mongondow dan sebaran sekolah-sekolah pada akhir tahun 1916Sumber: www.delpher.nl
Ketiga, Kerajaan Bintauna, di bawah kekuasaan Raja Muhamad Turadju Datunsolang (1895-1948). Ibukotanya berpindah dari Fantayo ke Minanga, dan kemudian pindah ke Pimpi, ketiganya berada di pesisir Utara.

Keempat, Kerajaan Bolaang Itang, di bawah kekuasaan Raja Bondji Ponto (1890-1907) dan digantikan oleh Raja Ram Suit Ponto (1907-1950). Ibukota kerajaan ini adalah Bolaang Itang di pesisir Utara.

Kelima, Kerajaan Kaidipang, di bawah kekuasaan Raja Antugia Korompot (1897-1910), yang ibukotanya adalah Baroko berada di pesisir Utara, dekat perbatasan dengan bekas Kerajaan Atinggola di Gorontalo.

Kelima kerajaan tersebut memiliki hubungan yang erat antara kerajaan yang satu dengan yang lain. Hubungan yang baik tersebut tidak terlepas dari faktor keturunan, kekerabatan, kesamaan bahasa dan adat, dan faktor perkawinan politik. 

Etnis dan Agama di Bolaang Mongondow

Wilayah Bolaang Mongondow merupakan bagian dari wilayah Karesidenan Manado. Pada tahun 1903, pemerintah Hindia Belanda membentuk daerah Bolaang Mongondow menjadi daerah Afdeeling.

Wilayah Afdeeling tersebut terdiri dari Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Bintauna, Bolaang Itang, dan Kaidipang yang dipimpin oleh seorang Kontrolir. 

Wilayah-wilayah yang disebutkan itu pada masa lampau merupakan sebuah wilayah kerajaan, yang pada masa Belanda, menjadi daerah Swapraja, dan saat kini merupakan daerah-daerah administratif kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara. 

Tabel. Keadaan penduduk multietnis menurut Kebangsaan di Karesidenan Manado Sekitar Tahun 1940. Sumber: M. van Rhijn. 1941. Memorie van Overgave het Bestuur van den aftreden den Resident van Manado via Asmunandar/Balai Arkeologi Sulawesi Utara
Tabel. Keadaan penduduk multietnis menurut Kebangsaan di Karesidenan Manado Sekitar Tahun 1940. Sumber: M. van Rhijn. 1941. Memorie van Overgave het Bestuur van den aftreden den Resident van Manado via Asmunandar/Balai Arkeologi Sulawesi Utara
Penduduk asli onderafdeling Bolaang-Mongondow adalah orang Mongondow, orang Bolaang-oeki (secara singkat disebut orang Bolaang), orang Bintaoena dan orang Kaidipang. 

Di dalam dan di luar onderafdeling banyak juga yang menyebut diri mereka orang Bolaang-Mongondow. Dari empat sub-kelompok orang Bolaang-Mongondouw, orang Mongondouw merupakan sub kelompok yang terbesar. 

Jumlah mereka di Karesidenan Manado sebanyak 46.269 jiwa, berikutnya orang Kaidipang (8.451 jiwa), orang Bolaang (4.519) dan orang Bintaoena (1926). Namun ada juga 2.559 orang, yang mengakui nama Bolaang-Mongondow.

Dalam catatan Volkstelling 91930), masyarakat Bolaang Mongondow mengalami pertambahan penduduk. Penduduk kemudian menyebar dan menempati kampung-kampung dan membentuk sistem sosial kekerabatan yang disebut Lolaigan. 

Sistem sosial ini masih terbatas pada kekerabatan sempit yang didasarkan pada ikatan marga. Sekitar tahun 1930, jumlah penduduk onderafdeling Bolaang Mongondouw terdiri dari pribumi 70.633 orang, Eropa 124 orang, Cina 859 orang, dan Timur Jauh 373 orang (John Purba, 2019).

Pada tahun 1940, jumlah penduduk Bolaang Mongondow mengalami peningkatan menjadi berjumlah 80.573 orang pribumi, 119 orang Eropa, 835 orang Cina, dan 387 orang timur asing lainnya.

Berdasarkan data ini, maka sejarah membuktikan, bahwa kehidupan multibudaya sudah tumbuh jauh pada masa awal-awal Keindonesiaan lahir. Pengetahuan sejarah tentang kemultibudayaan ini perlu dirawat dalam rangka tegaknya Keindonesiaan kita. 

Penelitian Arkeologi: Pemukiman Multietnis dan Kajian Kebhinekaan

Data literatur yang sudah dipaparkan, dapat mengkonfirmasi tentang perkembangan sejarah pemukiman multietnis dan multibudaya yang sudah ada sejak dulu di Bumi Bolaang Mongondow di Semenanjung Minahasa. 

Data pustaka ini tentu menjadi kajian arkeologi yang penting untuk ditindaklanjuti melalui studi lapangan yang komprehensif dan multidisiplin. Tidak hanya penelitian arkeologi, namun juga sejarah dan antropologi.

Hal ini penting untuk mengungkap jatidiri Indonesia yang multikultur sejak ratusan tahun lalu, pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan primordial. 

Diperlukan penelitian secara komprehensif dan intensif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian mengenai keragaman suku bangsa. 

Keragaman budaya yang dihasilkan baik budaya benda (tangible) dan budaya tak benda  (intangible), dan pola pemukiman di Bolaang Mongondow sehingga akan menghasilkan penelitian yang mengangkat isu-isu kebhinekaan. 

Kajian tentang pemukiman dalam konteks perkembangan sejarah budaya dari masa kerajaan hingga menjadi wilayah swapraja khususnya di wilayah Bolaang Mongondow sangat penting ditelusuri untuk melihat jejak-jejak perkembangan multietnis dan multikultur. 

Demikian... Salam Kebhinekaan... Salam Multibudaya... Salam Lestari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun