Lebih jauh syeh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa, radikalisme ialah sebuah sikap keberagmaan yang kurang bisa diterima karena tidak sesuai dengan inti dan juga tujuan dari agama. Maksudnya ialah sikap atau tindakan orang beragamam yang justru bertentangan dengan tuntunan agama. Jika agama mengajarkan kebajikan dan kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup, tetapi justru yang terjadi malah sebaliknya. Agama memunculkan sikap keras dan tak manusiawi bahkan dengan sengaja mejadikan agama sebagai pembelaan sikap tersebut. Sikap keberagamaan yang keraslah yang menyebabkan radikalisme tidak disukai dan cenderung dihindari. Menurutnya, radikalisme ialah praktik keagamaan yang tidak mengambil jalan tengah yakni perdamaian melainkan mengambil jalan pinggir atau tarf. Sebuah jalan yang bertentangan dengan substansi sebuah ajaran agama.
Oleh karena tidak ada satu keterangan pun yang menyatakan keberadaan istilah radikalisme dalam literatur Islam, setidaknya penjelasan dari tokoh-tokoh dan cendekiawan tersebut sudah sedikit memberikan gambaran mengenai bentuk radikalisme. Bahwa radikalisme ialah sebuah sikap yang menggunakan kekerasan dan cenderung memaksakan kehendak untuk menggapai tujuan yang diinginkan. Karena sifatnya yang keras dan memaksa, secara otomatis mendapatkan respon negatif dan juga penolakan dari lingkungan. Karena sikap teresbut bertentagan dengan keinginan tercapainya tertib sosial.
- Sebab Munculnya Paham Radikal di Kalangan Umat Islam
Fenomena radikalisme yang sering dijumpai dalam keseharian tidaklah muncul begitu saja. Sangat tidak logis jika sebuah paham ataupun aliran muncul secara tiba-tiba tanpa ada sebab yang melatarinya. Suatu aksi yang timbul pasti disebabkan adanya reaksi dan begitu juga sebaliknya. Radikalisme sebagai suatu aksi, dilatari reaksi terhadap sesuatu yang pastinya sangat serius sehingga menyebabkan tindak kekerasan. Menurut pendapat ahli, setidaknya radikalisme dipicu adanya keadaan yang kurang memihak terhadap beberapa kelompok. Mereka merasa tidak mendapatkan tempat ataupun hak untuk menunjukkan jati dirinya secra penuh. Biasanya radikalisme disebabkan keadaan ekonomi, sosial, politik, bahkan ideologi dan pemahaman keagamaan dari seorang individu.
Dalam konteks politik, motif tindak radikalisme disebabkan adanya ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung. Kemudian perasaan-persaan tersebut cenderung dilampiaskan dengan jalan kekerasan maupun demonstrasi. Perasaan tersebut muncul karena sebagai warga negara tidak mendapatkan hak untuk misalnya menyuarakan aspirasi dan lain sebagainya. Belum lagi tingkah para pemangku kebijakan negara yang menampilkan wajah dan citra buruk ke publik yang kian menguatkan alasan menyurutnya tingkat respek dari masyarakat terhadap pemerintah. Seperti maraknya kasus suap dan korupsi, kekerasan di lingkungan kerja pemerintahan, ketimpangan hukum, lambannya penanganan kasus dan lain sebagainya.
Selain itu, adanya paham yang membenci sistem yang tengah berlangsung juga masuk dalam kategori politik. Kelompok ini beranggapan jika sistem yang digunakan saat ini tidak lain hanyalah hasil ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itulah, sistem tersebut tidak seharusnya digunakan dengan alasan yang mereka yakini. Sistem yang seharusnya digunakan adalah sepenuhnya yang diciptakan Tuhan. Karena, sistem yang dibuat oleh manusia atau yang lazim disebut sistem sekuler tidak mendudukan agama secara komprehensif dalam segala lini kehidupan, tetapi agama hanya dipandang sebagai satuan unit yang terpisah.
Kondisi sosial ekonomi juga menjadi salah satu penyebab munculnya paham radikalisme. Dalam kondisi yang lain, keterasingan sosial juga mendorong seseorang untuk terjun memasuki kelompok radikal. Keterasingan sosial tersebut salahsatunya diakibatkan adanya jarak atau jurang pemisah antara kelompok kaya dan miskin. Tidak adanya interaksi yang harmonis diantara keduanyalah yang menjadi penyebab diantara kelompok-kelompok tersebut seakan terjadi perang dingin. Tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang berbeda tersebut membuat kecemburuan sosial di salah satu pihak. Sebagai imbasnya, ketika salah satu pihak dihadapkan pada kondisi ekonomi yang sulit, mereka memiliki kecenderungan bergabung memasuki kelompok radikal yang menjanjikan beragam fasilitas dan kemudahan akses. Dengan harapan mendapatkan solusi atas permasalahan yang tengah dihadapi.
Namun dari sekian banyak faktor yang menjadi motif radikalisme, faktor pemahaman keagamaan dan ideologi-lah yang dirasa paling substansial. Pemahaman keagamaan seseorang sangat menentukan bagaimana tindakan yang dihasilkan. Karena perbuatan yang nampak merupakan cerminan dari penghayatan agama seseorang. Terdapat kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menjadikan perbuatan seseorang identik dan khas yang ada kolerasinya dengan tingkat pemahaman keagamaan seseorang. Seseorang yang hanya memahami ayat-ayat Alquran secara tekstual, atau menurut Abid al-Jabiri dipahami secara bayani, memiliki kecenderungan yang besar salah dalam menafsirkan ayat-ayat yang dimaksud. Ketika suatu ayat hanya dipahami secara tekstual, tanpa melihat konteks baik sebab turun ataupun keadaan sekarang, maka di sini agama tidak dianggap bisa menyesuaikan dengan segala kondisi dan keadaan. Padahal, agama sendiri memiliki cakupan yang dapat melintas zaman.
Azyumardi Azra menyebutkan jika salah satu penyebab munculnya paham radikal di kalangan umat Islam adalah pemahaman agama yang literal dan hanya memahami teks Alquran secara sepenggal-sepenggal saja tanpa melihat konteks: baik sebab turunnya maupun kondisi terkini lingkungan yang ada. Seakan ayat Alquran hanya ditafsirkan sesuka hati untuk kepentingan pribadi. Senada dengan beliau, syeh Yusuf al-Qardhawi juga menyebutkan hal yang sama, jika radikalisme disebabkan kemampuan dalam memahami teks Alquran yang masih kurang. Sehingga, ajaran agama hanya dipahami secara parsial dan dangkal. Barangkali kemampuan dalam memahami atau menafsirkan itulah yang membutuhkan proses dan usaha yang lebih sehingga tidak semua memiliki kemampuan tersebut secara mumpuni. Namun, kurangnya kemampuan bukan berarti menjadi alasan memahami ayat ataupun teks tidak secara utuh.
Misalnya dalam konteks kata 'jihad' yang mana sering menjadi selogan beberapa kelompok radikal. Kata tersebut menjadi identik dengan semangat berperang atas nama agama. Padahal, dalam ajaran Islam sendiri kata tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan hal tersebut dalam arti memiliki makna radikal dan juga kekerasan. Dari berbagai ayat seperti surah al-Ankabut : 6, al-Hajj : 78, at-Taubah : 24, dan ayat yang memuat tentang kata jihad lainnya, tidak satu pun yang memiliki korelasi dengan peperangan dan kekerasan. Kata jihad tersebut hanya sebagai penegasan bagi manusia agar dalam beribadah -- baik itu ibadah yang berhubungan dengan manusia ataupun yang secara langsung berhubungan dengan Allah SWT -- diniatkan semata-mata untuk menggapai ridha Allah SWT. Namun karena pemahaman yang kurang dan hanya ditafsirkan secara sepenggal dalam arti tanpa melibatkan konteks, pada ahkirnya kata jihad tersebut dijadikan pembenaran ataupun legitimasi oleh segelintir kelompok untuk melakukan kekerasan.
Pemahaman ataupun penafsiran ayat yang terkandung dalam alquran secara sepenggal, parsial, dan bahkan literal sangatlah berbahya. Makna sesungguhnya dari sebuah teks menjadi tidak tersampaikan secara tepat karena diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Tindakan tersebutlah sesungguhnya yang dimaksud dengan  tindak kejahatan. Suatu tindakan yang dengan sesuka hati mengobrak-abrik dan mengutak-atik ayat-ayat seperti sebuah maninan. Sikap-sikap tersebutlah yang pada akhirnya merusak esensi ajaran agama yang dipenuhi kedamian, cinta kasih dan menjadi rahmat.
- Upaya Menghindari Paham Radikal
Radikalisme sebagai sebuah fenomena  sosial masih bisa dihindari dan juga diminimalisir. Dengan mengetahui akar permasalahan dan juga sebab yang melatarinya, dengan mudah kita bisa menghindari hal tersebut. Bagaimanapun juga, radikalisme bisa dikatakan sebagai sebuah penyakit sosial yang pastinya memiliki obat penawar. Terdapat upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam rangka menghindari paham radikal mulai dari hal yang sederhana sampai hal yang rumit sekalipun. Upaya-upaya tersebut  bisa berasal dari sisi sosial, ekonomi maupun keagamaan sekalipun. Karerna kesemuanya memiliki keterkaitan mengenai motif tindak radikal yang dilakukan individu.