Mohon tunggu...
Rin
Rin Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Si amatir pecandu kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Imperfect

23 Oktober 2022   18:05 Diperbarui: 23 Oktober 2022   18:34 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lubuklinggau, rinCaptured (1)

"Oh," jawab wanita paruh baya itu. "Yasudah, jangan ngelamun terus, sarapan dulu sana, nanti magh-mu kambuh," katanya lagi. Neti memang bukan ibu kandung Adhira, tapi wanita paruh baya itu tak pernah sekalipun memperlakukan Adhira dengan tidak adil. Sejak wanita bertutur lemah lembut itu menikahi ayah Adhira, ia langsung memerankan sosok ibu yang perhatian terhadap anaknya. Barangkali, hal itu dilakukan karena Neti tak bisa mengandung. Rahim wanita itu harus diangkat karena penyakit yang dideritanya. Lantas, Neti menjadikan dirinya seorang ibu dengan menikahi ayah Adhira yang menduda karena ditinggal mati istrinya saat Adhira masih umur lima tahun.

Adhira tersenyum, tampak kebahagiaan atas syukurnya yang tergambar dalam manik cokelat indahnya itu. Sungguh, wanita itu tak henti berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimkan sosok wanita berhati malaikat seperti ibu sambungnya itu. Di dunia ini, hanya ada dua manusia yang memberi perhatian tulus dan kasih sayang tak terbatas untuk Adhira. Ialah, Ahmad, ayahnya dan Neti ibu sambungnya.

"Njih, Bu. Ibu masak apa hari ini?" Adhira beranjak dan merangkul Neti dengan akrabnya, layaknya berinteraksi dengan teman sebaya.

"Ibu nyambel tempe campur teri, kesukaanmu, Nduk. Sana, gih makan yang banyak biar badannya isi," ujar Neti.

Adhira mengangguk mantap sebagai jawaban. Lantas menggiring Neti ke dapur dengan bergelendotan di bahu wanita paruh baya bergamis itu.

Jika orang lain melihat adegan tersebut, mungkin mereka tidak akan menyangka bahwa keduanya tidaklah sedarah.

"Ini lagi pada ngapain, toh? Kok gelayutan gitu si Nduk ke Ibu?"

Ahmad yang tengah membaca koran sambil menikmati kopi paginya di beranda dapur terheran melihat kelakuan anak semata wayangnya begitu manja kepada istrinya.

"Udah, Nduk, itu ibumu pegel kamu lendotin begitu," ujarnya lagi. Lalu, Ahmad menyesap kembali kopi yang hampir dingin di hadapannya.

"Cie, cemburu," balas Adhira. Sengaja menggoda ayahnya lantas tertawa keras. Neti yang berada di tengah-tengah kedua anak dan ayah itu pun hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Udah, udah. Ini kenapa, toh? Bapak sama anak kok pagi-pagi wes padu," ucap Neti menengahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun