Mohon tunggu...
Wurie hadi
Wurie hadi Mohon Tunggu... -

seorang dalam pencarian mencari kesejatian hidup,mengolah setiap pemikirannya lewat tulisan ringan berdasar apa yang dilihat, di dengar, dan dirasakan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Peperangan, Bencana Alam, Haruskah Ditambah dengan Tindakan Bodoh??

15 Maret 2011   16:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:46 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam terus bergulir, bertekad menyongsong esok pagi. Mataku belum juga terpejam. Angan semakin jauh. Ditemani sayup suara angin malam. Aku merasa menjadi hamba yang kecil, ditengah megahnya belantara dunia. Menyisakan peluh dan lelah melewati hari.

Ku ingin berbagi asa dan rasa. Berbagi tuk sedikit mengurangi sesak kecamuk dalam dada. Mirisnya mencari sesuap nasi untuk hidup dengan layak. Menempa diri dengan segudang pelik persoalan hidup. Dari satu masalah, melompat, berlari, dan kadang berjalan lambat ke masalah yang lain. Semua datang silih berganti.

Malam..gelap dan sunyi. Saat terindah tuk diisi dengan merenung. Mengevaluasi diri, menata mimpi, merangkai angan, membuat janji-janji tuk esok pagi.

Hari ini aku masih dapat tersenyum, menatap hijau dedaunan, berebut oksigen dengan makhluk bernyawa lainnya, dan memungut rizki dari sang khalik. Adakah esok masih dapat kutemui?

Jawabnya : Entah

Tuhan telah menunjukkan kebesarannya. Memberi kita sinyal untuk waspada. Namun banyak dari kita tak pernah sadar. Terus berpacu dengan hasrat dunia, mengenggam rupiah, meraih tahta, bergumul kemewahan semu. Lihatlah sejenak ke belahan dunia lain. Disana kobaran aksi anarkhisme sedang berlangsung. Demi sejengkal kekuasaan dan pengaruh, perang saudara berkecamuk. Korban jiwa dan raga tak lagi berharga syuhada. Hanya demi kepentingan kaum berambisi jabatan dan kekayaan. Tunisia, Mesir, Libya, Iran, dan entah akan merembet kemana lagi estafet revolusi kepemimpinan di jazirah itu akan bermuara.

Di sisi negeri yang lain, alam tak mau bersahabat. Negeri berjuluk matahari terbit kini bagai tak disinari mentari. Guncangan 8,9 Richter meluluhlantakan beton-beton berteknologi tinggi. Tsunami menyapu bersih setiap kepingan kehidupan modern paling canggih. Bencana belum ingin berlalu, reaktor nuklir berradiasi tinggi pun meledak di Fukushama. Bahaya radiokatif penyebab mutasi pun terbayang mengerikan di depan mata.

Ah.. ku ingin kembali menatap negeriku. Negeri tempat orokku dilahirkan tuk menghirup O2 pertama kali. Yang mengisi relung-relung paru dan setiap sel darahku. Negeriku pun tak ubahnya negeri dongeng. Banyak intrik, manipulasi dan tipu-tipu para elit. Tak satupun meringankan beban rakyat kecil...rakyat seperti aku. Pemimpin yang dirindu tak jua hadir, alampun tak setia dengan kedamaian, tak pelak ditambah polah manusia-manusia berotak dangkal.

Jika di Tunisia ambruknya kekuasaanya karena korupsi, di negeri ini tak hanya satu yang persis riwayatnya. Dari kepala desa, bupati, kepala daerah, hingga pengurus organisasi olah raga. Lebih lengkap dan dengan hierarki yang lebih berjenjang, menyumbangkan cerita yang sama.

Jika di Jepang ada gempa dan tsunami, di Indonesiapun tak luput dari bencana. Belum hilang di ingatan kita beberapa peristiwa bencana alam nasional yang menjadi perhatian dunia. Gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor, kebakaran hutan, semua pernah melanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun