Sesudah PD II, Cina menjadi plilhan baru untuk semangat nasionalime. Mendirikan Taiwan. RRC semakin kuat dan menguasai sehingga secara politik timbul One China Policy. Tapi Taiwan tumbuh sebagai negara industri yang maju, manufaktur maju.
Majunya industri, bukan ekonomi semata, tapi ada basis kultur yang kuat. Ada sikap mentalitas Cina yang agung. Great China mentality, yang menjadikan Taiwan justru survive.
Di sisi lain, adanya filofosofi Konfusian, mental kebaikan. Didorong oleh nilai-nilai budaya tertentu sebagai cultur resources. Nilai filosofi di Taiwan, intinya bahagia itu dicapai kalau kita berhasil selaras dengan kondisi sosial yang ada.
Artinya menjaga harmonisasi sosial. Selain itu secara sosial mereka taat pada strata dan hierarki. Setiap individu, setiap anak taat, orang tua, guru, pimpinan dan pemerintah. Setiap orang sadar posisinya ada di mana. Itulah inti filosofi Konfusian Taiwan
Masyarakat Taiwan, antisipatif dan protektif terhadap Covid, perbatasan dengan China dan Hongkong ditutup. Kewaspadaan sangat dijaga.Â
Secara kultural dan politis ada justified untuk menutup perbatasan, karena sejarahnya orang Taiwan berhadapan-hadapan dan resisten terhadap Wuhan. Â Tutup perbatasan, karena melindungi warga negaranya.
Selain itu karantina bukan hal yang menakutkan, karena difasilitasi dan dijamin dengan baik oleh pemerintah. Mereka berhasil di dua bulan pertama.Â
Pada masa second wave, pada bulan maret, protokol yang sama sebelumnya tetap diterapkan. Mereka bisa meredam covid, karena pengalaman dengan Sars pada tahun 2003.
Di Taiwan, ada 7 orang terjangkit Sars, dalam waktu cepat meningkat menjadi puluhan dan ratusan kasus, 600 kasus. Mereka belajar dari Sars.Â
Pada saat itu, mereka tidak pengalaman dan dikucilkan oleh WHO, ada kecerobohan. Pengalaman itu secara kultural, membuat langkah perbaikan. Membuat Taiwan jadi expert terhadap virus.
Modal sosial yang lama, akan bertahan dan menumbuhkan modal sosial baru. Sumberdaya bduaya, sebagai modal sosial harus dikembangkan.Â