Perolehan Ahok akan mentok di 100 - 67 = 33% saja.
Perhitungan sederhana di atas, menemukan pembenarannya pada hasil survey akhir-akhir ini.Â
Di tengah kepuasan publik yang tinggi, elektabilitas petahana tidak pernah melampaui 50% dan selalu turun. Anomali. Ini agak mengkhawatirkan karena untuk terpilih kembali, elektabilitas petahana seharusnya di atas 50%, bila perlu 70 atau 90 persen.Â
Poltracking terakhir saja cuma membandrol 40-an persen lebih sedikit. Melihat ke perhitungan pemilu 2 tahun lalu itu, anomali ini mendapat sedikit penjelasan.
Bukan Pak Sandiaga Uno
Tapi untuk meraup "sisa suara" sebanyak 67% Â itu, Â syaratnya lawan-lawan Ahok harus mengusung kandidat yang bersih supaya masyarakat tidak golput dan bersedia datang ke TPS. Bersih ini selain bersih dari korupsi juga harus bersih dari gosip juga. Bukankan separuh pemilih pada kategori ibu-ibu atau calon ibu-ibu?
Kenapa bukan Pak Sandi? Sederhana saja, Pak Sandi bukan potongan yang mampu meraup "simpati publik" yang cukup. Simpati publik dalam arti luas ya. Kalau publik di sekitar masjid Istiqlal atau kampus UI sih beda lagi.Â
Pak Uno usahanya bergerak di bidang investasi, takutnya orang malah mengidentikannya dengan rentenir. Paling tidak identik dengan duit. Andai saja Pak Uno bergeraknya di bidang mebel atau kue-kue, mungkin ceritanya akan lain.Â
Pak Uno memang berwajah "komersiil" tapi tidak untuk dijual secara politis. Lebih baik ia diarahkan sebagai bintang sinetron. Mungkin setelah sukses jadi bintang sinetron, bisa mulai mengarah menjadi politisi.
Inilah mengapa Uno adalah "calon favorit" media pro Ahok. Karena untuk menangkal Uno, pihak Ahok tinggal merekrut artis terkait dan gosip-gosipnya sebagai jurkam. Selesai urusan.
Alternatif Lain