Maya, kekasih virtualku sudah lama sekali tidak menghubungiku. Sebenarnya aku tak suka menyebutnya kekasih virtual, kesannya kekinian. Padahal kami generasi jadul. Jauh sebelun trend virtual muncul. Tapi begitu nyatanya. Dia punya istilah sendiri soal itu.
Dia menyebut dirinya kekasih angkasa. Terserahlah. Kami memang belum pernah berjumpa. Hanya bersua pandang saja. Di angkasa. Samar dibalik kaca. Di dalam kotak persegi dan berjarak. jauh, tak terkira.Â
Tanpa bertemu, apalagi bercinta. Aneh. Iya, memang aneh. Biar saja. Selama empat tahun mengenal Maya, memang tak pernah sekalipun berjumpa. Tapi, entahlah kenapa kami tetap bersahabat baik. Walaupun dia meninggalkanku dan memilih orang lain. Iyalah, terang saja. Kekasih yang nyata. Saat ini, Maya hidup bahagia bersama suami dan keempat anaknya.Â
Dua anak Maya, aku hapal benar. Sejak perkenalan dan menjalin ikatan kasih angkasa, akulah ayah bagi dua anaknya dari suami yang terdahulu. Setidaknya, itulah predikat yang Maya sendiri sematkan padaku buat dua anaknya itu.
Maya, menikah dengan seorang duda beranak satu yang ditinggal mati istrinya. Dan dengan Maya, kini punya satu anak. Mereka hidup bahagia. Dan aku pikir Maya sudah lupa dan tidak pernah berpikir lagi tentangku.Â
Tiba-tiba dering ponselku yang cempreng itu menyalak lagi. Dering khusus yang memang kupasang hanya untuk panggilan dari Maya. Setelah beberapa tahun lamanya, sejak kami mengakhiri perjumpaan angkasa itu. Malam kemarin Maya menelponku lagi.Â
*******
Malam ini kembali bergemuruh. Bukan gemuruh angin di luar rumah. Tapi di dalam dadaku. Gemuruh sisa malam kemarin yang tak hilang juga. Gemuruh yang menyelipkan tanda tanya besar dengan hati kecil yang tak mampu kuterangkan dengan jernih. Gemuruh yang aneh, yang tak bisa kujelaskan. Gemuruh yang tak tahu darimana datangnya, pun kemana perginya nanti.
Mungkin lebih baik memang kudiamkan saja gemuruh ini. Mungkin nanti akan sirna dengan sendirinya. Seiring waktu berlalu. Seperti yang sudah-sudah. Ah...sialan jam dinding di rumahku kini tak berjarum. Bagaimana aku tahu waktu ini berlalu membawa gemuruh dalam dadaku.Â
Bagaimana cara berdamai dengan gemuruh? Aku masih mempertanyakan waktu. Bahkan ketika malam sudah mendekati pagi. Dan angin malam tak kuasa mengantarku ke dipan bambu. Tempatku biasa menghempaskan diri, berpuas pada ketidaksadaran lelap.Â
Gemuruh itu datang lagi. Kali ini menceritakan tentang segala tuntutan-tuntutan pikiranku sendiri. Pada perjalanan siang tadi, kemarin, bahkan siang-siang lalu. Entah siang yang keberapa kalinya dalam tahun-tahun yang sudah tak mampu kuhitung. Siang yang beberapa tahun teriknya memanggang batinku. Membakar. Panas, hingga kering dan tak berbentuk lagi. Hilang. Menguap
Juga memanaskan segala kesejukan yang pernah singgah. Dan kini mengering begitu saja. Aku seperti ikan asin, yang tak hanya kering dan asin kulit dan dagingku. Tapi juga kering dan asin, hati, jantung, dan segala yang terdalam dari ragaku. Ah bukan ragaku...tapi sukmaku.
Aku kekeringan, seperti pasir pantai yang kering di tengah terik dan saat musim surut. Â Kepiting pantai menggelepar kepanasan, dan mengering. Kepiting pantai adalah aku.
Biarlah...aku sebenarnya menikmatinya. Asal tak pernah diganggu. Sialan...kehadiran Maya menggangguku. Kemarin, beberapa lama waktunya, sudah mengering, menguap dan hilang.Â
" Kenapa kau menghubungiku lagi Maya? Tidakkah cukup bagimu membuatku kering. Dan aku sudah mampu menikmati, lalu membuangnya, hilang".
Aku menggerutu campur senang. Tapi rasa senang yang mengkhawatirkan. Aku pernah tahu. Aku bahkan pernah hapal. Rasa senang yang masih sama seperti dulu. Beberapa tahun lalu. Senang sebentar, lalu melayang. Ah...sialan, kenapa senang itu datang lagi. Kali ini aku ciut. Tersudut.
"Aku mimpi tentang kau Mas, berkali-kali. Kau datang kepadaku, di saat Abi tak di rumah"
Maya menuliskannya dalam pesan wingkat Whatsapp. Maya, mengacau pikirku. Menyebut mimpi yang ingin kuwujudkan. Ah sialan..ada Abi, nama yang tak ingin kusebut, nama yang seperti merebut. Kutu kupret. Aku mengumpat dalam hati.Â
"Kenapa Yah, tengah malam gini nglamun"
Ah..buru-buru kuhapus WA Maya dan kuarsipkan. Istriku memandangku penuh selidik. Matanya seperti mendelik. Biasa, mata yang selama beberapa tahun ini kadang membuatku bergidik. Tapi aku menyerah, pasrah, kalau harus ditelan mata yang sering mendelik itu.Â
*****
Aku terbangun sekitar jam 02.00 pagi waktu kamarku. Istriku terlihat terlelap, senyap. Aku keluar kamar, di sudut meja di dekat TV, kulihat ponselku kelap kelip.Â
" Mas, aku masih mimpi aku datang menemuimu, sebelumnya kau yang berkali-kali menemuiku"
"Eh, aneh, kamu berikan sepasang sepatu untukku"Â
" Istrimu tanya, kenapa kamu berikan sepasang sepatu itu untuk Maya, "
"Iya kasihkan saja, ini sepasang sepatu sudah lama. Katamu ke istrimu"
"Kamu dah gak muat Bu, kakimu semakin lebar. Begitu kata kamu ke istrimu"
"Kenapa mesti Maya, saudaraku yang lain banyak. Kata Istrimu
"Bukan cuma ke Maya, suami Maya juga aku kasih sepasang sepatuku. Katamu ke istrimu yang nanya terus!"
"Kira-kira apa arti mimpi itu ya Mas"Â
" Kamu memberikan sepasang sepatu untukku juga Abi. Apakah kamu mau bilang, pergilah sama Abi, lanjutkan langkahmu sama Abi. Begitu Mas"?
"Ataukah mimpi itu hanya sekedar bunga tidur, karena aku masih mikirin kamu dan masih berharap suatu saat berjodoh sama kamu ya Mas?"
Rentetan pesan WA Maya memberondongku. Seperti peluru di tengah malam buta yang suntuk. Â Cerita Maya soal sepasang sepatu istriku, diam-diam membuatku bergetar. Aku tak tahu mimpi itu, apa artinya.Â
Apakah seperti yang Maya katakan. Apakah di kepala Maya, masih ada aku. Atau justru karena di kepalaku masih ada Maya.Â
Tiba-tiba, kepalaku terasa berat dan kantukku mulai datang, berulang. Akupun terlelap. Hilang. Memeluk ponselku yang kedinginan semalaman.Â
****
Pagi itu suasana kantor tidak seperti biasanya. Di lobbi, teman-teman staf masih bergerombol, seperti pasar pagi. Mereka seperti bergunjing. Beberapa staf wanita, tampak asyik berkumpul satu meja. Sepertinya sedang membicarakan sesuatu atau seseorang. Lima belas menit lagi, jam masuk kantor. Tapi keadaan lobby, sepertinya belum menunjukkan tanda-tanda bubar. Aku termasuk datang kepagian, biasanya aku sering masuk mepet waktu. Maklum. Banyak ritual pagi mesti dilakukan di rumah sebelum ke kantor.Â
Aneh, pagi itu orang-orang kantor justru semakin banyak bergerombol di lobby. Seperti ada acara. Hmmm..acara penyambutan.Â
"Bram, tumben banget kamu datang lebih pagi, mentang-mentang bos baru, pagi ini datang" kata Jojo, teman ruanganku yang pagi ini tampak necis, dengan kemeja lengan panjang dan sepatunya yang habis disemir. Staf bagian akunting itu, hari ini sumringah.Â
"Hah? Bos baru? siapa bilang, kok aku baru tahu Jo. Emang, ada pergantian Direksi? kataku sambil melotot kaget
" Astaga, kamu tidak tahu dua hari lalu diumumkan, makanya tuh mata dan telinga jangan cuma ke komputer mulu, sekali-kali pake dengerin info dong" kata Jojo nyerocos.Â
"Kamu gak tahu kalau ada pergantian Direktur operasional? Bertukar, yang di sini ke Bandung, terus manajer keuangan di Bandung pindah kesini? terang Jojo meyakinkan aku yang masih melongo.Â
"Manajer kita, perempuan Bram, cantik lagi. Awas loh kamu, udah mata duitan, jangan mata perempuan lagi" kata Jojo tambah bawel.Â
Aku masih tergagap=gagap mengetahui info yang mendadak kudenar dari Jojo. Dan Bandung? Pikiranku melayang empat tahun lalu, aku kenal perempuan di angkasa. Gadis Bandung. Gumamku, walaupun gak nyambung. Selalu merasa aneh setiap kali mendengar nama kota itu. Hmmm...aneh. Tiba-tiba perasaanku merasa ada yang aneh.Â
Orang-orang semakin banyak berkumpul di lobby. Benar saja. Aku lihat bosku, direktur operasional, keluar dari lift dan menyapa beberapa orang di lobby. Aku masih tertegun. Bosku, sepertinya mukanya kurang bersemangat tidak seperti biasanya. Benar, sepertinya bosku itu sedang menunggu seseorang, juga staf-staf yang lain.Â
Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depan lobby. Sopir mobil itu sigap keluar dan berusaha membuka pintu mobil belakang. Namun sudah didului oleh satpam  yang lebih sigap. Seorang wanita cantik keluar dari mobil di bagian kursi belakang.Â
Orang-orang berkerumum, jadi aku tak bisa melihat dengan jelas. Sepertinya itu calon bosku yang baru. Ah...sialan, aku kebelet pipis. Gak tahan lagi, aku langsung ke toilet yang ada di dekat lobby, samping kiri.Â
Begitu aku keluar dari toilet, di lobby masih ramai. Tapi aku sudah tak melihat lagi wanita cantik calon bosku itu. Aku langsung ke lantai tujuh. Ke ruangan tempatku bekerja. Ternyata ruanganku sudah ramai.Â
Ah...wanita yang sama persis wajahnya yang selalu kulihat di layar kaca. Di kotak persegi seukuran kalkulator itu. Ambooii.... ada di ruangan staf akunting. Ruanganku!. Â Wanita yang selama empat tahun lamanya ku kenal.Â
Dan empat tahun lamanya setelah mengakhiri perjumpaan angkasa itu? Wanita yang bilang kuberi sepasang sepatu, dua malam kemarin itu.Â
Maya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H