Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan dalam Peradaban

8 Juli 2020   21:52 Diperbarui: 9 Juli 2020   12:31 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perempuan dalam Peradaban, Sumber: Titi Surti Nastiti-Puslit Arkenas

Program Diskusi Sambil Ngopi, Di Rumah Aja Kita Puslit Arkenas, yang digelar tiap bulan, mengangkat tema menarik dengan narasumber perempuan hebat arkeologi Indonesia, Titi Surti Nastiti, arkeolog senior dari Puslit Arkenas dan Marlyn Tolla, arkeolog Balai Arkeologi Papua, serta Ayu Tami,  seorang aktivis perempuan, jurnalis sekaligus sastrawati berbakat. 

Titi Surti Nastiti mungkin arkeolog wanita satu-satunya yang dimiliki oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang menguasai arkeologi klasik dan prasasti kuno. Sedangkan Marlyn Tolla, adalah arkeolog muda wanita yang kini sedang menyelesaikan Doktoralnya di Berlin, Jerman. Keduanya mendemonstrasikan pengetahuan arkeologi di bidang kepakarannya masing-masing. Didampingi oleh aktivis, jurnalis dan sastrawan kekinian yang cerdas dan kritis, seperti Ayu Utami, membuat diskusi itu berlangsung hangat dan mencerahkan.

Tema diskusi yang aktual bertajuk "Perempuan dalam Peradaban" mempertemukan cara pandang melihat peran dan emansipasi wanita dari budaya masa lampau dari dua arkeolog wanita dengan pemikiran kekinian dari sastrawati dan jurnalis wanita. Dan diikuti oleh banyak kalangan, menjadikan diskusi ini penting saya angkat reportasenya dalam forum terhomat, mencerdaskan dan mencerahkan seperti Kompasiana ini.

Puslit Arkenas, membuka sesi diskusi dengan Pengantar oleh Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria. Secara menggelitik ia, mengangkat isu yang menjadi headline berita kompas tentang fenomen Kawin Tangkap. Menurutnya fenomena ini, bisa menjadi isu yang dapat didiskusikan secara cerdas oleh para narasumber dan peserta. Made Geria, juga mengulik fenomena, kaum perempuan mulai menggeser maskulinitas dalam isu-isu politik, terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah. 

Katanya, kaum perempuan dalam beberapa pilkada wilayah, meningkat signifikan keikutsertaanya, dan ini menjadi berita baik untuk kita semua. Dalam pengantarnya, ia juga menjelaskan etimologi perempuan berasal dari Bahasa Melayu.  "Mpu" yang memiliki arti tuan, mulia, atau mahir. 

Per-empu-an dapat diartikan sebagai yang di-empu-kan, yakni makhluk yang dihormati dan dimuliakan. Sepanjang sejarah umat manusia, kehadiran perempuan selalu berjalan beriringan dengan laki-laki. Kehadirannya tidak hanya dikenali sebagai sosok berciri biologis yang berbeda dengan laki-laki, namun juga dikenali sebagai sosok yang memegang peran dan fungsi tertentu di dalam kehidupan. 

Riwayat perjalanan perempuan Nusantara mengukir kisahnya tersendiri. Bukti-bukti arkeologis memperlihatkan eksistensi perempuan sejak masa prasejarah. Adanya pembagian tugas berdasarkan gender menunjukkan kemampuan perempuan mengemban tugas tertentu. Seiring perjalanan waktu, perempuan semakin memperlihatkan eksistensinya di tengah masyarakat. 

Pada masa Jawa Kuno, kerap ditemui periode pemerintahan yang dipimpin oleh seorang perempuan. Meskipun terdapat pula sejarah kelam yang menyelimuti cerita perempuan Nusantara, namun berbagai kisah inspiratif perempuan di masa silam tidak boleh diabaikan.

Bagaimana dengan kini? Apakah perempuan Indonesia saat ini sudah mendapatkan kedudukan dan peran yang seharusnya di tengah masyarakat?

Perempuan Masa Jawa Kuno

Dr. Titi Surti Nastiti, mendemonstrasikan pengetahuan dari hasil kajian atas artefak-artefak kuno, prasasti=prasasti dan juga relief-relief di Candi Borobudur untuk menjelaskan keberadaan, peran dan hak emansipasi perempuan pada masyarakat Jawa kuno. Dalam bidang politik, menurut Nastiti, peran perempuan dalam masa jawa kuno dapat mengambil peran posisi yang tinggi, dari Kerajaan hingga ke desa. 

Kondisi yang memperlihatkan adanya kesetaraan gender, karena adanya kesamaan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Jabatan-jabatan tersebut, baik yang diperoleh secara genelogis atau karena keturunan maupun prestasi. Antara lain : Raja dan ratu, Putra Mahkota dan Putri Mahkota, Pakai (penguasa wilayah Watak), Pejabat hukum, pejabat keagamaan, pejabat desa (hulu wanua, hulair, wariga, dan lain-lain).

Di bidang sosial, kata Titi, sebagaimana digambarkan dalam relief-relief di Candi Borobudur, memperlihatkan bahwa kaum perempuan sudah terlibat kegiatan sosial, baik sebagai pendamping suami maupun sebagai diri sendiri. Salah satu relief di Candi Borobudur memperlihatkan seorang wanita mendampingi suami dalam melakukan Derma untuk kegiatan sosial. Lebih lanjut dalam prasasti-prasasti juga diterangkan adanya kegiatan suami istri memberikan tanahnya untuk shima, untuk pendirian bangunan  suci.

Di bidang ekonomi, dalam relief-relief candi maupun artefak, yang diterjemahkan oleh Titi Nastiti, juga sudah diatur tentang pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pekerjaan istri, selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ia juga membantu mengerjakan sawah dan di kala senggang juga menenun, menganyam, dan mebuat barang-barang dari rumah tangga. Sementara pekerjaan laki-laki seperti mencangkul, membajak sawah, menggembala dan sebagainya.

Di bidang hukum, Titi menyebut, satu-satunya prasasti, yakni Prasasti Guntur (907M) dari masa Mataram Kuno. Dalam prasasti itu menjelaskan bahwa kaum perempuan menjadi saksi dan pemutus suatu perkara.

Di bidang seni, baik laki-laki maupun perempuan sudah menunjukkan keahliannya di depan penonton. Dari artefak yang dikaji Titi, pertunjukkan tidak ahanya ditampilkan di dalam, ruangan, bahkan sudah juga menampilkan pertunjukan di jalan-jalan,seperti acrobat dan tari-tarian, sebagaimana ditunjukkan dalam relief Candi Borobudur. Kesimpulannya, sejak masa Jawa Kuno, kesetaraan gender sudah mendapatkan porsinya.  

Perempuan dan Kependudukan Austronesia di Papua 

Tentang asal-usul leluhur masyarakat, para arkeolog salah satunya melakukan pendekatan interpretasi atas mitokondrial DNA dari tulang manusia. Mitrokondrial, merupakan materi genetik DNA. Mitrokondial diturunkan secara genetis dari garis keturunan ibu. Mitrokondial dapat mengungkapkan perempuan dan persebaran populasi awal kependudukan di Papua. Penduduk yang hadir 45.000 tahun yang lalu, sebelum kedatangan Austronesia.

Berdasarkan distribusi genetik, mitokondrial di papua, distribusi Bahasa Austronesia menjadi tonggak awal para genetis. Ini untuk soal apakah penutur bahasa austrionesia, juga mewakili genetis penutur Austronesia.

Teori Out of Taiwan, persebaran penutur Austronesia dari Taiwan, ke kepulauan asia, membawa neolitik paket. Kemampuan berlayar, bercocok tanam, dan sebagainya sebagai bentuk transfer teknologi lebih maju, dari pengetahuan teknologi sebelumnya, di daratan Asia Tenggara. Penutur asutronesia, tersebar luas dan mendominasi Asia Tenggara, termasuk Papua, yang sebelumnya dikenal dengan polulasi melanesianya.

Nah, studi yang dilakukan Marlyn, ingin menjawab soal-soal bagaimana secara genetis, penutur Austronesia diturunkan dan menyebar menjadi populasi yang mendominasi wilayah Asia Tenggara, bahkan hingga termasuk wilayah daratan Papua, wilayah populasi Melanesia? Ada komponen penting yang luput dari perbincangan soal fenomena meluasnya kependudukan Austronesia. 

Katanya, hal itu adalah menyangkut genetik manusianya sendiri. Para genetis melakukan analisis, tentang  genetis. Salah satumya adalah tentang mitokondrial DNA. Tentang pewarisan genetis dari garis ibu. Dari sisi genetis, justru mitokondrial DNA lebih dominan dari Y kromoson, yang menurunkan populasi penduduk berdasarkan garis laki-laki atau ayah. 

Artinya, wanita Austronesia lebih dominan dari pada pria Melanesia. Kecenderungan orang-orang di Papua, menunjukkan pola lebih signifikan, penduduk perempuan Austronesia daripada dan pendudul laki-laki papua/Melanesia. 

Setidaknya pada masa holocen, atau sepuluh ribu sampai lima belas ribu tahun yang lalu. Komunitas awal Austronesia adalah matrilineal. Jumlah Asian mitokondrial DNA 94 persen, Melanesian origin laki-laki hanya 6% dari garis keturunan mama dari populasi yang ditemukan. 

Jadi pada masa holocen, perkawinan antara perempuan Austronesia, dengan laki-laki Papua atau Melanesia, menunjukkan bahwa pengaruh perempuan Austronesia sangat kuat di wilayah itu. Leluhur Asia sangat tinggi berasal dari perempuan Austronesia. Peengaruh yang sangat luas, dalam dalam satatus pengambilan keputusan, karena dominasi matrilineal perempuan Austronesia.

 Perempuan di Masa Kini

Ayu Utami, jurnalis, aktivis sekaligus sastrawati tampil pada sesi terakhir diskusi itu. Sebelumnya ia mengungkapkan, penjelasan arkeolog Titi Surti Nastiti soal konstruksi gender dalam masyarakat jawa kuno. Menurutnya, masa sekarang dapat belajar dari hasil-hasil penelitian arkeologi untuk menjadi referensi pilihan-pilihan wanita modern saat ini. Setelah itu, dengan kritis dan tajam, Ayu Tami menguraikan pemikirannya seperti berikut ini.

Kata Ayu Tami, bicara hari ini, maka bagaimana kaum perempuan dikonstruksi oleh negara, dapat dilihat dari fenomena yang muncul pada berita-berita terkini. Ditariknya RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) adalah berita yg cukup ramai. Ditarik pada saat kekerasan seksual tinggi, meningkat atau memang tinggi. Bahwa melihat perempuan dikonstruksi melalui peraturan-peraturan yang ditawarkan negara melalui sistem perundang-perundangan kita.

Aturan itu mau melindungi parempuan, tapi kalau kita lihat, melindungi dengan cara mengontrol atau pembatasan perempuan. Perda-perda, melarang perempuan keluar sendiri, mengatur cara pakaian perempuan, itu aturan untuk melindungi, sekalugus kontrol terhadap perempuan. RUU Kekerasan perempuan, terjadi di masyarakat di masyarakat modern ini.

Melanjutkan pemikirannya, Ayu Tami katakan yang terjadi sekarang adalah pertarungan model-model perlindungan perempuan. Untuk melindungi kekerasan, yang dibatasi itu perempuannya itu sndiri.  Di luar soal akademis, semua itu kembali bagaimana sikap kita sebagai manusia, sebagai perempuan. Jelas kita mendukung emansimasi, mengoptimalkan aktulisasi potensi tanpa diskriminasi. Itulah kesadaran sekarang,kesadaran wanita modern. Kesadaran yang dimungkinkan oleh sistem masyarakat modern, yang mengakui hak asasi manusia.

Masa lalu, belum mengenal hak asai manusia, perlindungannya melalui ayah, suami, kaum laki-laki. Tapi di dunia modern sekarang, perlindungan oleh negara. Jadi model lama yang menjebak, bisa dirubah. RUU kekerasan seksual, perkembangan yang tidak bagus, karena pembatasan perempuan, atau kriminilassai terhadap korban. Pergulatan pemikiran, ide, hukum, menawarkan policy yang baru, tidak begitu saja menyodorkan emansiapasi, tapi perlu merumuskan emansipasi.

Indonesia punya ikon  emansipasi, yaitu kartini. Kartini punya pro kontra, tapi menjadi simbol atau ikon, meskipun tetap harus diterjemahkan secara kritis. Faktanya Kartini adalah simbol perlawanan wanita Indonesia, untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan Kartini adalah pintu masuk untuk memperjuangkan emansipasi.

Meskipun sekali lagi, perlu tetap diterjemahkan secara kritis. Kartini sebagai pintu masuk, untuk riset-riset lain, bahwa kontruksi emansipasi, tidak seperti yg ditawarkan oleh dunia barat. Secara kritis, kita bisa katakan pemahaman kartini tentang emansipasi, sangat dipengaruhi pengetahuan barat. Itu yg harus kita ubah. Menutup penjelasannya, Ayu Tami mengatakan, penelitian arkeologi ini sangat berguna membongkar mitos-mitos tentang pembatasan kaum perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun