Sel yang tak mempunyai kesadaran layaknya manusia, tapi seakan mengetahui jalan mana yang harus ia tempuh untuk menemukan tempat paling kuat. Dan tempat yang terbaik dan kokoh adalah di dinding rahim. Maka nutfah yang mulanya tak berjejak, mengokohkan jejaringnya di sana hingga berwujud 'alaqah' yang semakin membesar menjadi janin dan terlahir sebagai anak manusia.Â
Tak ada satupun makhluq punya kuasa atas apa yang terjadi di dalam rahim. Perlindungannya yang kokoh, mengijinkan setiap sel nutfah membelah tanpa pernah salah. Bahkan sang ibu pemilik rahim pun tak punya kehendak atas apa yang terjadi. Janin pun berdetak, bernafas, makan, mendengar hingga sembilan bulan lamanya, dalam kedamaian yang begitu kokoh.
Maka adalah naif dan sebuah bentuk kebrutalan peradaban bila para feminis, pelaku LGBT dan para pendukungnya menafikan perbedaan laki-laki dan perempuan. Mereka berteriak bahwa perbedaan itu hanya terletak di bentuk dan wujud alat kelamin yang menempel pada tubuh laki-laki dan perempuan, selebihnya setiap perilaku dan budaya bisa direkayasa sekehendak nafsu manusia.Â
Bila perempuan bosan dengan keperempuanannya, maka dia pun bebas memilih untuk menjadi laki-laki. Karena bagi mereka, jenis kelamin tidak identik dengan perilaku atau menunjuk pada stereotype tertentu.
Para feminis menggaungkan bahwa perempuan semakin terpuruk derajatnya bila mengagungkan peran rahim. Karena perempuan akan berkutat pada peran melahirkan, menyusui, pengasuhan anak, pendidikan dan pekerjaan yang dilakukan di sekitar rumah.Â
Tugas keibuan dianggap sebagai pekerjaan tidak produktif dan mendomestikkan perempuan. Simone de Beauvoir, seorang perempuan pengikut filsafat eksistensialisme menggambarkan pada tulisannya yang berjudul "The Second Sex". Dia menekankan bahwa bila perempuan ingin menentukan identitas dirinya sendiri maka ia harus terlepas dari pengaruh alam, dalam hal ini adalah pengaruh kodrati yang diciptakan melekat pada unsur biologis perempuan.Â
Karena bila perempuan meyakini dan menikmati peran keibuan sebagai wujud keberadaan rahim pada tubuhnya, ini berdampak pada perempuan tidak akan mampu menjamah peran-peran sosial yang biasa didominasi oleh laki-laki. Bagi mereka, organ reproduksi tidak menyebabkan adanya diferensiasi peran antara laki-laki dan perempuan, melainkan lebih disebabkan faktor budaya.
Ideologi feminis ini merasuki agenda pembangunan di seluruh negara di dunia. Sejak 1995 UNDP menambahkan konsep kesetaraan gender melalui perhitungan Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) dalam perhitungan Human Development Index (HDI) di setiap laporan berkalanya berupa Human Development Report (HDR).Â
Acuan kesetaraan 50/50 yang merupakan 'perfect equality' yang angkanya 1 di dalam GDI dan GEM berdampak pada gerakan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) yang semakin mengecilkan dan melemahkan peran keibuan.Â
Propaganda yang dilakukan melalui sistem negara bahwa bagi perempuan pekerjaan melahirkan, menyusui, mengasuh, mendidik anak, mengurus keluarga dan rumah tangga hanya akan membuat mereka menjadi masyarakat kelas dua. Sehingga perlahan perempuan pun meninggalkan fitrah keibuannya.
Hal ini terlihat dari tren semakin menurunnya jumlah kelahiran di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Jepang adalah contoh negara yang hampir kehilangan pertumbuhan penduduk usia muda karena tren jumlah kelahiran yang menukik ke bawah. Â