Riset atau penelitian arkeologi, hingga saat ini masih terasa kurang populer, banyak kalangan masih juga belum paham tentang dunia riset arkeologi itu seperti apa.
Kebanyakan orang pada umumnya, bicara penelitian arkeologi dianggapnya hanya sebagai penelitian tentang masa lalu, tentang yang purba-purba, tentang purbakala.
Banyak informasi tentang hasil riset arkeologi tidak sampai ke masyarakat. Akibatnya, masyarakat masih menganggap bahwa penelitian atau riset arkeologi hanya untuk kalangan terbatas, dunia akademik semata yang membahas tentang perjalanan dan perkembangan peradaban.
Jika arkeologi bicara tentang peradaban, sebenarnya hal itu harus dipahami sebagai proses menerabas batas waktu. Arkeologi tidak hanya bicara masa lalu, namun menerabas batas hingga masa kekinian. Hal ini karena bicara peradaban, bukan soal masa lampau belaka, namun proses budaya atau proses peradaban hingga ke masa kini.
Perkembangan ilmu arkeologipun semakin hari semakin berkembang. Arkeologi tidak semata-mata hanya bicara tentang masa lampau. Soal ini sudah beberapa kali juga saya ulas di Kompasiana ini.
Jika dulu, masa awal perkembangan arkeologi, tidak salah jika arkeologi dianggap hanya bicara tentang artefak atau budaya dalam bentuk benda, para arkeolog awal, hanya mendeskripsikan saja benda-benda buatan manusia pada masa lampau.
Paling banter, para arkeolog menganalisa dan membuat interpretasi tentang kronologi atau sekuen waktu. Kapan benda ini dibuat dan dipakai, lalu dibuang atau tidak digunakan lagi.
Riset Arkeologi, Memaknai dan Melestarikan Kebudayaan
Arkeologi melalui riset-risetnya adalah usaha memaknai kebudayaan. Melalui Arkeologi, sebagai salah satu cabang studi kebudayaan, mempelajari peradaban masa lalu melalui artefak budaya, mempelajari tentang tinggalan budaya material yang dibuat atau dihasilkan manusia pada masa masa lampau.
Proses menemukan dan memaknai budaya masa lampau melalui kebudayaan material, dengan sendirinya juga menemukan makna kebudayaan non material, misalnya, tingkah laku, kebiasaan, cara-cara hidup, proses budaya. Penelitian arkeologi juga, sebuah cara memaknai budaya masa lampau berupa benda warisan masa lalu untuk mempelajari kebudayaan.
Pada prinsipnya arkeologi sesungguhnya sebuah cara untuk melestarikan kebudayaan, karena proses menemukan, memaknai kebudayaan masa lampau, menjadikan kebudayaan masa lampau yang tidak diketahui sebelumnya hadir kembali di masa kini. Hadirnya kembali kebudayaan, adalah proses awal, kebudayaan itu dilestarikan.
Demikian, sehingga dengan sendirinya, arkeologi adalah proses awal untuk melestarikan kebudayaan, dengan kata lain, proses pelestarian kebudayaan melekat dengan arkeologi.
Adalah McGimsey dan Davis (1977) mengatakan karena sumberdaya arkeologi bersifat tak teperbaharui, terbatas, dan kontekstual, ada suatu kebutuhan yang mendesak untuk melestarikan (to conserve) dan mengelola (to manage) sumberdaya itu agar terjamin pemanfaatannya selama mungkin.
Oleh karena itu di dalam pelestarian sumberdaya arkeologi, konservasi dipahami sebagai upaya untuk mendekati arkeologi berdasarkan filosofi yang menekankan perlindungan, pelestarian, dan atau pemanfaatan yang terkelola terhadap sumberdaya budaya untuk kepentingan generasi mendatang.
Hal inilah kemudian Fowller (1982) mengatakan bahwa upaya menerapkan kemampuan pengelolaan (merencanakan, mengatur, mengarahkan, mengendalikan, dan evaluasi) untuk mencapai tujuan pelestarian dengan melalui proses politis untuk melestarikan aspek-aspek penting dari warisan budaya kita untuk kepentingan masyarakat.
Jadi, manajemen sumberbudaya arkeologis mempunyai dasar filosofi yang mengkaitkan kegunaan warisan budaya itu untuk jati diri (cultural identity) yang diwujudkan dalam fungsi pendidikan, ekonomis lewat kepariwisataan, dan akademis untuk menjaga dan menyelamatkan sumberdaya tersebut (Henry Cleere,1990).
Sejak awal saya menjadi arkeolog, setidaknya saya memahami bahwa pertanyaan remeh temeh tentang apakah arkeologi itu? dan apa pentingnya belajar arkeologi? sepertinya pertanyaan yang terus bergelanyut dalam pikiran-pikiran awam.
Namun, pertanyaan yang terkesan sederhana itu sesungguhnya adalah mempertanyakan eksistensi arkeologi itu sendiri, setidaknya di Indonesia, sebagai salah satu negara bangsa dunia ketiga.
Negara berkembang yang gandrung dengan teknologi, yang dianggap sebagain besar orang, sebagai jawaban atas persoalan-persoalan dunia kekinian. Sebenarnya, arkeologi meskipun mempelajari masa lalu, namun juga dapat menjawab soal-soal kekinian, terlebih dalam soal penguatan karakter bangsa.
Sepuluh tahun lalu, ketika mengawali karir sebagai ASN arkeolog, saya memahami bahwa berdasarkan Rencana Induk Penelitian Arkeologi Nasional (RIPAN), setidaknya ada tujuh tema pokok penelitian.
Ketujuh tema pokok arkeologi itu menggambarkan bahwa penelitian arkeologi bertujuan dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
- Pertama: melakukan penelitian asal-usul penduduk nusantara dan proses migrasinya.
- Kedua: penelitian arkeologi masa prasejarah.
- Ketiga: penelitian arkeologi klasik Hindu-Budha.
- Keempat: penelitian arkeologi Islam-Kolonial.
- Kelima; penelitian arkeologi maritim.
- Keenam; penelitian etnoarkeologi, dan
- Ketujuh; pengembangan penelitian arkeologi publik sebagai bentuk penelitian arkeologi terapan.
Perkembangan arkeologi terus berlanjut. Narasi yang dibangunpun semakin meluas ke soal-soal kebijakan pembangunan pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya.
Kebijakanpun semakin berkembang berdasarkan rencana-rencana strategis yang dibangun. Secara kelembagaan arkeologi semakin mendapat tempat di pemerintah.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang cikal bakalnya sudah berdiri sejak tahun 1913, semakin berkembang, diperkuat pula oleh lembaga-lembaga arkeologi di daerah, dengan berdiri Balai Arkeologi di 10 Provinsi yang setiap balai menjangkau beberapa wilayah kerja.
Riset Arkeologi, Nawacita dan Rumah Peradaban
Kebijakan penerapan riset arkeologi semakin berkembang, melalui konsep nawacita pemerintahan Jokowi sejak tahun 2014. Dalam penerapannya berdasarkan nawacita itu, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengeluarkan kebijakan penelitian melalui 3 (tiga) konsep kebijakan, yaitu, pertama: penelitian arkeologi tema kebhinekaan. Kedua, penelitian arkeologi wilayah terluar atau terdepan dan ketiga, penelitian arkeologi maritim.
Selain itu untuk sarana pemasyarakatan arkeologi, Pusat Penelitian Arkeologi mengembangkan program yang disebut Rumah Peradaban. Rumah Peradaban merupakan domain program kebudayaan yang digagas oleh Pusat Arkelogi Nasional.
Bukan hanya bentuk fisik kebudayaan, namun juga menjadi media untuk saling berinteraksi dan mengkomunikasikan kepada masyarakat atau komunitas sehingga budaya peradaban masa lalu itu tetap hidup untuk menguatkan pembangunan karakter masyarakat.
Selain itu juga sebagai media interaksi antar masyarakat. Oleh karena itu Program Rumah Peradaban, dimaksudkan sebagai media penguatan pemahaman terhadap jati diri dan kebudayaannya, sebagai bagian dari revolusi mental, restorasi sosial masyarakat terhadap pemikiran persatuan dan pluralism.
Rumah Peradaban merupakan sarana edukasi dan pemasyarakatan hasil penelitian arkeologi untuk memberikan pemahaman tentang sejarah dan nilai budaya masa lampau dalam upaya paham (melek) budaya, pencerdasan bangsa, penumbuhan semangat kebangsaan, dan sumber inspirasi bagi pengembangan budaya yang berkepribadian.
Rumah Peradaban memediasi hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional beserta 10 Balai Arkeologi yang tersebar di seluruh Indonesia untuk kepentingan masyarakat (Mediation Archaeology).
Program Rumah Peradaban sebagai domain program kebudayaan Pusat Arkeologi Nasional dan 10 Balai Arkeologi se Indonesia merupakan sebuah konsep baru atau blue print, cetak biru, sebuah konsep baru yang mengarahkan kegiatan dalam sepuluh tahun mendatang, agar lebih meningkatkan peran dan kontribusinya bagi bangsa.
Sumberdaya Arkeologi Untuk Keadaban Bangsa dan Pemuliaan Peradaban
Konsep dengan tagline: ”Arkeologi untuk Bangsa” ini lahir dalam menyikapi program prioritas “Nawa Citta” pemerintahan sekarang dan yang ditegaskan dalam pertemuan dengan Dirjen Kebudayaan beberapa waktu yang lalu. Pada prinsipnya arkeologi untuk bangsa, adalah narasi untuk penguatan keadaban bangsa serta mengutip istilah yang sering disampaikan oleh I Made Geria, kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, bahwa arkeologi untuk pemuliaan peradaban.
Sebagai tantangan sekaligus kesempatan, konsep adalah pula sebuah blueprint yang diformulasikan dalam 3P, mencakup P1: Penelitian kebinekaan yang melekat pada Citta ke-9 (tagline: “Bineka Indonesiaku”); P2: Penelitian Arkeologi Maritim yang menyatu dengan Citta ke-1 dengan tagline: “Pulau Rumahku, Laut Halamanku”; dan P3: Pembangunan Rumah Peradaban yang berbaur dengan Citta ke-8 dan ke-9 dengan tagline: “Arkeologi untuk Keadaban bangsa.
Tidak hanya itu sejak dua tahun belakangan, penelitian Arkeologi juga diarahkan untuk tujuan SDG's ( Sustainable development Goals). Pada intinya, arkeologi tidak hanya bekerja di wilayah hulu, namun juga di wilayah hilir yakni pengelolaan dan pemanfaatannya, termasuk pemanfaatannya dalam pengembangan ekonomi kreatif.
Demikian. Salam Arkeologi, Salam Budaya, Salam Lestari.
Salam Hormat. Wuri Handoko 30/12/2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H