Â
Program Single Identification Number (SIN)
Jauh sebelumnya saat kebijakan pemadanan NIK NPWP ini dikeluarkan, yaitu pada akhir tahun 2004 Ditjen Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB) mengimplementasikan kebijakan pembentukan Bank Data Nasional dan Single Identification Number (SIN), dimana saat itu tujuannya untuk menggabungkan identitas-identitas unik yang ada di Indonesia ke dalam satu nomor mulai dari Nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP), Nomor Sertifikat Tanah, Nomor Pelanggan PLN/PAM, Nomor SIM, STNK, Asuransi Kesehatan (Askes), Nomor Pensiun, Nomor Telepon, bahkan Nomor Akta Perkawinan yang akan digabung dan dilekatkan ke dalam Nomor Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NOP PBB). Sungguh gagasan yang sangat maju dalam birokrasi pemerintah waktu itu dan kebijakan tersebut dilaksanakan di seluruh wilayah kerja KPPBB se-Indonesia, hingga akhirnya kegiatan tersebut diambil alih oleh Kementerian Dalam Negeri hingga saat ini.
Tujuan SIN saat itu untuk membentuk data nasional yang dapat menjadi cikal bakal mewujudkan satu nomor identitas bagi warga negara dalam mendapatkan layanan administrasi publik yang diberikan oleh pemerintah maupun pihak lainnya.
Konsep ini mirip dengan yang dilakukan oleh beberapa negara maju, misalnya di Amerika Serikat dengan Social Security Number (SSN), dimana setiap warga negaranya sejak lahir akan diberikan sebuah nomor identitas tunggal yang berlaku seumur hidup yang dapat digunakan untuk mendapat layanan publik dari pemerintah, sangat memudahkan bukan.
Kembali ke Indonesia, apakah kebijakan ini dapat diwujudkan? Tentu bisa dan bukan hal yang mustahil di masa mendatang setiap WNI akan memiliki identitas tunggal seperti SSN tersebut, yang dapat digunakan dalam mengakses seluruh layanan baik yang disediakan pemerintah maupun pihak lain. Kita tidak perlu mengingat banyak nomor identitas yang dimiliki seperti sekarang, misalnya isi dompet kita, terdapat kartu eKTP, SIM, BPJS, NPWP, STNK, dan beberapa nomor lainnya. Mini kuis, apakah kita dapat menghapal NIK kita saat ini?.
Kebijakan Pemadanan NIK - NPWP
Bulan Desember 2023 ini menjadi batas akhir pemadanan NIK dan NPWP oleh Wajib Pajak yang terdaftar dan memiliki NPWP sebelum tanggal 14 Juli 2022 sesuai PMK Nomor 112 Tahun 2022. Rencananya sejak tanggal 01 Januari 2024 nanti NIK akan digunakan sebagai identitas dalam sistem administrasi perpajakan di Indonesia.
Namun sesuai pernyataan Dirjen Pajak saat menjawab pertanyaan awak media di acara Konferensi Pers APBN Kita edisi November 2023, NIK sebagai NPWP akan diimplementasikan saat sistem inti administrasi perpajakan (Core Tax Administration System/CTAS) yang sedang dikembangkan DJP dimulai secara penuh pada tanggal 01 Juli 2024. Hal ini telah resmi dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 yang berlaku sejak diundangkan yaitu tanggal 12 Desember 2023.
Penundaan implementasi kebijakan NIK sebagai NPWP juga disebabkan menunggu kesiapan para stakeholder di luar Ditjen Pajak yaitu Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, Pihak Lain (ILAP), terutama pihak Perbankan untuk menyesuaikan sistem informasi yang dimiliki saat ini agar dapat terhubung (interoperabilitas) dan selain itu adanya permintaan dari pemangku kepentingan agar diberikan waktu untuk mengenal/familiarisasi dengan sistem administrasi perpajakan yang baru DJP.
Dengan adanya jeda waktu ini diharapkan Wajib Pajak memiliki waktu yang lebih banyak yaitu sampai dengan tanggal 30 Juni 2024 dalam melakukan pemadanan NIK dan NPWP secara mandiri melalui daring di situs www.pajak.go.id.
Sesuai pernyataan Dirjen Pajak yang disampaikan pada acara yang sama, bahwa Ditjen Pajak hingga saat ini masih terus berupaya agar dapat menuntaskan seluruh NPWP yang ada dalam sistem DJP dengan NIK yang berasal dari Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri. Upaya tersebut berupa melanjutkan pemadanan NIK dan NPWP antar basis data DJP dengan Dukcapil secara sistem (otomatis), namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat data kependudukan yang tidak matching (padan) dengan basis data DJP sehingga dibutuhkan konfirmasi langsung dari Wajib Pajak.
Beberapa contoh data yang tidak dapat dipadankan secara otomatis, misalnya Nama pada eKTP berbeda dengan nama dalam NPWP karena pencantuman gelar, sebagaimana diketahui untuk Nama di NPWP sesuai ketentuan penulisan tidak mencantumkan gelar, namun di data kependudukan nama seseorang dapat mencantumkan gelar sehingga menghasilkan data tidak valid dan harus dikonfirmasi oleh yang bersangkutan secara mandiri.