Dengan banyak konten yang mendukung gerakan radikal, para pengakses internet akan tergugah untuk melakukan dan menyebarkan paham radikal. Website yang berafiliasi dengan konten radikal akan mudah melakukan akulturasi dalam kehidupan konservatif masyarakat Indonesia.
Masalah lain dalam penanaman nilai-nilai Pancasila adalah struktural dan kultural. Dalam ranah struktural, negara belum mampu menghadirkan partisipasi aktif suprastruktur dalam implementasi Pancasila sejak dini.
Pancasila hanya di desain sebagai sebuah ucapan lisan tetapi tidak mempunya kekuatan implementatif. Sehingga menjadi tantangan tersendiri untuk negara agar mampu mengenalkan Pancasila hingga level implementatif.
Pada tingkat kultural, strategi kebudayaan Indonesia, seharusnya mengarahkan Pancasila sebagai budaya atau tradisi ke-Indonesia-an, sehingga dengan sadar maupun tidak sadar masyarakat secara luas akan menjalankan nilai-nilai Pancasila, tanpa harus menghafal butir per butir. Tanpa harus meninggalkan tradisi-tradisi lokal yang memang sudah terakomodir nilainya melalui Pancasila.
Konflik horizontal yang terjadi akibat gesekan paham antara budaya lokal yang terakulturasi dengan agama dan gerakan agama yang menjungjung budaya murni agama. Hal-hal seperti ini terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman dan implementatif terhadap sila-sila Pancasila.
Konflik horizontal ini akan memberikan efek domino terhadap cakupan yang lebih luas jika konflik seperti ini tidak terakomodir. Negara melalui instrumen pemerintah harus mampu menjadi intermediate actor yang meredam konflik horizontal yang terjadi.
Secara gamblang, masyarakat Indonesia mengakui bahwa Pancasila adalah dasar negara. Pengakuan ini memicu pertanyaan besar dan mendasar, Bagaimana implementasi Pancasila yang dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia?.
Merujuk pada kondisi negara dewasa ini, level implementatif Pancasila dalam kehidupan sehari-sehari masih cenderung kurang. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara hanya berpusat pada level wacana dan tidak beranjak pada level implementatif.
Sila pertama yang mencerminkan aspek ketuhanan melalui kerukunan beragama juga belum nampak secara gamblang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik beragama yang sering terjadi menjadi suatu bukti.
Sila kedua yang mencerminkan welas asih dan perlakuan adil dalam memanusiakan manusia juga belum sepenuhnya berhasil dilakukan. Masih banyak dalil-dalil hukum beserta instrumennya tumpang dalam menghadapi berbagai konflik kepentingan.
Nilai persatuan Indonesia tentu juga sama, masih ada saudara kita yang ingin memisahkan diri dari NKRI dan bahkan ingin mendirikan negara khilafah Indonesia. Nilai-nilai permusyawaran perwakilan juga maish jauh dari harapan, banyak fenomena-fenomena main hakim sendiri yang tidak mengedepankan musyawarah mufakat dalam penyelesain suatu persoalan.