Artinya, wanita Austronesia lebih dominan dari pada pria Melanesia. Kecenderungan orang-orang di Papua, menunjukkan pola lebih signifikan, penduduk perempuan Austronesia daripada dan pendudul laki-laki papua/Melanesia.Â
Setidaknya pada masa holocen, atau sepuluh ribu sampai lima belas ribu tahun yang lalu. Komunitas awal Austronesia adalah matrilineal. Jumlah Asian mitokondrial DNA 94 persen, Melanesian origin laki-laki hanya 6% dari garis keturunan mama dari populasi yang ditemukan.Â
Jadi pada masa holocen, perkawinan antara perempuan Austronesia, dengan laki-laki Papua atau Melanesia, menunjukkan bahwa pengaruh perempuan Austronesia sangat kuat di wilayah itu. Leluhur Asia sangat tinggi berasal dari perempuan Austronesia. Peengaruh yang sangat luas, dalam dalam satatus pengambilan keputusan, karena dominasi matrilineal perempuan Austronesia.
 Perempuan di Masa Kini
Ayu Utami, jurnalis, aktivis sekaligus sastrawati tampil pada sesi terakhir diskusi itu. Sebelumnya ia mengungkapkan, penjelasan arkeolog Titi Surti Nastiti soal konstruksi gender dalam masyarakat jawa kuno. Menurutnya, masa sekarang dapat belajar dari hasil-hasil penelitian arkeologi untuk menjadi referensi pilihan-pilihan wanita modern saat ini. Setelah itu, dengan kritis dan tajam, Ayu Tami menguraikan pemikirannya seperti berikut ini.
Kata Ayu Tami, bicara hari ini, maka bagaimana kaum perempuan dikonstruksi oleh negara, dapat dilihat dari fenomena yang muncul pada berita-berita terkini. Ditariknya RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) adalah berita yg cukup ramai. Ditarik pada saat kekerasan seksual tinggi, meningkat atau memang tinggi. Bahwa melihat perempuan dikonstruksi melalui peraturan-peraturan yang ditawarkan negara melalui sistem perundang-perundangan kita.
Aturan itu mau melindungi parempuan, tapi kalau kita lihat, melindungi dengan cara mengontrol atau pembatasan perempuan. Perda-perda, melarang perempuan keluar sendiri, mengatur cara pakaian perempuan, itu aturan untuk melindungi, sekalugus kontrol terhadap perempuan. RUU Kekerasan perempuan, terjadi di masyarakat di masyarakat modern ini.
Melanjutkan pemikirannya, Ayu Tami katakan yang terjadi sekarang adalah pertarungan model-model perlindungan perempuan. Untuk melindungi kekerasan, yang dibatasi itu perempuannya itu sndiri. Â Di luar soal akademis, semua itu kembali bagaimana sikap kita sebagai manusia, sebagai perempuan. Jelas kita mendukung emansimasi, mengoptimalkan aktulisasi potensi tanpa diskriminasi. Itulah kesadaran sekarang,kesadaran wanita modern. Kesadaran yang dimungkinkan oleh sistem masyarakat modern, yang mengakui hak asasi manusia.
Masa lalu, belum mengenal hak asai manusia, perlindungannya melalui ayah, suami, kaum laki-laki. Tapi di dunia modern sekarang, perlindungan oleh negara. Jadi model lama yang menjebak, bisa dirubah. RUU kekerasan seksual, perkembangan yang tidak bagus, karena pembatasan perempuan, atau kriminilassai terhadap korban. Pergulatan pemikiran, ide, hukum, menawarkan policy yang baru, tidak begitu saja menyodorkan emansiapasi, tapi perlu merumuskan emansipasi.
Indonesia punya ikon  emansipasi, yaitu kartini. Kartini punya pro kontra, tapi menjadi simbol atau ikon, meskipun tetap harus diterjemahkan secara kritis. Faktanya Kartini adalah simbol perlawanan wanita Indonesia, untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan Kartini adalah pintu masuk untuk memperjuangkan emansipasi.
Meskipun sekali lagi, perlu tetap diterjemahkan secara kritis. Kartini sebagai pintu masuk, untuk riset-riset lain, bahwa kontruksi emansipasi, tidak seperti yg ditawarkan oleh dunia barat. Secara kritis, kita bisa katakan pemahaman kartini tentang emansipasi, sangat dipengaruhi pengetahuan barat. Itu yg harus kita ubah. Menutup penjelasannya, Ayu Tami mengatakan, penelitian arkeologi ini sangat berguna membongkar mitos-mitos tentang pembatasan kaum perempuan.