Hingga sesore ini hujan belum juga reda, bahkan kian deras. Di luar sana, jalanan begitu lusuh. Air menggenang dimana-mana. Beberapa orang terlihat berteduh di emperan toko untuk sekedar berlindung dari hujan. Mereka terlihat lari bergegas. Seliweran motor dengan pengendara berselubung mantel. Petang yang basah, dan redup, seperti wajah gadis di sudut meja itu yang gugup.
Dari sudut meja ini bisa kulihat dengan begitu jelas bahwa gadis manis itu berusaha untuk tersenyum meskipun sedikit dipaksakan. Perlahan diteguknya es teh manis yang disuguhkan oleh salah satu pelayan warung ini. Rambut basahnya tergerai jatuh ke pipi kanannya. Seperti ada rasa bersalah di kedua mata bulat yang indah itu. Aku bisa melihatnya saat beberapa kali ia mengerjap resah. Seperti ada beban di mata bening itu.
“Katakan, apa kau tidak suka kuajak ke sini?”
Bibirnya hanya menyunggingkan senyum yang sepertinya dipaksakan.
“Di luar hujan deras. Sebaiknya kita makan dulu di sini sambil menunggu hujan reda”
Hampir semua bangku sudah terisi pelanggan. Aroma lezatnya air kaldu memenuhi ruangan bersama udara yang dingin mengundang rasa lapar. Suara pengunjung yang saling bercengkerama menikmati obrolan hangat berpadu dengan riuh hujan yang kian menderas.
“Apa kau ingin ganti pesanan ?”
Dia hanya menggeleng. Wajahnya semakin pudar.
Pelayan telah selesai menyiapkan dua mangkuk bakso dengan taburan bawang goreng di atasnya, kemudian segera mengangkat dan meletakkannya di atas meja di depan gadis manis itu. “Bakso Pak Sunu ini enak sekali rasanya. Coba kau bayangkan, hampir setiap kali aku makan di sini, selalu minta tambah”.
Kuperhatikan dari sini, perlahan gadis itu menikmati bakso pesanannya. Ujung sendok itu menyentuh bibirnya yang pecah-pecah. Bibirnya terbuka dan mengunyah pelan dengan muka berkerut seperti seorang pesakitan yang dipaksa menelan racun. Sepertinya ia tak begitu menikmati bakso yang ada di mulutnya itu.
Tiba-tiba kulihat gadis itu tersedak. Matanya merah. Kasihan sekali.
***
Sambil kunikmati sebatang kretek dan sesekali melirik ke meja gadis manis itu, kusapukan pandangan ke luar. Memperhatikan orang-orang yang melintas. Ada yang berpayung, bahkan ada yang hanya menutup kepala dengan telapak tangan. Sebuah angkot tua mogok di tengah jalan dan membuat kemacetan kecil. Jeritan klakson putus asa mengalahkan bunyi hujan. Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang perempuan tua yang tampak berjalan terseok-seok menerobos hujan. Sepertinya hendak menyebrang. Perempuan tua itu duduk termangu di emperan sebuah toko di seberang jalan sana. Kulihat matanya memandangi tenggok jualannya yang basah. Pecel siram dan jajanan pasar lainnya. Pasar Gintung sepi sekali sore ini. Sudah sore, tetapi uang tak juga didapat. Tak tega, aku sengaja menghampirinya. Membeli pecel siram dan jajanan lainnya Rp.5.000,00 saja. Ya, lima ribu rupiah saja, sebab istriku di rumah takkan suka. Rasa pecelnya selalu asin dan jajanannya terlalu kecil.
“Sore-sore jangan melamun, Mak,” kataku menyapanya dengan maksud bercanda. Akupun tahu bagaimana pahitnya mencari hidup di pasar. Sebab aku sendiri juga hanya tukang parkir. Harga-harga yang kian mahal tidak menguntungkan pedagang. Sebaliknya, orang-orang jadi jarang ke pasar. Apalagi sekarang semakin banyak warung serba ada, pasar swalayan, atau minimarket yang membuat orang enggan berpeluh-peluh menelusuri lorong pasar yang becek dan apek. Perempuan tua itu tersenyum kecil. Aku dapat melihat binar kegembiraan di matanya begitu dia mengetahui aku menghampirinya.
“Beli pecel dan gorengan Git?”
“Seperti biasa, Mak. Lima ribu saja”
Dia segera mengambil koran beralaskan daun pisang, kemudian membungkuskan pecel siram asin , dagangannya.
“Hari ini gimana, Mak?”
“Haduh Gito, sama saja seperti kemaren. Sepi ”
Perempuan itu memasukkan pecel yang kupesan tadi beserta jajanan pasar yang kuminta, lalu membungkus kantong plastik itu. Tak lupa ia menambahkan seiris ubi goreng. Perempuan itu selalu melebihkan jajanan setiap kali aku membeli dagangannya.
“Ah, ini kan dijual, Mak”
“Ini untuk si otong, anakmu”
Perempuan itu lebih tua dari emakku, tapi sama menderitanya, dan sama tegarnya. Meski ada kegetiran di matanya, aku yakin dia tak akan menyerah.
“Sum mana, Mak? Tak ikut ke pasar hari ini?”
Perempuan itu tak menjawab, malah menarik napas. Suaranya kudengar serak. “Dia baru saja pergi dengan temannya.”
Perempuan itu menarik sarung batik cokelat yang dipakainya lalu memencet hidung dengan kain itu. Dia menangis. Aku terpatung di hadapannya. Terbayang masa kecil saat emakku bekerja di pabrik tempe milik bude Jinem.
“Sampai kapan mak akan berjualan seperti ini di pasar?”
“Belum tahu, Gito.”
Perempuan itu menghapus air matanya dengan ujung sarung. Hatiku menjadi hambar, tapi aku harus meninggalkan perempuan itu untuk kembali ke lapak parkirku di halaman pasar. Berat sekali kakiku untuk dihela. Kutatap jualan perempuan itu yang tak seberapa. Kusodorkan uang lima libu rupiah padanya.
***
Aku terkejut ketika gadis manis itu masuk mengiringi laki-laki itu. Gadis itu tampak salah tingkah. Menyapa sekilas dan mengambil meja paling sudut yang di dindingnya tertempel poster seorang pemain film India. Aku bersikap wajar walau jauh di dalam dada hatiku berkobar seperti bara . Apa yang ada di benaknya? Aku membayangkan perempuan tua itu sedang tergugu di tengah hujan sambil memandangi dagangannya yang tak laku.
“Pesan apa?”
“Bakso dua.” Laki-laki itu menyahut sambil tak putus memandang gadis di sebelahnya. “Mau jumbo urat atau telur, Sum?”
Gadis itu tampak melemparkan pandang . “Terserah saja.”
“Jumbo urat dua porsi.” Kata laki-laki itu pada pelayan.
Seorang pelayan menyajikan dua gelas es teh manis di depan gadis itu dan pria di sampingnya. Lagi-lagi ia menyibakkan rambutnya Kulihat gadis itu berusaha tersenyum kecil. Tetapi di mataku tampak robek. Lebih menjengkelkan dari cibiran mbok Kromo yang peot. Ingin sekali kuhampiri meja itu dan menumpahkan mangkuk bakso yang ada ke muka gadis itu, juga ke muka laki-laki yang rambutnya kribo seperti sarang burung itu. Tapi tak kulakukan. Aku hanya memperhatikan mereka dengan geram dari sini. Kulihat pemandangan jalan di luar. Hujan tak henti-henti.
Barangkali gadis itu akan berkata seperti ini:
“Akupun berhak untuk menikmati hidupku yang muda, bukan?”
“Ibuku menderita. Aku lebih lagi. Aku letih dan biarkan aku sejenak merasa senang dengan orang yang kusukai.”
Ia akan menyeringai sedikit menampakkan giginya yang berserak.
“Apa aku salah? Kalau iya, kenapa aku harus jadi anak perempuan miskin yang lakinya tak bertanggung jawab?”
Ia mungkin akan berteriak hingga urat lehernya menegang.
“Ini tidak adil!”
Apa yang gadis itu fikirkan. Entahlah, keadilan seperti apa yang boleh kita harapkan? Aku berhenti sekolah dan menjadi tukang parkir di pasar Gintung ini untuk membantu emakku yang bekerja di pabrik tempe milik bude Jinem. Aku telah membiarkan semua harapanku tersengat matahari. Kujalani semua ini selama bertahun-tahun. Aku tak dapat menjadi nahkoda yang berlayar keliling dunia seperti impianku waktu kecil. Tapi buktinya, aku bisa menghidupi anak dan istriku sekarang.
***
Dari meja sebelah sini, kulihat seorang perempuan tua berjalan terseok-seok di dalam hujan di trotoar. Dia basah kuyup. Di kepalanya ada kantong plastik hitam yang dipasang sebagai tutup kepala. Pipinya basah. Entah hanya tirisan hujan, atau telah bercampur air matanya yang bercucuran. Kulirik gadis yang sedang menikmati hangatnya semangkuk bakso.
Matanya terpicing dan kulihat keningnya berkerut. Tiba-tiba saja ia menghujamkan garpu ke mangkuk bakso di depannya dan dengan histeris menusukkan garpu itu ke potongan-potongan bakso hingga berhamburan ke meja.
“Ya, Tuhan! Tak sepatutnya aku di sini!”
Laki-laki di di sampingnya berseru kaget.
“Sumi!”
Kembali kulihat ia menghempaskan sendok lalu berlari ke luar menembus hujan. Orang-orang berhenti menyuap dan bicara. Semua mata memandangi tubuhnya yang sontak kuyup. Pria di sampingnya berlari ke pintu, hendak mengejar. Tetapi urung, karena dia tidak siap diguyur hujan.
Gadis itu terus berlari menyeberang jalan ke arah tempat wanita tua itu berada. Kakinya tergelincir di tengah jalan yang licin oleh hujan sehingga ia jatuh terjengkang dan nyaris ditabrak ojek yang melaju kencang. Pengendara itu berteriak, tapi ia tak peduli. Bangkit dari aspal dan kembali berlari.
Di emperan toko seberang jalan itu, kulihat perempuan tua itu melangkah tersaruk-saruk dengan keranjang di jinjingan. Ternyata beliau adalah ibunya, dan gadis manis itu putri semata wayangnya, Sumini.
Lampung, 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H