Mohon tunggu...
Rin
Rin Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Si amatir pecandu kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Imperfect

23 Oktober 2022   18:05 Diperbarui: 23 Oktober 2022   18:34 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lubuklinggau, rinCaptured (1)

"Manusia adalah produk terbaik dari Sang Pencipta." Acap kali kalimat tersebut yang menjadi penguat bagi Adhira. Wanita yang hampir menginjak usia seperempat abad, tapi tak pernah sekalipun mengecap rasa dicintai lawan jenis.

Bukanlah momok lagi di zaman yang semakin dewasa ini bahwa good looking dan kesempurnaan fisik terkhusus wajah menjadi tolok ukur keberhasilan seseorang mendapatkan cinta.

Berdalih dengan alasan "memperbaiki keturunan" lantas manusia seolah benar dengan memetakan cantik-jelek, rupawan-buruk rupa, kaya-miskin, dan pemetaan lainnya yang mengurai jarak antara satu dengan yang lain. Menyekat interaksi sosial dengan mereka yang tak segolongan.

"Astghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah ...." Adhira tak henti membasahi bibirnya dengan beristighfar. Kerap kali pula wanita itu berzikir dalam diam setiap kali telinganya mendengar orang-orang di sekitarnya saling berbisik. Mereka menatap Adhira dengan penuh penilaian. Seolah merasa aneh. 

Tak jarang pula ada orang yang dengan spontan mengatakan bahwa rupa wanita itu seperti alien. Jika sudah seperti itu, Adhira hanya akan tersenyum getir. Dalam pikirnya ia bertanya, "Memangnya mereka pernah melihat alien yang sesungguhnya?" Lantas wanita beralis nyaris transparan itu akan dengan gigih menguatkan hatinya. Kembali merapal nama Tuhan dalam hati. Memohon agar hatinya dikuatkan. Agar telinganya dikebalkan dari ujaran tak menyenangkan. Agar ego tak menuruti amarahnya. Hanya dengan begitu ia merasa tenang, sebab wanita itu percaya, Tuhannya ada. Tuhannya jaga.

"Hasbunallah wa nikmal wakil, nikmal maulaana wanikman nasir."

Benar, cukuplah Allah menjadi penolongnya.

***

"Kamu tidak berangkat kerja, Nduk?" Neti, ibu sambung Adhira memecah lamunan wanita itu dengan pertanyaannya.

"Eh, Ibu." Adhira sempat terkejut sejenak. Lantas menjawabi pertanyaan ibunya, "Kerja, Bu. Hari ini shift malam."

"Oh," jawab wanita paruh baya itu. "Yasudah, jangan ngelamun terus, sarapan dulu sana, nanti magh-mu kambuh," katanya lagi. Neti memang bukan ibu kandung Adhira, tapi wanita paruh baya itu tak pernah sekalipun memperlakukan Adhira dengan tidak adil. Sejak wanita bertutur lemah lembut itu menikahi ayah Adhira, ia langsung memerankan sosok ibu yang perhatian terhadap anaknya. Barangkali, hal itu dilakukan karena Neti tak bisa mengandung. Rahim wanita itu harus diangkat karena penyakit yang dideritanya. Lantas, Neti menjadikan dirinya seorang ibu dengan menikahi ayah Adhira yang menduda karena ditinggal mati istrinya saat Adhira masih umur lima tahun.

Adhira tersenyum, tampak kebahagiaan atas syukurnya yang tergambar dalam manik cokelat indahnya itu. Sungguh, wanita itu tak henti berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimkan sosok wanita berhati malaikat seperti ibu sambungnya itu. Di dunia ini, hanya ada dua manusia yang memberi perhatian tulus dan kasih sayang tak terbatas untuk Adhira. Ialah, Ahmad, ayahnya dan Neti ibu sambungnya.

"Njih, Bu. Ibu masak apa hari ini?" Adhira beranjak dan merangkul Neti dengan akrabnya, layaknya berinteraksi dengan teman sebaya.

"Ibu nyambel tempe campur teri, kesukaanmu, Nduk. Sana, gih makan yang banyak biar badannya isi," ujar Neti.

Adhira mengangguk mantap sebagai jawaban. Lantas menggiring Neti ke dapur dengan bergelendotan di bahu wanita paruh baya bergamis itu.

Jika orang lain melihat adegan tersebut, mungkin mereka tidak akan menyangka bahwa keduanya tidaklah sedarah.

"Ini lagi pada ngapain, toh? Kok gelayutan gitu si Nduk ke Ibu?"

Ahmad yang tengah membaca koran sambil menikmati kopi paginya di beranda dapur terheran melihat kelakuan anak semata wayangnya begitu manja kepada istrinya.

"Udah, Nduk, itu ibumu pegel kamu lendotin begitu," ujarnya lagi. Lalu, Ahmad menyesap kembali kopi yang hampir dingin di hadapannya.

"Cie, cemburu," balas Adhira. Sengaja menggoda ayahnya lantas tertawa keras. Neti yang berada di tengah-tengah kedua anak dan ayah itu pun hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Udah, udah. Ini kenapa, toh? Bapak sama anak kok pagi-pagi wes padu," ucap Neti menengahi.

"Ndak padu, Bu. Becanda aja, loh," seloroh Adhira. Kemudian dia memeluk ayahnya dari belakang. Bergelayut di bahu ayahnya yang tengah duduk membaca koran. Seperti anak berumur enam tahun yang sedang merayu ayahnya untuk dibelikan mainan.

"Jangan nempel-nempel bapak, kamu bau iler," ujar Ahmad dengan berpura menutup hidungnya.

Sontak saja hal itu membuat Adhira kesal, tapi juga merasa lucu. Ayahnya itu memang punya selera humor yang bagus. Pantas saja lelaki itu terlihat awet muda.

"Sudah, toh, Pak. Anaknya cantik begini dibilang bau iler. Nangis nanti dianya." Neti kembali melerai keduanya.

"Iya, nih, Bapak. Jahat sama anak sendiri."

"Halah, drama kamu, Nduk. Lah wong bapak cuma guyon loh, kok baperan," ujar Ahmad enteng.

Adhira hanya melengos menganggapinya. Lalu berjalan malas ke arah kursi di hadapan ayahnya itu.

"Udah, jangan ngambek. Nanti cantiknya ilang, Nduk," rayu Ahmad kepada anak satu-satunya itu.

Cantik? Yang benar saja? Di dunia ini, hanya ada dua manusia yang mengatakan bahwa Adhira itu cantik. Ahmad dan Neti.

Iya, meski nyaris tak beralis, meski rambutnya tak tumbuh sempurna, meski wajahnya berbalut sayat pasca operasi, dan kedua matanya yang tak miliki bentuk selaras. Dia tetap cantik. Cantik di mata orang yang tepat, terlebih hatinya.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun