Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penghasilan Istri, Pembagian Kerja, dan Kesetaraan Gender

20 Desember 2020   09:22 Diperbarui: 20 Desember 2020   18:09 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padalah dalam soal penghasilan istri, sebagaimana juga tentang tukar peran dalam rumah tangga, adalah soal konstruksi sosial kesetaraan gender. 

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ghea Lintang Amor dan kawan-kawan baru-baru ini (2020), yang diterbitkan oleh Jurnal Hikmatina, disebutkan kesetaraan gender itu berarti terdapat kesamaan kondisi bagi suami dan istri untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan domestik maupun non domestik. 

Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak-adilan struktural. Ketidak-adilan atau diskriminasi itu seringnya menimpa perempuan (istri) dibandingkan laki-laki (suami). 

Bentuk-bentuk diskriminasi gender adalah: marginalisasi (peminggiran), subordinasi (penomor duaan), stereotype (citra buruk) dan violence (kekerasan), Double Burden (beban ganda). 

Jadi soal istri bekerja dan berpenghasilan adalah bicara tentang kesetaraan gender. Dengan demikian, jika istri berpenghasilan lebih besar dari suami, ya biasa sajalah, karena ini terkait soal-soal itu. Konstruksi sosial dan kesetaraan gender.

Dalam perkembangannya, istri tidak melulu mau diperlakukan sebagai subordinat, dianggap lemah, tidak mampu memimpin dan lebih banyak berperasaan dibanding akal. 

Istri, dalam rumah tangga juga tidak boleh selalu terpinggirkan, karena stereotype dapur, sumur, kasur. Stereotype tersebut menyebabkan jika istri bekerja dan berpenghasilan, apalagi lebih besar dari penghasilan suami justru bercitra buruk seperti, menyalahi kodratlah, menguasai suami, dan citra buruk lainnya. 

Dalam konsep itu juga ada peran setara antara suami dan istri, peran domestik tidak harus selalu dilakukan oleh istri, sebaliknya peran mencari nafkah juga tidak selalu harus tanggungjawab satu-satunya oleh suami. 

Tukar peran dalam rumah tangga adalah juga konstruksi sosial yang memungkinkan bagi lahirnya kesetaraan gender. Ada ruang dan penghormatan yang sama antara suami dan istri. 

Kenapa kita mesti resah soal itu, jika nenek moyang kita sejak ribuan tahun yang lalupun sudah memperkenalkan dan mewariskan konsep kesetaraan gender, juga dalam soal pembagian kerja. 

Dalam kacamata mata arkeologi, saya pernah mengulas soal pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam soal pembuatan gerabah yang sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun