Malam terus bergulir, bertekad menyongsong esok pagi. Mataku belum juga terpejam. Angan semakin jauh. Ditemani sayup suara angin malam. Aku merasa menjadi hamba yang kecil, ditengah megahnya belantara dunia. Menyisakan peluh dan lelah melewati hari.
Ku ingin berbagi asa dan rasa. Berbagi tuk sedikit mengurangi sesak kecamuk dalam dada. Mirisnya mencari sesuap nasi untuk hidup dengan layak. Menempa diri dengan segudang pelik persoalan hidup. Dari satu masalah, melompat, berlari, dan kadang berjalan lambat ke masalah yang lain. Semua datang silih berganti.
Malam..gelap dan sunyi. Saat terindah tuk diisi dengan merenung. Mengevaluasi diri, menata mimpi, merangkai angan, membuat janji-janji tuk esok pagi.
Hari ini aku masih dapat tersenyum, menatap hijau dedaunan, berebut oksigen dengan makhluk bernyawa lainnya, dan memungut rizki dari sang khalik. Adakah esok masih dapat kutemui?
Jawabnya : Entah
Tuhan telah menunjukkan kebesarannya. Memberi kita sinyal untuk waspada. Namun banyak dari kita tak pernah sadar. Terus berpacu dengan hasrat dunia, mengenggam rupiah, meraih tahta, bergumul kemewahan semu. Lihatlah sejenak ke belahan dunia lain. Disana kobaran aksi anarkhisme sedang berlangsung. Demi sejengkal kekuasaan dan pengaruh, perang saudara berkecamuk. Korban jiwa dan raga tak lagi berharga syuhada. Hanya demi kepentingan kaum berambisi jabatan dan kekayaan. Tunisia, Mesir, Libya, Iran, dan entah akan merembet kemana lagi estafet revolusi kepemimpinan di jazirah itu akan bermuara.
Di sisi negeri yang lain, alam tak mau bersahabat. Negeri berjuluk matahari terbit kini bagai tak disinari mentari. Guncangan 8,9 Richter meluluhlantakan beton-beton berteknologi tinggi. Tsunami menyapu bersih setiap kepingan kehidupan modern paling canggih. Bencana belum ingin berlalu, reaktor nuklir berradiasi tinggi pun meledak di Fukushama. Bahaya radiokatif penyebab mutasi pun terbayang mengerikan di depan mata.
Ah.. ku ingin kembali menatap negeriku. Negeri tempat orokku dilahirkan tuk menghirup O2 pertama kali. Yang mengisi relung-relung paru dan setiap sel darahku. Negeriku pun tak ubahnya negeri dongeng. Banyak intrik, manipulasi dan tipu-tipu para elit. Tak satupun meringankan beban rakyat kecil...rakyat seperti aku. Pemimpin yang dirindu tak jua hadir, alampun tak setia dengan kedamaian, tak pelak ditambah polah manusia-manusia berotak dangkal.
Jika di Tunisia ambruknya kekuasaanya karena korupsi, di negeri ini tak hanya satu yang persis riwayatnya. Dari kepala desa, bupati, kepala daerah, hingga pengurus organisasi olah raga. Lebih lengkap dan dengan hierarki yang lebih berjenjang, menyumbangkan cerita yang sama.
Jika di Jepang ada gempa dan tsunami, di Indonesiapun tak luput dari bencana. Belum hilang di ingatan kita beberapa peristiwa bencana alam nasional yang menjadi perhatian dunia. Gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor, kebakaran hutan, semua pernah melanda.
Lalu kebodohan apalagi yang membuat orang-orang " aneh " pun berbuat ulah? Tak bisakah melihat pengalaman dari negeri tetangga untuk bisa menikmati dan mewariskan kedamaian alam ini pada anak cucu?
Paket bom pada aktivis utan kayu, siapa bertangung jawab?
Pelarangan ahmadiyah di jawa barat, sinyalir sarat pelanggaran HAM, siapa bertangung jawab?
Tontonan sinetron tak bermutu, bersliweran tanpa basa basi memberi mimpi kosong. Suporter bola selalu berulah, merusak sarana umum. Anggota dewan minta naik gaji, tak ada empati pada si miskin. Media dipakai sarana adu kekuatan politik. Dan berita ini...berita itu...ada lagi yang ini..ada lagi yang itu...takkan berujung.
Lau apa artinya bagi hidupku?
Ku ingin sederhanakan mimpiku malam ini. Mendekap si kecil, dengan sejuta doa tuk masa depannya. Karena esok pagi ku harus bergelut kembali dengan dunia, kembali merangsek hidup , memungut rizki, dan menyelipkan doa-doa pengharapan, hingga matahari kembali tenggelam. Membiarkan masalah negri pada mereka yang berkompeten. Membiarkan masalah global bagi para pemikir yang kapabel. Ku tak ingin menambah kebodohan pada generasi esok. Jika dengan perang dan bencana alam pun hidup menjadi begitu rumit. Haruskah menambah dengan kekonyolan, hidup tanpa arah dan tujuan jelas? Membuat kerusakan, tanpa pernah mewariskan setitik bijak kehidupan adalah hal bodoh dan sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H