Daripada makan nasi campur harga sampai ratusan ribu rupiah, mending untuk sekedar mengisi perut, makan nasi ayam di KFC atau A&W, selain mengenyangkan, harga juga lebih masuk akal.Â
Seterusnya, pola pikir ini akan terbentuk dan menular ke banyak orang. Akibatnya, bagi para konsumen yang kebanyakan, mungkin akan meninggalkan warung makan di Bandara itu, dan lebih memilih makanan francaid, yang cepat saji dan lebih murah.Â
Tanpa Standar Harga, Bisa Ciptakan Persaingan Tidak Sehat
Jangankan di Bandara, di warung pinggir jalan saja, pernah ada kejadian atau fenomena, warung makan yang viral. Para sahabat mungkin ingat, pernah ada warung Tegal memasang harga sampai 700 ratus ribu rupiah untuk harga menu nasi dan kepiting.Â
Intinya ia memesan dua porsi nasi, kepiting, udang dan cumi serta 2 gelas es teh. Total harga yang harus dibayar Rp 700 ribu. Jelas saja harga ini mencengangkan, apalagi melihat area warung yang tampak sederhana (detik).
Padahal kalau dipikir, warug makan itu sederhana, bukan resto di Bandara, terminal atau stasiuan besar. Tentu saja, fenomena itu menjadi viral, karena konsumen merasa tertipu.Â
Tampaknya pemilik warung terkesan memanfaatkan kondisi, karena berada di jalur mudik. Jadi seenaknya mengetok harga, dengan asumsi orang pasti akan membayar.Â
Pemilik, tidak pernah berpikir panjang, jika keputusan mengetok harga seenaknya, menyebabkan konsumen kapok, memviralkan dan warungnya akan sepi dan bisnis mati. Â
Kembali soal harga makanan di Bandara, Terminal atau stasiun, terutama saya menyoroti di Bandara, karena seringkali saya alami. Apakah tidak ada asosiasi para pedagang kios di Bandara, yang bisa membuat kesepakatan atau mengatur regulasi soal harga.Â
Karena jika tidak ada aturan atau regulasi soal standar harga, maka dampaknya terjadi persaingan tidak sehat. Setiap gerai, kios, outlet atau apapun bisnis jasa penjualan barang dan makanan di Bandara, akan memasang harga semaunya.Â
Selain persaingan tidak sehat, juga bisa menimbulkan iklim usaha yang kurang kondusif juga. Bisa mengakibatkan dampak buruk justru terjadi bagi para pebisnis rumah makan di perjalanan (terutama bandara).Â