Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menyoal Standar Harga dan Solusi Jajan di Bandara

4 November 2020   14:55 Diperbarui: 5 November 2020   07:39 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam bandara, harganya bisa dua kali hingga tiga kali lipat. Sebotol air mineral di Alfamart atau Indomaret, di dalam bandara ataupun di luar bandara, harga relatif sama. Tetapi di kios-kios lain di dalam Bandara, kenapa jauh lebih mahal dengan di luar bandara? Ini pasti soal regulasi baik standar harga, perpajakan dan sebagainya? Kita harus bertanya kemana?

Bagi saya, juga mungkin para sahabat konsumen lain pada umumnya, tentu mengherankan, juga menjadi pertanyaan. Mungkin seperti yang di awal saya katakan, ini bukan semata soal harga, tetapi ada rasa 'kemanusiaan' kita terusik. Kita merasa dipaksa, atau bahkan juga ada yang merasa 'dibohongi'. 

Kadangkala di dalam paket menu yang ditawarkan tidak tertera daftar harga. Tahu-tahu, begitu kita disodori bill atau nota pembayaran, kita kaget dan protes dalam hati. Tapi tak mungkin protesnya disuarakan. Karena kalau di Bandara, kita bisa jatuh gengsi, kalau protes harga makanan. 

Di bagian sisi luar agak ke belakang dari terminal 2E Soetta, sisi kiri tempat pemberhentian Damri, ada warung makan murah. Sumber: https://manggaul.com/
Di bagian sisi luar agak ke belakang dari terminal 2E Soetta, sisi kiri tempat pemberhentian Damri, ada warung makan murah. Sumber: https://manggaul.com/
Ada anggapan, bahwa setiap orang yang bepergian menggunakan pesawat, adalah kelas sosial yang secara ekonomi mampu. Padahal, menggunakan pesawat karena kondisi memaksa. 

Perjalanan antar pulau yang jauh, tidak mungkin menggunakan moda transportasi lain, yang membutuhkan waktu yang jauh lebih lama. Lagian, hari gini naik pesawat itu kebutuhan, bukan gaya hidup. 

Kondisi kebutuhan, yang memaksa kita menggunakan pesawat, kesannya 'dimanfaatkan' para pebisnis makanan di Bandara, berapapun harganya pasti dibayar. 

Kalau niatnya seperti itu, tentu ini menjadi bisnis yang tidak sehat, suatu saat konsumen akan meninggalkannya. Kios atau warung makannya akan sepi. Pada akhirnya gulung tikar, dan akan cabut usahanya di Bandara itu. Rugi sendiri khan?

Maksud saya, sewajarnya sajalah. Saya paham, biaya sewa tempat dan pajak yang mahal di Bandara, tentu menjadi pertimbangan utama, bagi para pebisnis untuk melipat gandakan harga. 

Justru itu yang menjadi pertanyaan saya dan mungkin juga banyak orang lainnya, berapa sih cost yang harus dikeluarkan dalam setiap tahunnya, sehingga memasang harga makanannya setinggi langit atau semaunya saja.

Kalau begini terus prinsip dagang, lambat laun para pebisnis lokal justru akan ditinggalkan. Berikutnya para pemodal besar akan menggesernya dan monopoli bisnis pasti akan berlangsung, bagi para pemodal besar yang mampu menyeimbangkan antara biaya dan pendapatan, dalam jangka yang panjang. 

Para pemodal kecil, membuka kios atau gerai makanan di Bandara, pasti berharap untung cepat dan segera balik modal, selanjutnya tinggal menikmati keuntungan. Tapi tidak pernah memikirkan jangka panjangnya. Para konsumen akan berpikir, dan mencari alternatif atau pilihan lain yang lebih terjangkau. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun