*#MerdekaBerpikir, #MerdekaMenulis*
Dalam suatu webinar yang kami adakan, saya mendampingi Mas Ahmad Arif, jurnalis Kompas, yang menulis buku “Hidup Mati di Negeri Cincin Api”.
Mas Ahmad Arif, tentu sudah sangat popular di kalangan jurnalis. Ia mengaku sudah 20 tahun menjadi jurnalis Kompas. Feature-Featurenya di Kompas, selalu menarik dibaca.
Memberi banyak pengetahuan, informatif dan menghibur. Ahmad Arif, juga sudah pengalaman dengan menulis Feature-Feature hasil riset arkeologi. Sangat tepat, jika kami mengundangnya untuk menjadi narasumber webinar kami.
Kami yang dimaksudkan adalah Balai Arkeologi Sulawesi Utara. Beruntung saya bisa berkenalan dengan beliau, waktu saya masih bekerja di Maluku.
Perkenalan dimulai saat beliau memulai project penulisan buku "Cincin Apinya", sehingga ada survei yang dilakukannya di Maluku.
Perkenalan berlanjut, saat beliau mengisi acara di tempat saya bekerja sebelumnya di Kota Ambon. Oleh karena perkenalan sebelumnya, saya senang bisa mengundangnya kembali mengisi acara kami.
Kami menggelar Webinar bertajuk Jurnalistik Arkeologi: Membumikan Arkeologi Cara Jurnalis. Sebagaimana juga pernah diulas oleh senior kami, Djulianto Susantio, yang menuliskannya pula di Kompasiana. Saya sendiri waktu itu juga mendampingi Ahmad Arif, menjadi narasumber.
Sebenarnya malu juga rasanya, saya yang tidak cukup punya pengalaman menjadi narasumber jurnalis, harus mendampingi Ahmad Arif.
Alhasil, saya hanya ingin berbagi pengalaman, dan juga mengambil hikmah dari webinar kami. Buktinya, setelah empat hari kegiatan webinar kami, saya langsung membuat akun Kompasiana, dan mulai menulis.
Sudah sepekan saya resmi menjadi warga Kompasiana. Bangga, senang dan selalu tertantang. Itu kesan pertama, saat saya sudah bisa “mulai menulis” di Kompasiana.