“Ini untuk si otong, anakmu”
Perempuan itu lebih tua dari emakku, tapi sama menderitanya, dan sama tegarnya. Meski ada kegetiran di matanya, aku yakin dia tak akan menyerah.
“Sum mana, Mak? Tak ikut ke pasar hari ini?”
Perempuan itu tak menjawab, malah menarik napas. Suaranya kudengar serak. “Dia baru saja pergi dengan temannya.”
Perempuan itu menarik sarung batik cokelat yang dipakainya lalu memencet hidung dengan kain itu. Dia menangis. Aku terpatung di hadapannya. Terbayang masa kecil saat emakku bekerja di pabrik tempe milik bude Jinem.
“Sampai kapan mak akan berjualan seperti ini di pasar?”
“Belum tahu, Gito.”
Perempuan itu menghapus air matanya dengan ujung sarung. Hatiku menjadi hambar, tapi aku harus meninggalkan perempuan itu untuk kembali ke lapak parkirku di halaman pasar. Berat sekali kakiku untuk dihela. Kutatap jualan perempuan itu yang tak seberapa. Kusodorkan uang lima libu rupiah padanya.
***
Aku terkejut ketika gadis manis itu masuk mengiringi laki-laki itu. Gadis itu tampak salah tingkah. Menyapa sekilas dan mengambil meja paling sudut yang di dindingnya tertempel poster seorang pemain film India. Aku bersikap wajar walau jauh di dalam dada hatiku berkobar seperti bara . Apa yang ada di benaknya? Aku membayangkan perempuan tua itu sedang tergugu di tengah hujan sambil memandangi dagangannya yang tak laku.
“Pesan apa?”