Isu 'radikalisme' belakangan ini semakin santer diberitakan diberbagai media baik cetak maupun elektronik, dan tentunya kondisi tersebut sudah masuk taraf mengkhawatirkan. Pemerintah tengah getol memberatas orang-orang dan juga kelompok yang terindikasi beraliran radikal. Itu merupakan langkah serius yang menendakan kesungguhan juga dedikasi penuh dari pemerintah dalam rangka mewujudkan cita-cita perdamaian dan ketertiban sosial. Pagi, siang, bahkan malam hari  pemberitaan radikalisme tidak pernah berhenti. Berita yang sama disampaikan berulang kali di media yang berbeda dengan headline yang juga berbeda. Selalu ada perkembangan atau update terbaru dari topik bahasan radikalisme setiap harinya. Mulai dari berita penangkapan, sosialisasi pencegahan, dan lainnya. Hal ini tentunya juga tidak terlepas dari mudahnya masyarakat untuk mengakses informasi yang setiap detiknya selalu berubah dan juga banyaknya media yang tersedia.
Radikalisme bukanlah persoalan yang baru. Jika sedikit mundur ke belakang, banyak catatan sejarah yang menunjukkan adanya banyak aksi yang dilatari paham radikalisme. Beberapa tahun berlalu pernah terjadi aksi Bom Bali yang menewaskan banyak jiwa. Belum lagi soal aksi bom bunuh diri di gereja dan aksi serupa lainnya yang juga memiliki motif serupa yakni radikalisme. Bahkan jauh dalam historis agama Islam, pernah terjadi aksi radikal pada masa kepemimpinan khilafah yang dipelopori kelompok khawawrij. Mereka melakukan aksi tersebut karena dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap kepemimpinan yang sedang berlangsung. Sehingga, mereka menumpahkan kekecewaannya dengan cara kekerasan. Simpulnya, dalam konteks global ataupun nasional secara historis terdapat jejak radikal---dalam arti pemberontakan.Â
Radikalisme sendiri sebenarnya menjadi bermakna negatif disebabkan keterlibatannya dalam konteks politik. Pemerintah menyematkan istilah 'radikal' kepada segelintir orang-orang ataupun kelompok yang dianggap tidak patuh dan bahkan lebih jauh potensial mengancam eksistensinya. Hal tersebut adalah salah satu penyebab istilah 'radikal' atau 'radikalisme' selalu identik dengan kelompok ataupun paham yang berseberangan dengan pemerintah. Padahal, mulanya 'radikal' sendiri merupakan sebuah kata yang bersifat netral, dalam arti memiliki makna yang luas dan bergantung pada konteks penggunaanya. Hal tersebut bisa dilihat dari etimologi kata radikal yaitu kata berbahasa latin radix yang berarti akar.
Hal yang tak kalah menyita rasa ingin tahu ialah tidak lain penggunaan istilah 'radikal' yang selalu identik dengan kelompok agama tertentu yaitu islam. Sehingga, dewasa ini terdapat sebagian orang yang berasumsi dan menyimpulkan secara apriori bahwa 'islam itu radikal'. Jika argumen atau pernyataan tersebut didasarkan fakta di lapangan bahwa terdapat segelintir orang atau kelompok bagian dari Islam yang melakukan aksi kekerasan, memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan, karena hal tersebut merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Namun, agaknya kurang adil rasanya jika hanya menilai secara sepintas dan lantas menyimpulkan tanpa pendalaman kasus. Lebih disayangkan lagi jika hal terssebut kemudian digembar-gemborkan ke media dan menjadi pemberitaan yang bombastis. Padahal, kebenaran dari berita yang disajikan masih belum jelas kebenarannya.
Nampaknya pelabelan 'radikal' terhadap Islam merupakan persoalan yang serius dan tentu saja memberikan imbas yang besar dan jelas-jelas sangat merugikan karena, setiap aksi kekeraan yang berbau agama -- di manapun itu terjadi -- selalu dialamatkan pada Islam lagi dan lagi. Dari fakta tersebut, agaknya mendorong kita untuk mengetahui lebih jauh soal Islam dan Radikalisme, apakah Islam mengenal istilah 'radikalisme'? mengapa terdapat sebagian kelompok yang betindak radikal? dan kemudian, bagaimana cara supaya terhindar dari paham radikal? Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tersebutlah penelitian ini dilakukan.
- Istilah Radikalisme Dalam IslamÂ
Marak pemberitaan di media mengenai radikalisme menjadikan istilah radikal identik dengan tindak kekerasan. Tindak kekerasan tersebut antaralain berbentuk teror, serangan bom bunuh diri dan aksi kekerasan lainnya yang kesemuanya itu dilakukan secara sadar dan terang-terangan di khalayak ramai. Tindakan-tindakan tersebut merupakan buah dari pemahaman yang diyakini. Sebagai sebuah kekerasan, tentunya aksi radikalisme menimbulkan keresahan sosial karena menyebabkan kerusakan fasilitas yang ada. Masyarakat dibuat tidak nyaman dengan setiap berita mengenai aksi teror ataupun penangkapan kelompok radikal yang tersiar melalui media.
Adanya kenyataan kelompok radikal yang menggunakan kekerasan dalam melancarkan aksinya, membuat satu kesimpulan baru mengenai fenomena sosial keberagamaan kita hari ini. Bagaimana bisa agama dijadikan dasar untuk melakukan kekerasan? Bukankah agama selalu mengajarkan kebajikan?. Sesuatu yang sangat berseberangan antara ajaran dan tindakan di mana agama menggajarkan kebajikan tapi kemudian membuahkan tindak kekerasan. Pada akhirnya, kekerasan tetaplah kekerasan, sepintar apapun membalut sebuah kekerasan dengan bahasa yang bagus dan alasan yang terkesan logis, ada masanya akan terkuak. Waktulah yang akan mengungkap tabir kebohongan di balik tindakan licik tersebut. Seperti kelompok ISIS yang bercita-cita mendirikan negara agama dengan menyodorkan argumen berlandaskan doktrin keagamaan, pada akhirnya yang nampak hanyalah tindak kekerasan dan tindakan yang jauh dari kata manuiswi. Barangkali kenyataan itulah yang melatari penyematan istilah radikalisme dan atau Islam radikal.
 Dalam literatur Islam, hingga detik ini tidak ditemukan adanya istilah radikalisme. Berdasarkan penelusuran, dalam kamus Bahasa Arab tidak terdapat istilah tersebut, mengingat radikalisme sendiri murni berasal dari Barat. kamus Bahasa Arab ialah kamus yang sering menjadi rujukan orang-orang Islam untuk mencari tahu arti atau definisi dari suatu kata tertentu. Meskipun Islam sendiri tidak memiliki istilah tersebut, tetapi terdapat istilah lain yang memiliki makna serupa yakni kekerasan seperti kata tarf dan lain sebagainya, tetapi sekali lagi kata-kata tersebut tidak sama dengan makna radikalisme yang kita kenal hari ini.
Meskipun istilah radikalisme berasal dari Barat, mereka sendiri sering menyamakan Istilah radikalisme dengan fundametalisme, ekstremisme, dan juga revivalisme. Ketiganya dianggap sama berdasarkan asumsi memiliki kemiripan yang identik dengan penggunaan kekerasan. Akantetapi sayangnya ketiga istilah tersebut sama sekali berbeda. Titik persamaan ketiganya hanya terletak pada praktik kekerasan yang digunakan. Fundamentalisme sendiri dalam pandangan Barat merujuk pada seorang yang berpemahaman kaku serta ekstrem yang tak segan bertindak keras dalam rangka mempertahankan ideologi yang dimilikinya. Sebuah sikap yang bisa dikatakan teguh dalam memegang prinsip demi menggapai tujuan dan cita-cita jika dilihat dari sisi positif.
Salah seorang cendekiawan muslim, Fazlur Rahman mengatakan bahwa fundamentalisme memiliki makna menolak segala hal yang berbau Barat. Maksud dari menolak segala hal yang berbau Barat di sini ialah sebuah sikap yang tidak memberi ruang dan toleransi terhadap semakin menyebarluasnya paham yang berasal dari barat, tidak menerima produk atau barang yang diproduksi barat, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya. Pada intinya, sikap penolakan tersebut merupakan respon terhadap dominasi barat dalam dunia global. Kelompok fundamental ini mengganggap paham barat tersebut tidak sesuai dan lebih jauh dapat mengancam tatanan sosial dan moral.
Berbeda lagi dengan Azyumardi Azra, beliau menyatakan bahwa radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme. Revivalisme bisa dibilang sebuah gagasan yang berkeinginan untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni. Yaitu ajaran Islam yang bersumber dari dua hukum Islam yakni Alquran dan Alhadits. Kaum revivalis ini meyakini jika dengan menegakkan kembali keduanya, yakni Alquran dan Alhadits, kesejahteraan, keberkahan dan juga kebaikan akan senantiasa melingkupi kehidupan umat manusia. Kehidupan yang semakin terasa sulit dan kian maraknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diakibatkan adanya sikap abai dan lupa akan tuntunan hidup sejati yang telah Tuhan berikan. Sebagai jalan, kembali kepada tuntunan adalah satu-satunya cara yang diyakini dapat memperbaiki keadaan yang sudah semrawut.
Lebih jauh syeh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa, radikalisme ialah sebuah sikap keberagmaan yang kurang bisa diterima karena tidak sesuai dengan inti dan juga tujuan dari agama. Maksudnya ialah sikap atau tindakan orang beragamam yang justru bertentangan dengan tuntunan agama. Jika agama mengajarkan kebajikan dan kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup, tetapi justru yang terjadi malah sebaliknya. Agama memunculkan sikap keras dan tak manusiawi bahkan dengan sengaja mejadikan agama sebagai pembelaan sikap tersebut. Sikap keberagamaan yang keraslah yang menyebabkan radikalisme tidak disukai dan cenderung dihindari. Menurutnya, radikalisme ialah praktik keagamaan yang tidak mengambil jalan tengah yakni perdamaian melainkan mengambil jalan pinggir atau tarf. Sebuah jalan yang bertentangan dengan substansi sebuah ajaran agama.
Oleh karena tidak ada satu keterangan pun yang menyatakan keberadaan istilah radikalisme dalam literatur Islam, setidaknya penjelasan dari tokoh-tokoh dan cendekiawan tersebut sudah sedikit memberikan gambaran mengenai bentuk radikalisme. Bahwa radikalisme ialah sebuah sikap yang menggunakan kekerasan dan cenderung memaksakan kehendak untuk menggapai tujuan yang diinginkan. Karena sifatnya yang keras dan memaksa, secara otomatis mendapatkan respon negatif dan juga penolakan dari lingkungan. Karena sikap teresbut bertentagan dengan keinginan tercapainya tertib sosial.
- Sebab Munculnya Paham Radikal di Kalangan Umat Islam
Fenomena radikalisme yang sering dijumpai dalam keseharian tidaklah muncul begitu saja. Sangat tidak logis jika sebuah paham ataupun aliran muncul secara tiba-tiba tanpa ada sebab yang melatarinya. Suatu aksi yang timbul pasti disebabkan adanya reaksi dan begitu juga sebaliknya. Radikalisme sebagai suatu aksi, dilatari reaksi terhadap sesuatu yang pastinya sangat serius sehingga menyebabkan tindak kekerasan. Menurut pendapat ahli, setidaknya radikalisme dipicu adanya keadaan yang kurang memihak terhadap beberapa kelompok. Mereka merasa tidak mendapatkan tempat ataupun hak untuk menunjukkan jati dirinya secra penuh. Biasanya radikalisme disebabkan keadaan ekonomi, sosial, politik, bahkan ideologi dan pemahaman keagamaan dari seorang individu.
Dalam konteks politik, motif tindak radikalisme disebabkan adanya ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung. Kemudian perasaan-persaan tersebut cenderung dilampiaskan dengan jalan kekerasan maupun demonstrasi. Perasaan tersebut muncul karena sebagai warga negara tidak mendapatkan hak untuk misalnya menyuarakan aspirasi dan lain sebagainya. Belum lagi tingkah para pemangku kebijakan negara yang menampilkan wajah dan citra buruk ke publik yang kian menguatkan alasan menyurutnya tingkat respek dari masyarakat terhadap pemerintah. Seperti maraknya kasus suap dan korupsi, kekerasan di lingkungan kerja pemerintahan, ketimpangan hukum, lambannya penanganan kasus dan lain sebagainya.
Selain itu, adanya paham yang membenci sistem yang tengah berlangsung juga masuk dalam kategori politik. Kelompok ini beranggapan jika sistem yang digunakan saat ini tidak lain hanyalah hasil ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itulah, sistem tersebut tidak seharusnya digunakan dengan alasan yang mereka yakini. Sistem yang seharusnya digunakan adalah sepenuhnya yang diciptakan Tuhan. Karena, sistem yang dibuat oleh manusia atau yang lazim disebut sistem sekuler tidak mendudukan agama secara komprehensif dalam segala lini kehidupan, tetapi agama hanya dipandang sebagai satuan unit yang terpisah.
Kondisi sosial ekonomi juga menjadi salah satu penyebab munculnya paham radikalisme. Dalam kondisi yang lain, keterasingan sosial juga mendorong seseorang untuk terjun memasuki kelompok radikal. Keterasingan sosial tersebut salahsatunya diakibatkan adanya jarak atau jurang pemisah antara kelompok kaya dan miskin. Tidak adanya interaksi yang harmonis diantara keduanyalah yang menjadi penyebab diantara kelompok-kelompok tersebut seakan terjadi perang dingin. Tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang berbeda tersebut membuat kecemburuan sosial di salah satu pihak. Sebagai imbasnya, ketika salah satu pihak dihadapkan pada kondisi ekonomi yang sulit, mereka memiliki kecenderungan bergabung memasuki kelompok radikal yang menjanjikan beragam fasilitas dan kemudahan akses. Dengan harapan mendapatkan solusi atas permasalahan yang tengah dihadapi.
Namun dari sekian banyak faktor yang menjadi motif radikalisme, faktor pemahaman keagamaan dan ideologi-lah yang dirasa paling substansial. Pemahaman keagamaan seseorang sangat menentukan bagaimana tindakan yang dihasilkan. Karena perbuatan yang nampak merupakan cerminan dari penghayatan agama seseorang. Terdapat kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menjadikan perbuatan seseorang identik dan khas yang ada kolerasinya dengan tingkat pemahaman keagamaan seseorang. Seseorang yang hanya memahami ayat-ayat Alquran secara tekstual, atau menurut Abid al-Jabiri dipahami secara bayani, memiliki kecenderungan yang besar salah dalam menafsirkan ayat-ayat yang dimaksud. Ketika suatu ayat hanya dipahami secara tekstual, tanpa melihat konteks baik sebab turun ataupun keadaan sekarang, maka di sini agama tidak dianggap bisa menyesuaikan dengan segala kondisi dan keadaan. Padahal, agama sendiri memiliki cakupan yang dapat melintas zaman.
Azyumardi Azra menyebutkan jika salah satu penyebab munculnya paham radikal di kalangan umat Islam adalah pemahaman agama yang literal dan hanya memahami teks Alquran secara sepenggal-sepenggal saja tanpa melihat konteks: baik sebab turunnya maupun kondisi terkini lingkungan yang ada. Seakan ayat Alquran hanya ditafsirkan sesuka hati untuk kepentingan pribadi. Senada dengan beliau, syeh Yusuf al-Qardhawi juga menyebutkan hal yang sama, jika radikalisme disebabkan kemampuan dalam memahami teks Alquran yang masih kurang. Sehingga, ajaran agama hanya dipahami secara parsial dan dangkal. Barangkali kemampuan dalam memahami atau menafsirkan itulah yang membutuhkan proses dan usaha yang lebih sehingga tidak semua memiliki kemampuan tersebut secara mumpuni. Namun, kurangnya kemampuan bukan berarti menjadi alasan memahami ayat ataupun teks tidak secara utuh.
Misalnya dalam konteks kata 'jihad' yang mana sering menjadi selogan beberapa kelompok radikal. Kata tersebut menjadi identik dengan semangat berperang atas nama agama. Padahal, dalam ajaran Islam sendiri kata tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan hal tersebut dalam arti memiliki makna radikal dan juga kekerasan. Dari berbagai ayat seperti surah al-Ankabut : 6, al-Hajj : 78, at-Taubah : 24, dan ayat yang memuat tentang kata jihad lainnya, tidak satu pun yang memiliki korelasi dengan peperangan dan kekerasan. Kata jihad tersebut hanya sebagai penegasan bagi manusia agar dalam beribadah -- baik itu ibadah yang berhubungan dengan manusia ataupun yang secara langsung berhubungan dengan Allah SWT -- diniatkan semata-mata untuk menggapai ridha Allah SWT. Namun karena pemahaman yang kurang dan hanya ditafsirkan secara sepenggal dalam arti tanpa melibatkan konteks, pada ahkirnya kata jihad tersebut dijadikan pembenaran ataupun legitimasi oleh segelintir kelompok untuk melakukan kekerasan.
Pemahaman ataupun penafsiran ayat yang terkandung dalam alquran secara sepenggal, parsial, dan bahkan literal sangatlah berbahya. Makna sesungguhnya dari sebuah teks menjadi tidak tersampaikan secara tepat karena diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Tindakan tersebutlah sesungguhnya yang dimaksud dengan  tindak kejahatan. Suatu tindakan yang dengan sesuka hati mengobrak-abrik dan mengutak-atik ayat-ayat seperti sebuah maninan. Sikap-sikap tersebutlah yang pada akhirnya merusak esensi ajaran agama yang dipenuhi kedamian, cinta kasih dan menjadi rahmat.
- Upaya Menghindari Paham Radikal
Radikalisme sebagai sebuah fenomena  sosial masih bisa dihindari dan juga diminimalisir. Dengan mengetahui akar permasalahan dan juga sebab yang melatarinya, dengan mudah kita bisa menghindari hal tersebut. Bagaimanapun juga, radikalisme bisa dikatakan sebagai sebuah penyakit sosial yang pastinya memiliki obat penawar. Terdapat upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam rangka menghindari paham radikal mulai dari hal yang sederhana sampai hal yang rumit sekalipun. Upaya-upaya tersebut  bisa berasal dari sisi sosial, ekonomi maupun keagamaan sekalipun. Karerna kesemuanya memiliki keterkaitan mengenai motif tindak radikal yang dilakukan individu.
Upaya paling sederhana bisa dimulai dari diri sendiri sebagai satuan individu tunggal. Individu sedari dini membentengi diri dari kemungkinan-kemungkinan terpapar paham radikal. Karena, individu merupakan sosok yang sangat menentukan dan mendasar. Individu memiliki filter dalam menyaring informasi yang ada di media. Individu memiliki kejelian dalam mengonsumsi juga memilah dan memilih konten berita yang tersaji dalam berbagai platform media sosial. Baik itu konten yang membahas agama, ekonomi, politik, dan lainnya. Tetapi yang paling penting ialah dalam bahasan agama, karena, tidak sedikit konten keagamaan yang memang sengaja dibuat oleh kelompok radikal dengan tujuan mendulang simpati dari pembaca. Atau dengan kata lain propaganda.
Contohnya kelompok ISIS yang menyebarkan paham mereka melalui jejaring media sosial. Mereka bisa dibilang jeli dalam melihat peluang. Di mana kawula muda memang gemar menggunakan media sosial, terlebih di masa pandemi penggunaan internet semakin meningkat. Mereka mengincar kalangan muda untuk ikut terlibat dalam tindak kekerasan bersama mereka atau sedikitnya terprovokasi oleh pemikiran ataupun pandangan mereka. Dengan sengaja mereka membuat konten baik artikel, video atau lainnya yang bisa memancing emosi keagamaan publik. Maka jelas, peran individu sangatlah penting dalam menyaring informasi yang beredar di media.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tindak radikalisme salah satunya disebabkan penafsiran ayat yang tidak utuh alias separuh-separuh. Sebagai imbasnya, dengan mudah seseorang dapat terjerat paham radikal. Hal tersebut sangat mungkin terjadi ketika pemahaman keagamaan yang dangkal pada individu tidak dibarengi pemikiran yang matang dan sikap dewasa. Memahami agama secara sempit, sangat memungkinkan menafsirkan agama sesuai dengan hawa nafsu. Sehingga, dengan mudahnya terbuai dan terbujuk paham yang dirasa kurang rasional secara akal sehat---karena menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai solusi, salah satu upaya yang bisa ditempuh, khususnya oleh individu ialah dengan memperdalam wawasan keagamaan. Memahami agama tidak hanya sebatas teks berupa ayat-ayat yang terdapat dalam kitab suci saja melainkan sampai pada aspek konteks yang menjadi tujuan dari teks-teks alquran yang dimaksud. Secara otomatis, ketika agama dipahami secara keseluruhan, akan memperkecil peluang terpapar paham radikal disebabkan pemahaman keagamaan yang sempit. Juga, dengan memahami konteks, akan memberikan nilai manfaat yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika hal ini dilakukan, bukan tidak mungkin kedamaian, dan juga kearifan dapat tercapai.
Akantetapi, hal yang tidak kalah penting dalam memperdalam wawasan keagamaan adalah peran seorang guru yang tepat, dalam arti bisa mengarahkan dengan benar. Seorang guru yang memahami urgensi agama dalam konteks kehidupan, tujuan agama untuk terciptanya perdamaian, dan juga menjunjung tinggi toleransi. Karena bagaimanapun juga, faktor seorang guru atau pengajar sangat menentukan. Seorang guru yang memiliki wawasan luas dan pluralis, akan melahirkan seorang murid yang juga berwawasan luas dan pluralis. Mudah menerima perbedaan, toleran, terbuka akan perubahan dan tidak bersikap kaku.
Untuk itu, sangat diperlukan upaya kolektif dalam mengakhiri potensi masuknya paham radikal. Upaya-upaya tersebut tidak bisa dilakukan oleh satu orang atau salah satu pihak saja. Karena, radikalisme merupakan isu sosial dan berimbas pada seluruh elemen masyarakat, sehingga, perlu kesadaran bersama untuk mengatasi problematika tersebut. Cara yang paling sederhana dan paling dekat bisa dimulai dari kesadaran diri sendiri untuk memperdalam wawasan keagamaan bersama seorang yang kiranya mampu memberi petunjuk dan penerangan. Dengan begitu, besar harapan menjadi seorang yang kokoh takan tergoyahkan oleh pemahaman-pemahaman radikal apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H