Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kekasih Angkasa dan Sepasang Sepatunya

15 September 2020   14:21 Diperbarui: 15 September 2020   15:00 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar olahan pribadi

Juga memanaskan segala kesejukan yang pernah singgah. Dan kini mengering begitu saja. Aku seperti ikan asin, yang tak hanya kering dan asin kulit dan dagingku. Tapi juga kering dan asin, hati, jantung, dan segala yang terdalam dari ragaku. Ah bukan ragaku...tapi sukmaku.

Aku kekeringan, seperti pasir pantai yang kering di tengah terik dan saat musim surut.  Kepiting pantai menggelepar kepanasan, dan mengering. Kepiting pantai adalah aku.

Biarlah...aku sebenarnya menikmatinya. Asal tak pernah diganggu. Sialan...kehadiran Maya menggangguku. Kemarin, beberapa lama waktunya, sudah mengering, menguap dan hilang. 

" Kenapa kau menghubungiku lagi Maya? Tidakkah cukup bagimu membuatku kering. Dan aku sudah mampu menikmati, lalu membuangnya, hilang".

Aku menggerutu campur senang. Tapi rasa senang yang mengkhawatirkan. Aku pernah tahu. Aku bahkan pernah hapal. Rasa senang yang masih sama seperti dulu. Beberapa tahun lalu. Senang sebentar, lalu melayang. Ah...sialan, kenapa senang itu datang lagi. Kali ini aku ciut. Tersudut.

"Aku mimpi tentang kau Mas, berkali-kali. Kau datang kepadaku, di saat Abi tak di rumah"

Maya menuliskannya dalam pesan wingkat Whatsapp. Maya, mengacau pikirku. Menyebut mimpi yang ingin kuwujudkan. Ah sialan..ada Abi, nama yang tak ingin kusebut, nama yang seperti merebut. Kutu kupret. Aku mengumpat dalam hati. 

"Kenapa Yah, tengah malam gini nglamun"

Ah..buru-buru kuhapus WA Maya dan kuarsipkan. Istriku memandangku penuh selidik. Matanya seperti mendelik. Biasa, mata yang selama beberapa tahun ini kadang membuatku bergidik. Tapi aku menyerah, pasrah, kalau harus ditelan mata yang sering mendelik itu. 

*****

Aku terbangun sekitar jam 02.00 pagi waktu kamarku. Istriku terlihat terlelap, senyap. Aku keluar kamar, di sudut meja di dekat TV, kulihat ponselku kelap kelip. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun