Mohon tunggu...
Wulan Ews
Wulan Ews Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir dan dibesarkan di kota tapis berseri sebagai sulung dari dua bersaudara. Secara jujur mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk melahirkan kata- kata, apalagi jika harus menuangkannya dalam bentuk tulisan, tapi ia mencoba untuk masuk ke dalamnya dan menikmati kesempatan untuk mengekspresikan diri, kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumini

3 November 2011   13:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:06 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ini untuk si otong, anakmu”

Perempuan  itu lebih tua dari emakku, tapi sama menderitanya, dan sama tegarnya. Meski ada kegetiran di matanya, aku yakin dia tak akan menyerah.

“Sum mana, Mak? Tak ikut ke pasar hari ini?”

Perempuan itu tak menjawab, malah menarik napas. Suaranya kudengar serak. “Dia baru saja pergi dengan temannya.”

Perempuan itu menarik sarung batik cokelat yang dipakainya lalu memencet hidung dengan kain itu. Dia menangis. Aku terpatung di hadapannya. Terbayang  masa kecil saat emakku bekerja di pabrik tempe milik bude Jinem.

“Sampai kapan mak akan berjualan seperti ini  di pasar?”

“Belum tahu, Gito.”

Perempuan itu menghapus air matanya dengan ujung sarung. Hatiku menjadi hambar, tapi aku harus meninggalkan perempuan itu untuk kembali ke lapak parkirku di halaman pasar. Berat sekali kakiku untuk dihela. Kutatap jualan perempuan itu yang tak seberapa. Kusodorkan uang lima libu rupiah padanya.

***

Aku terkejut ketika gadis manis itu masuk mengiringi laki-laki itu. Gadis itu tampak salah tingkah. Menyapa sekilas dan mengambil meja paling sudut yang di dindingnya tertempel poster seorang pemain film India. Aku bersikap wajar walau jauh di dalam dada hatiku berkobar seperti bara . Apa yang ada di benaknya? Aku membayangkan perempuan tua itu sedang tergugu di tengah hujan sambil memandangi dagangannya yang tak laku.

“Pesan apa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun