Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#MerdekaBerpikir, #MerdekaMenulis

1 Juli 2020   22:06 Diperbarui: 21 Agustus 2021   23:49 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flyer Webinar Jurnalistik Arkeologi, 18 Juni lalu. SUmber Foto: Balai Arkeologi Sulawesi Utara

*#MerdekaBerpikir, #MerdekaMenulis*

Dalam suatu webinar yang kami adakan, saya mendampingi Mas Ahmad Arif, jurnalis Kompas, yang menulis buku “Hidup Mati di Negeri Cincin Api”.  

Mas Ahmad Arif, tentu sudah sangat popular di kalangan jurnalis. Ia mengaku sudah 20 tahun menjadi jurnalis Kompas. Feature-Featurenya di Kompas, selalu menarik dibaca. 

Memberi banyak pengetahuan, informatif dan menghibur. Ahmad Arif, juga sudah pengalaman dengan menulis Feature-Feature hasil riset arkeologi. Sangat tepat, jika kami mengundangnya untuk menjadi narasumber webinar kami.

Kami yang dimaksudkan adalah Balai Arkeologi Sulawesi Utara. Beruntung saya bisa berkenalan dengan beliau, waktu saya masih bekerja di Maluku.

Perkenalan dimulai saat beliau memulai project penulisan buku "Cincin Apinya", sehingga ada survei yang dilakukannya di Maluku. 

Perkenalan berlanjut, saat beliau mengisi acara di tempat saya bekerja sebelumnya di Kota Ambon. Oleh karena perkenalan sebelumnya, saya senang bisa mengundangnya kembali mengisi acara kami. 

Kami menggelar Webinar bertajuk Jurnalistik Arkeologi: Membumikan Arkeologi Cara Jurnalis. Sebagaimana juga pernah diulas oleh senior kami, Djulianto Susantio, yang menuliskannya pula di Kompasiana. Saya sendiri waktu itu juga mendampingi Ahmad Arif, menjadi narasumber.

Sebenarnya malu juga rasanya, saya yang tidak cukup punya pengalaman menjadi narasumber jurnalis, harus mendampingi Ahmad Arif. 

Alhasil, saya hanya ingin berbagi pengalaman, dan juga mengambil hikmah dari webinar kami. Buktinya, setelah empat hari kegiatan webinar kami, saya langsung membuat akun Kompasiana, dan mulai menulis. 

Sudah sepekan saya resmi menjadi warga Kompasiana. Bangga, senang dan selalu tertantang. Itu kesan pertama, saat saya sudah bisa “mulai menulis” di Kompasiana. 

Lebih senang lagi waktu akun saya tervalidasi, alias tercentang hijau dan menjadi debutan Kompasianer. Ini awal yang sangat baik. Kadang saya menyesal, kenapa tidak dari dulu. 

Tapi tidak ada yang perlu disesali, itulah manfaat dan hikmah. Mungkin memang harus seperti itu, cara saya memulai menulis di Kompasiana. Begitu memang jalannya.

Kembali soal webinar kami. Pemantik acara itu adalah sahabat saya arkeolog Universitas Hasanuddin. Ia juga ketua Perkumpulan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah Sulawesi, Maluku dan Papua. 

Yadi Mulyadi namanya. Kandidat doktoral Arkeologi Universitas Indonesia. Ia, mulai memperkenalkan kami sebagai narasumber. Tiba giliran pertama, yang diperkenalkan. 

Agak malu dan kurang percaya diri rasanya, waktu dia memperkenalkan, bahwa saya adalah juga jurnalis, sebelum menjadi arkeolog seperti sekarang. 

Begitu dipersilakan untuk menyampaikan materi, saya langsung memulainya untuk desclaimer. Saya meralat, bahwa saya bukanlah narasumber jurnalistik arkeologi. 

Pun, saya bukanlah mantan jurnalis. Saya hanya pernah belajar menjadi jurnalis waktu mahasiswa dulu di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Humaniora) Universitas Hasanuddin, Makassar. 

Itupun belajar jurnalistik, justru di luar kampus dan setelah selesai kuliah. Waktu itu koran lokal. Tidak populer dan tidak lama pula. Ya…hanya mampir sebentar di media lokal di Sulawesi Tengah waktu itu.

 Setelah, menyampaikan desclaimer, saya juga menyanggah, bahwa saya bukanlah narasumber jurnalistik. Saya sebenarnya hadir dalam webinar ini, untuk memprovokasi teman-teman peserta webinar agar mau menulis. Terutama menulis tentang fenomena kebudayaan. Dengan pintu masuknya tentang kearkeologian.

Kepada peserta webinar saya katakan waktu itu, saya ingin menyampaikan bahwa saya tidak menyampaikan materi tentang jurnalistik, tetapi mengajak kita untuk belajar bersama memetik pengalaman menjumpai fenomena kebudayaan, lalu tumbuh kepekaan, sense of cultural

Kepekaan  terhadap fenomena kebudayaan yang kita jumpai sehari-hari. Nah…maka arkeologi adalah termasuk di dalamnya. Karena arkeologi adalah material kultur, atau wujud kebendaan dari proses budaya.  

Jadi kepekaan terhada fenomena kebudayaan, sense of cultural, pintu masuknya melalui arkeologi, sehingga diharapkan tumbuh pula kepekaan terhadap fenomena kearkeologian, sense of archaeology.

Jika saudara-saudara memiliki kepekaan terhadap fenomena kebudayaan, maka saudara-saudara tentu saja juga akan tumbuh kepekaan terhadap persoalan kemanusiaan. 

Karena, bicara kebudayaan, tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari soal-soal kemanusiaan. 

Bicara tentang kebudayaan, selalu berhubungan dengan manusianya. Karena budaya, dihasilkan dari proses tingkah laku manusia. Demikian kalimat pembuka yang saya sampaikan dalam webinar itu. 

Jadi, saya mengajak perserta webinar, yang terdiri dari para jurnalis di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Juga para pelajar dan mahasiswa, guru, akademisi atau dosen, dan juga peneliti dari berbagai wilayah di Indonesia. 

Ajakan atau saya menggunakan kata provokasi, mengajak peserta untuk mengungkapkan pengalaman menjumpai fenomena kebudayaan di sekitar kita yang berhubungan dengan dunia arkeologi.

 Dunia yang mengajarkan kita tentang kebudayaan masa lalu, sehingga menimbulkan kepekaan anda dalam memahami fenomena budaya kekinian yang sesungguhnya merupakan proses berlanjut dari masa lalu. 

Kearifan lokal masyarakat contohnya, banyak hal budaya masyarakat saat ini yang masih menghormati atau mempertahakankan tradisi lokal, warisan kearifan leluhur dalam memahami kebudayaan hubungan antar manusia saat ini.

Feomena yang dijumpai, adalah sebuah pengalaman. Dan pengalaman itu tentu saja, seharusnya dituangkan dalam bentuk tulisan. Maka menulislah tentang fenomena kebudayaan yang kita jumpai.

 Mengapa kita perlu menulis pengalaman kita dalam melihat fenomena kebudayaan? karena kita ingin mengabarkan kepada dunia, apa yang kita alami, kita rasakan, kita lihat dan kita pikirkan.  

Atau kita berpikir dunia harus tahu apa yang kita lihat, kita alami dan kita pikirkan. Oleh karena lahir dari pengalaman, maka lahirlah kepekaan atau sense. 

Dan karena ada sense atau kepakaan, seharus kita merdeka dalam menyampaikan apa yang anda lihat, anda rasakan, dan anda pikirkan. #MerdekaBerpikir. 

Selanjutnya, karena kita merdeka dalam berpikir, maka seharusnya kitapun menulis dengan cara merdeka. #MerdekaMenulis. Artinya apa yang kita pikirkan, kita tuangkan dalam bentuk tulisan atau menulis dengan cara yang merdeka.

 Lalu dalam pandangan saya yang awam ini, #MerdekaMenulis adalah kita itu tidak perlu komposisi yang baku. Menulis menurut yang kita rasakan itu sesuai yang kita ingin sampaikan. 

Karena merdeka, semestinya tulisan kitapun seperti kita berbicara atau sedang bercerita. Naratif. Selain itu, pilihan kata atau diksi, juga cukup sederhana. Kata yang kita sampaikan, bisa dimengerti orang lain.  

Merdeka menulis, juga berarti tulisan diharapkan mengalir seperti air sungai di musim hujan. Kenapa bisa mengalir, karena kita berpikir merdeka, tanpa beban. 

Tulisan yang mengalir, karena dia ringan, tanpa beban. Lincah dalam gerak, ritmis mengikuti irama. Irama yang dimaksud adalah irama kata hati.

Seperti itulah, provokasi yang saya sampaikan kepada peserta webinar, untuk mulai menulis tentang pengalaman.

 Pengalaman apa saja menjumpai fenomena kebudayaan, melalui pintu arkeologi, Kebudayaan material. Akhirnya untuk membumikan arkeologi, Balai Arkeologi Sulawesi Utara mengajak kita untuk berkonstribusi menyampaikan pengamalan, menjumpai fenomena kearkeologian dalam buku kumpulan tulisan feature. 

Buku ini diharapkan akan berisi berbagai pengalaman kita menjumpai fenomena kearkeologian, baik tentang situs dan masyarakatnya, tentang hasil riset, tentang harapan kita dan masyarakat terhadap kekayaan warisan budaya, tentang fenomena kerusakan situs. 

Tentang apa saja yang kita jumpai dalam memahami kebudayaan dan situs arkeologi sebagai material budaya. 

Buku ini nantinya berisi kumpulan tulisan, hasil menjaring berbagai tulisan baik jurnalis, pelajar, maupun mahasiswa yang akan diendorse oleh arkeolog berpengalaman.

Disunting oleh penulis popular berbakat dan akan diterbitkan oleh penerbit buku yang terekomendasi. Semoga tahun depan buku itu bisa terbit.

Salam #MerdekaBerpikir

Salam #MerdekaMenulis


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun