Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penghasilan Istri, Pembagian Kerja, dan Kesetaraan Gender

20 Desember 2020   09:22 Diperbarui: 20 Desember 2020   18:09 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penghasilan Istri, Pembagian Kerja dan Kesetaraan Gender. Sumber: https://www.kemenpppa.go.id/i

Dulu sekali, zaman nenek kita, istri selalu identik dengan sumur, dapur, kasur. Itu dulu sekali, kemudian semua stereotype itu dibongkar oleh R.A Kartini, dengan perjuangan emansipasi wanitanya. 

Sejak itu, wanita mendapat tempat yang lebih layak dalam kontruksi sosial dan lingkungannya. Termasuk soal peran wanita dalam setiap aspek kehidupan, khususnya jika bicara tentang Indonesia. 

Dalam bidang politik, bahkan wanita diberi porsi tersendiri melalui regulasi yang mengikat, yakni ambang batas minimal 30% senat atau DPR, diisi oleh kaum wanita. 

Bagaimana dalam rumah tangga? Soal peran istri dalam urusan penghasilan keluarga? Sebenarnya beberapa waktu lalu, topik pilihan Kompasiana soal tukar peran Istri dalam rumah tangga, sedikit banyak berhubungan dengan soal ini. Yakni istri bekerja untuk menambah penghasilan suami. Lalu kemudian pertanyaan semakin berkembang lagi, bagaimana jika istri memiliki penghasilan lebih besar daripada suami?

Dalam kacamamata konstruksi sosial, khususnya soal kesetaraan gender, fenomena ini sebenarnya biasa saja. Apa yang salah jika istri mempunyai penghasilan lebih besar. 

Hal ini karena ruang untuk itu memang sudah terbuka lebar. Hanya sikap suami saja yang perlu dipertanyaakan, soal gengsi, harga diri dan sebagainya. Ini soal stigma suami bahwa jika suami penghasilannya lebih rendah, menurunkan derajat dan wibawa suami. 

Itu khan stigma, yang sebenarnya dilahirkan oleh pikiran negatif dan kondisi psikologis suami, karena terlanjur, memberi label bahwa istri adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak. 

Untuk soal ini saya pernah membahasnya dalam artikel berjudul "Relasi Suami Istri dan Bertukar Peran dalam Kacamata Sosial Budaya". Stigma pada suami yang menyebabkan seolah-olah jika istri bekerja, berprofesi dan berpenghasilan lebih tinggi dari suami. 

Oleh karena hal itu maka suami dianggap sebagai kepala rumah tangga yang lemah, kurang berwibawa dan penghormatan terhadap suami menjadi berkurang kadarnya. 

Itu adalah stigma pada suami, yang sebenarnya lahir dilatarbelakangi oleh tradisi patrilineal (garis ayah, laki-laki) sebagai tolak ukur dalam pemosisian peran laki-laki dan ayah dalam kehidupan sosial. Juga oleh kondisi psikologi sosial yang turut mengkondisikan lingkungan sosial yang sedemikian sudah terbentuk. 

Padalah dalam soal penghasilan istri, sebagaimana juga tentang tukar peran dalam rumah tangga, adalah soal konstruksi sosial kesetaraan gender. 

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ghea Lintang Amor dan kawan-kawan baru-baru ini (2020), yang diterbitkan oleh Jurnal Hikmatina, disebutkan kesetaraan gender itu berarti terdapat kesamaan kondisi bagi suami dan istri untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan domestik maupun non domestik. 

Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak-adilan struktural. Ketidak-adilan atau diskriminasi itu seringnya menimpa perempuan (istri) dibandingkan laki-laki (suami). 

Bentuk-bentuk diskriminasi gender adalah: marginalisasi (peminggiran), subordinasi (penomor duaan), stereotype (citra buruk) dan violence (kekerasan), Double Burden (beban ganda). 

Jadi soal istri bekerja dan berpenghasilan adalah bicara tentang kesetaraan gender. Dengan demikian, jika istri berpenghasilan lebih besar dari suami, ya biasa sajalah, karena ini terkait soal-soal itu. Konstruksi sosial dan kesetaraan gender.

Dalam perkembangannya, istri tidak melulu mau diperlakukan sebagai subordinat, dianggap lemah, tidak mampu memimpin dan lebih banyak berperasaan dibanding akal. 

Istri, dalam rumah tangga juga tidak boleh selalu terpinggirkan, karena stereotype dapur, sumur, kasur. Stereotype tersebut menyebabkan jika istri bekerja dan berpenghasilan, apalagi lebih besar dari penghasilan suami justru bercitra buruk seperti, menyalahi kodratlah, menguasai suami, dan citra buruk lainnya. 

Dalam konsep itu juga ada peran setara antara suami dan istri, peran domestik tidak harus selalu dilakukan oleh istri, sebaliknya peran mencari nafkah juga tidak selalu harus tanggungjawab satu-satunya oleh suami. 

Tukar peran dalam rumah tangga adalah juga konstruksi sosial yang memungkinkan bagi lahirnya kesetaraan gender. Ada ruang dan penghormatan yang sama antara suami dan istri. 

Kenapa kita mesti resah soal itu, jika nenek moyang kita sejak ribuan tahun yang lalupun sudah memperkenalkan dan mewariskan konsep kesetaraan gender, juga dalam soal pembagian kerja. 

Dalam kacamata mata arkeologi, saya pernah mengulas soal pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam soal pembuatan gerabah yang sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. 

Ada alasan dan persepektif kebudayaan yang melatar belakangi sehingga perempuanlah yang bekerja membuat gerabah. Selain itu jika dilihat dalam episode peradaban yang lain, ada indikasi bagaimana manusia prasejarah juga memiliki naluri tentang pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, walaupun sangat sederhana berdasarkan naluri semata. 

Ada bukti-bukti yang dapat menunjukkan bahwa sudah ada pembagian kerja antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal yang lebih jelas soal peran perempuan, misalnya dalam artikel saya tentang peran perempuan pada masa klasik Hindu Budha pada artikel berjudul " Perempuan dalam Peradaban". 

Dalam artikel tersebut dengan sangat gamblang, sebagaimana digambarkan melalui relief-relief candi. Gambaran tentang hidupnya kesetaraan gender. 

Adanya kesamaan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam soal jabatan-jabatan, baik yang diperoleh secara genelogis atau karena keturunan maupun prestasi.

 Antara lain : Raja dan ratu, Putra Mahkota dan Putri Mahkota, Pakai (penguasa wilayah Watak), Pejabat hukum, pejabat keagamaan, pejabat desa (hulu wanua, hulair, wariga, dan lain-lain), yang memperlihatkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan setara dalam konstruksi sosial sesuai zamannya. 

Jadi, soal istri penghasilan lebih tinggi dalam fenomena masa kini, adalah proses yang lahir dan berkembang secara alamiah, sebagai bagian dari proses perkembangan peradaban, tanpa melepaskan konteks tentang kodratnya sebagai wanita. 

Penghasilan bukan ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh kapasitas, kemampuan, tugas dan tanggungjawab. Pendek kata semua hal yang berlabel pada hubungan interpersonal dan sesuai beban tanggungjawab yang disandangnya.

Selain itu tidak ada pula norma agama yang dilanggar. Dalam kacamata agama, tidak ada yang melarang istri bekerja dan berpenghasilan lebih tinggi. Semua sebagai sebuah perkembangan peradaban, mengalir seiring waktu, tanpa melepaskan konteksnya secara kodrati sebagai bagian keteraturan Ilahiah. 

Kebudayaan, dalam konsep kesetaraan gender, juga dalam kacamata sosiologi sebagai konstruksi sosial. Kesetaraan gender menempati ruangnya dalam perkembangan zaman, perkembangan peradaban (budaya) dan perkembangan sosial. 

Demikian, soal penghasilan istri lebih tinggi, secara alamiah maka stigma pada suami akan semakin pudar. Hal ini jika fenomena itu bisa dikelola dengan baik, manajemen konflik diperlukan oleh suami dan istri. 

Ptensi-potensi konflik dalam rumah tangga, akibat tukar peran suami istri dan apalagi istri berpenghasilan lebih tinggi dikelola dengan komunikasi yang baik, bagian dari komunikasi personal, sekaligus komunikasi sosial. 

Relasi sosial suami dan istri menciptakan harmoni, jika komunikasi dan manajemen konflik diterapkan dengan baik. Salah satunya dengan memahami bahwa konstruksi sosial kesetaraan jender, adalah keniscayaan sosial dan budaya. 

Oleh karena itu, yang paling penting dibangun adalah manajemen konflik, membangun komunikasi yang baik agar tercipta relasi suami istri dalam rumah tangga yang ideal. 

Pada akhirnya, soal penghasilan istri lebih tinggi dari suami, adalah soal manajemen rumah tangga saja. Hal ini juga berhubungan soal dinamika sosial dan budaya. Lumrah dan mengalir alamiah. 

Hal itu juga sebagai sebuah proses perkembangan kebudayaan, tanpa kehilangan kontekstualisasinya dalam urusan yang bersifat kodrati. Istri adalah pendamping suami, ibu adalah ibu rumah tangga, ibu bagi anak-anaknya, sampai kapanpun juga. 

Demikian. 

Salam Budaya...Salam Lestari

Salam Hormat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun