Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang saat ini sedang terjadi di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Arus informasi yang mengalami transformasi dan penetrasi ke dalam segmen yang jauh lebih dalam akibat adanya globalisasi berdampak terhadap pergeseran serta perubahan tata nilai sosial suatu bangsa termasuk Indonesia.
Salah satu media yang berperan dalam berkembangnya fenomena globalisasi adalah televisi. Dewasanya, Televisi menjadi salah satu pintu palang informasi baik dalam penyaluran hingga pembentukan karakter.
Televisi menjadi pemantik dalam memberikan nilai heuristik dalam kehidupan manusia. Fenomena tersebut menyebabkan kita tidak dapat menghilangkan sepenuhnya efek negatif sebagai bagian dari Televisi.
Di Indonesia, kualitas program yang ditampilkan oleh para pelaku industri televisi cenderung hanya money oriented. Artinya, orientasi dari kualitas program yang ditayangkan hanya seputar keuntungan, bukan pencerdasan.
Hal ini menyebabkan nilai-nilai positif yang terkandung dari televisi menjadi kabur dan jauh dari harapan. Dengan atmosfir industri pertelevisian saat ini, tentu saja, perlu kerja keras serta kesadaran berpartisipasi kita sebagai manusia baik secara individual ataupun masyarakat untuk merealisasikan efek positif dari televisi.
Atmosfir seperti ini mampu menyebabkan efek domino dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama penyimpangan landasan filosofi negara yaitu Pancasila dengan berbagai aspek nilai yang terimplisitkan di dalam sila-silanya.
Pada kondisi ini, media televisi menjadi katalis dalam mempercepat proses penggulungan tata nilai dan tradisi bangsa Indonesia dan menggantinya dengan tata nilai pragmatisme dan populerisme asing melalui tayangan yang disiarkan di televisi.
Tayangan yang saat ini marak adalah sinetron televisi yang tidak mengajarkan nilai-nilai Pancasila. Remaja ataupun masyarakat yang menonton acara dengan aktris yang diidolakannya itu menggunakan model pakaian yang baru dengan desain kurang menutup.
Akhirnya, dapat disaksikan saat ini banyaknya masyarakat-mayarakat terutama di pedesaan yang semula berpenampilan sewajarnya dengan budaya di daerah yang ada mulai terpengaruh dengan unsur-unsur budaya barat.
Fenomena lain yang terjadi saat ini adalah media baru seperti internet yang menjadi kontestasi berbagai ideologi. Ideologi-ideologi yang membawa unsur radikal di dalamnya dapat dengan mudah ditemukan.
Tentu saja ini akan berpengaruh terhadap persepsi dan perilaku keagamaan seseorang sehingga berpengaruh terhadap perilaku radikal dan intoleransi seseorang. Fenomena bom bunuh diri yang terjadi belakangan ini, menyadarkan kita bahwa orang-orang tertarik untuk melakukan jihad seperti itu setelah mengakses internet dengan membaca konten yang terkait dengan jihad.
Dengan banyak konten yang mendukung gerakan radikal, para pengakses internet akan tergugah untuk melakukan dan menyebarkan paham radikal. Website yang berafiliasi dengan konten radikal akan mudah melakukan akulturasi dalam kehidupan konservatif masyarakat Indonesia.
Masalah lain dalam penanaman nilai-nilai Pancasila adalah struktural dan kultural. Dalam ranah struktural, negara belum mampu menghadirkan partisipasi aktif suprastruktur dalam implementasi Pancasila sejak dini.
Pancasila hanya di desain sebagai sebuah ucapan lisan tetapi tidak mempunya kekuatan implementatif. Sehingga menjadi tantangan tersendiri untuk negara agar mampu mengenalkan Pancasila hingga level implementatif.
Pada tingkat kultural, strategi kebudayaan Indonesia, seharusnya mengarahkan Pancasila sebagai budaya atau tradisi ke-Indonesia-an, sehingga dengan sadar maupun tidak sadar masyarakat secara luas akan menjalankan nilai-nilai Pancasila, tanpa harus menghafal butir per butir. Tanpa harus meninggalkan tradisi-tradisi lokal yang memang sudah terakomodir nilainya melalui Pancasila.
Konflik horizontal yang terjadi akibat gesekan paham antara budaya lokal yang terakulturasi dengan agama dan gerakan agama yang menjungjung budaya murni agama. Hal-hal seperti ini terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman dan implementatif terhadap sila-sila Pancasila.
Konflik horizontal ini akan memberikan efek domino terhadap cakupan yang lebih luas jika konflik seperti ini tidak terakomodir. Negara melalui instrumen pemerintah harus mampu menjadi intermediate actor yang meredam konflik horizontal yang terjadi.
Secara gamblang, masyarakat Indonesia mengakui bahwa Pancasila adalah dasar negara. Pengakuan ini memicu pertanyaan besar dan mendasar, Bagaimana implementasi Pancasila yang dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia?.
Merujuk pada kondisi negara dewasa ini, level implementatif Pancasila dalam kehidupan sehari-sehari masih cenderung kurang. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara hanya berpusat pada level wacana dan tidak beranjak pada level implementatif.
Sila pertama yang mencerminkan aspek ketuhanan melalui kerukunan beragama juga belum nampak secara gamblang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik beragama yang sering terjadi menjadi suatu bukti.
Sila kedua yang mencerminkan welas asih dan perlakuan adil dalam memanusiakan manusia juga belum sepenuhnya berhasil dilakukan. Masih banyak dalil-dalil hukum beserta instrumennya tumpang dalam menghadapi berbagai konflik kepentingan.
Nilai persatuan Indonesia tentu juga sama, masih ada saudara kita yang ingin memisahkan diri dari NKRI dan bahkan ingin mendirikan negara khilafah Indonesia. Nilai-nilai permusyawaran perwakilan juga maish jauh dari harapan, banyak fenomena-fenomena main hakim sendiri yang tidak mengedepankan musyawarah mufakat dalam penyelesain suatu persoalan.
Sila kelima sebagai tujuan berbangsa dan bernegara rupanya tidak di-amin-i oleh semua pihak. Banyak ketimbangan yang dibiarkan terbuka tanpa ada penyelesaian dari sesama dan selalu menunggu adanya turun tangan jabatan struktural untuk menyelesaikan.
Lantas, Solusi apa yang tepat? Bercermin dari kurangnya implementasi Pancasila, maka solusi yang tepat adalah kembali mengevaluasi kinerja-kinerja individu dalam mengimplementasikan nilai-nilai pancasila.
Lalu, bagaimana sistem yang tepat untuk kembali ke Pancasila? Dengan berbagai kendala baik secara struktural dan kultural, hal ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Dengan memanfaatkan atmosfer globalisasi yang terjadi, maka penanaman kembali nilai Pancasila menjadi sangat terbuka. Dengan memanfaatkan media televisi sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila ke dalam masyarakat.
Pertama, mengembalikan fungsi sosial media massa seperti televisi melalui pembentukan program-program yang mengandung nilai Pancasila, dan wajib ditayangkan baik di TV nasional maupun lokal.
Program yang ditayangkan di televisi perlu pembaharuan dan konsep menarik agar masyarakat mau untuk menonton acara tersebut. Program televisi interaktif yang mengusung konsep game interaktif Pancasila seperti Program Kuis Survey Family 100 yang di dalamnya diterapkan nilai-nilai Pancasila, histroris Indonesia, budaya-budaya lokal, dan rasa nasionalisme.
Selain itu, program ramah anak seperti Bocah Petualang menjadi salah satu pemantik pemahaman Pancasila kepada anak-anak agar mampu mengenal Indonesia secara menyeluruh dengan heterogenitasnya.
Pengurangan berita-berita negatif yang disiarkan dan diganti dengan berita positif berupa prestasi Indonesia dengan keragaman budayanya secara massif menjadi salah satu cara untuk doktrinasi pemahaman Pancasila.
Partisipasi aktif orangtua dalam mendampingi dan menyeleksi tayangan yang akan dilihat oleh anaknya menjadi syarat penting. Melihat animo masyarakat Indonesia yang menyukai sinetron-sinetron yang ditayangkan, perlu dilakukan pembinaan terhadap kualitas sinetron yang ditayangkan.
Sinetron yang ditayangkan harus mulai menjamah sisi nasionalisme dan Pancasila. Pemerintah melalui lembaga penyiaran Indonesia harus semakin giat dalam menyeleksi dan menerbitkan kualitas tayangan yang layak untuk disiarkan di televisi.
Penayangan dakwah keagamaan harus memuat konten nilai Pancasila. Hal ini dibertujuan untuk menunjukkan peran setiap lembaga dalam menjalin sinergitas penanaman nilai Pancasila.
Kedua, penayangan konten-konten damai di internet. Maraknya informasi yang tidak terbatas dan tidak tersaring, menjadikan siapapun mampu mengakses berbagai konten tanpa tau tujuan dari konten tersebut.
Untuk mengatasi permasalah ini, penayangan konten-konten damai dan berita positif di Internet perlu digalakkan. Dengan melibatkan semua pihak yang terlibat baik pemangku kebijakan, masyarakat, orangtua, guru, dan semua elemen untuk menghasilkan sinergitas dalam menanamkan nilai Pancasila.
Melalui konten-konten damai secara massif akan mampu mengurangi konten-konten negatif dan radikalisme yang bertebaran di internet.
Ketiga, evaluasi nilai-nilai Pancasila dalam suprastruktur (lembaga pemerintahan, pendidikan formal maupun nonformal). Pada tatanan lembaga pemerintahan, seringkali kita menemukan pegawai negeri sipil tidak mencerminkan nilai Pancasila.
Revitalisasi melalui etika kerja pegawai negeri sipil yang mencerminkan nilai Pancasila perlu dilakukan. Pembatasan konten yang terjadi di televisi dan internet perlu dipertegas, hal ini mengurangi muatan yang tidak layak tayang.
KPI harus lebih aktif dalam menampung aspirasi dan terbuka terhadap konten-konten yang tidak memberi edukasi nilai Pancasila kepada masyarakat.
Pada tataran kementrian, perlu dikeluarkan peraturan menteri yang mempertegas dan mewajibkan para pelaku industri televisi untuk menayangkan program yang mengandung nilai Pancasila selama seminggu minimal 3x tayang.
Pada tataran pendidikan formal, penegasan kurikulum ramah Pancasila baik dalam ruang belajar dalam kelas maupun interaksi dalam pendidikan. Penegasan kurikulum dapat berbentuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai peningkatan aspek kognitif terhadap Pancasila.
Dalam mengatasi ranah afektif dan psikomotorik, dapat dilakukan dengan menerapkan konsep reward and reward pada interaksi dalam pendidikan. Pembelajaran dilakukan dengan memberikan list-list kebaikan yang dilakukan selama satu semester yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Dengan hal ini, kita mampu melihat, perkembangan anak secara afektif dan psikomotorik terhadap memahami nilai-nilai Pancasila.
Pada tataran masyarakat, internalisasi Pancasila dilakukan dengan mereduksi konflik horizontal yang terjadi. Pemerintah harus mampu menjadi intermediate actor terhadap konflik-konflik horizontal yang terjadi dengan mengedepankan nilai Pancasila terutama nilai musyawarah mufakat dan keadilan sosial.
Pemerintah perlu membentuk tim dakwah kebangsaan yang tugasnya menyebarkan pemahaman nilai Pancasila yang di akulturasikan dengan agama dan budaya lokal. Sehingga masyarakat menerima dan menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Keempat, melalui sosok penguasa. Dalam struktural Indonesia, sosok baik penjabat formal maupun informal memiliki peranan penting sebagai acuan berperilaku berbangsa dan bernegara. Melalui jiwa-jiwa Pancasila, diharapkan masyarakat dapat mengikutinya.
Solusi-solusi tersebut tidak akan dapat terlaksana jika kesadaran diri untuk menegakkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat sehari-hari belum ada. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila membutuhkan sinergitas dari berbagai aspek, latar belakang, dan golongan agar nilai-nilai Pancasila agar tidak semakin pudar oleh zaman.
Kita perlu merenungkan nilai-nilai dasar negara pada era globalisasi ini. Melalui perenungan nilai-nilai Pancasila akan mampu membuat kita selalu menjunjung tinggi nilai kebijakan yang terdapat pada Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia untuk mencapai satu kesatuan tekad yang utuh guna memajukan bangsa Indonesia. Negara tanpa dasar, seperti lidi yang mudah patah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H