Dalam studi arkeologi, diketahui keramik Cina di Indonesia sudah ada sejak abad 10M pada masa Dinasti Sung, bahkan ada yang lebih tua dari itu.Â
Saya memperoleh data, bahwa sebelum abad 16-17M, keramik asing hanya dimiliki oleh kelas bangsawan.Â
Simbol kelas bangsawan itu dapat dilihat dari aspek kepemilikan keramik, hanya ditemukan di pusat kerajaan, artinya di lingkungan istana atau lingkungan bangsawan.Â
Bahkan, ada juga data sekunder, bahwa keramik asing sudah menjadi bekal kubur para karaeng atau bangsawan di wilayah Kerajaan Gowa Tallo dan daerah palili (kerajaan taklukan) nya.Â
Tidak ada bukti pada masa sebelum abad 16 dan 17 M, keramik digunakan oleh masyarakat biasa. Bahkan pada abad 12M, di sebuah Kerajaan taklukan Gowa-Tallo, yaitu Kerajaan Sanrobone.Â
Lokasi itu adalah obyek penelitian arkeologi saya sewaktu menulis bahan skripsi, atau di wilayah Kabupaten Takalar sekarang, menunjukkan dengan pasti bahwa pada abad 12M, keramik hanya menjadi bekal kubur bangsawan setempat.Â
Lambat laun, pertarungan kelas ini menciptakan persaingan ekonomi. Apalagi pada abad 16-17M adalah puncak perdagangan, di mana pada masa itu nusantara memiliki sumber daya ekonomi sebagai sumber produksi yang melimpah.Â
Komoditi lokal dari rempah-rempah hingga komoditi unggulan lainnya sangat diminati pasar internasional. Dampak yang ditimbulkan adalah mobilitas sosial secara vertikal terjadi.Â
Masyarakat kelas bawah, secara ekonomi memiliki kesempatan yang luas untuk naik ke golongan atas. Meskipun secara geneologis, kelas bangsawan tidak tergantikan, namun secara ekonomi kelas masyarakat biasa, bisa naik kelas menjadi golongan kaya karena penguasaan sumber ekonomi.
Kesempatan itu terbuka luas, karena persaingan dagang masa itu sangat pesat. Singkatnya, pergolakan ekonomi memicu lahirnya kelas-kelas sosial baru, yang timbul dan tumbuh karena perputaran ekonomi yang pesat.
Jadi, keramik cina yang awalnya hanya dimiliki kaum bangsawan, lambat laun menjadi pasaran, diproduksi masal untuk memenuhi selera pasar di nusantara.Â