"Ndak padu, Bu. Becanda aja, loh," seloroh Adhira. Kemudian dia memeluk ayahnya dari belakang. Bergelayut di bahu ayahnya yang tengah duduk membaca koran. Seperti anak berumur enam tahun yang sedang merayu ayahnya untuk dibelikan mainan.
"Jangan nempel-nempel bapak, kamu bau iler," ujar Ahmad dengan berpura menutup hidungnya.
Sontak saja hal itu membuat Adhira kesal, tapi juga merasa lucu. Ayahnya itu memang punya selera humor yang bagus. Pantas saja lelaki itu terlihat awet muda.
"Sudah, toh, Pak. Anaknya cantik begini dibilang bau iler. Nangis nanti dianya." Neti kembali melerai keduanya.
"Iya, nih, Bapak. Jahat sama anak sendiri."
"Halah, drama kamu, Nduk. Lah wong bapak cuma guyon loh, kok baperan," ujar Ahmad enteng.
Adhira hanya melengos menganggapinya. Lalu berjalan malas ke arah kursi di hadapan ayahnya itu.
"Udah, jangan ngambek. Nanti cantiknya ilang, Nduk," rayu Ahmad kepada anak satu-satunya itu.
Cantik? Yang benar saja? Di dunia ini, hanya ada dua manusia yang mengatakan bahwa Adhira itu cantik. Ahmad dan Neti.
Iya, meski nyaris tak beralis, meski rambutnya tak tumbuh sempurna, meski wajahnya berbalut sayat pasca operasi, dan kedua matanya yang tak miliki bentuk selaras. Dia tetap cantik. Cantik di mata orang yang tepat, terlebih hatinya.
*