Dunia persilatan agak goyah gara-gara Ahok didukung Partai Moncong Putih.Â
Lawan-lawan Ahok terhenyak ke belakang untuk membangun rapat-rapat di tengah waktu yang mepet. Pro Ahok sejenak berpesta pora. Para pendukung itu mungkin merasa bahwa langit dan bumi sudah berserikat dan berkumpul untuk mereka. Terlepas bahwa belakangan, langit sempat mengirimkan air ke bumi tepat dimana Balaikota DKI berdiri, kantor Basuki itu sendiri. Katanya ada puing-puing yang menutup selokan. Puing-puing memang nakal, apalagi puing-puing yang menutupi selokan baik sengaja maupun tidak sengaja.
Selain langit dan bumi, konon Basuki juga didukung oleh dua media besar. M dan K. M karena milik Pak Brewok. K karena sudah seharusnya begitu. Hati-hati bagi semuanya, jangan terlalu asyik menonton dua media besar ini saja, yang dirasa seger. Terlalu banyak mengkonsumsi media itu-itu saja bisa menciptakan realitas di pikiran yang berjalan sendiri ke arah yang tidak diamini oleh kenyataan.
Elektabilitas Petahana yang Rendah
Coba ingat kembali pernyataan Masinton Pasaribu, salah satu hulubalang dari PDIP, beberapa waktu lalu, bahwa "kambing dibedakin" bisa menang lawan Ahok.Â
Pernyataan itu bukannya tanpa dasar.
Set back dulu. Lihat saja peta dukungan politik 2 tahun yang lalu di DKI Jakarta. Prabowo vs Jokowi.
Prabowo-Hatta: 2.528.064 (46,92 persen) Â >>> 47%
Jokowi-JK: 2.859.894 (53,08 persen) >>> 53%
Total suara sah: 5.387.958
Kasarannya, Prabowo 47 persen dan Jokowi 53 persen.
Selisih = 53 - 47 = 6%.
Itu data pemilu lho, yang bisa dipertanggungjawabkan dan dijamin tidak dibayar siapa pun dan sepeser pun.
Besar kemungkinan pemilih Prabowo-Hatta tidak akan memilih Ahok.Â
Pertama, karena dendam politiknya masih eksis, kedua karena hanya sedikit kondisi yang membuat pemilih Prabowo memilih Ahok.
Sedikit kondisi itu contohnya, bila kebetulan ada kesamaan identitas antara pemilih dengan Ahok, atau yang disebut pemilih tradisional. Atau seseorang baru saja diangkat sebagai pasukan oranye dan sangat senang karena akhirnya bisa jadi pegawai berseragam dan bergaji UMK. Atau dia pasukan oranye sekaligus memiliki kesamaan identitas dengan Ahok. Tapi itu jumlahnya tidak akan signifikan.
Jadi dari eks pemilih Prabowo, lawan-lawan Ahok akan memperoleh 47% tadi. Oke lah dipotong 5% saja supaya tidak terlalu optimis. 47 - 5 = 42%.
Dari eks pemilih Prabowo, lawan-lawan Ahok akan memperebutkan 42%.
Pendukung Jokowi yang 53% itu terbelah. Ingat, sebagian besar pemilih Jokowi beralasan bahwa Jokowi itu merakyat dan manusiawi. Bukan karakter yang mudah ditemukan pada seorang Ahok. Yang kerakyatan ini bisa diasumsikan tidak akan memilih Ahok.
Katakanlah dari 53% pemilih Jokowi itu, 25% adalah faksi "kerakyatan", dan 28% adalah faksi "sisanya". Sudah saya kasih bonus 3% untuk pro Ahok.
Maka lawan Ahok akan mendapatkan:
42% (eks pendukung Prabowo) + 25% (eks pendukung Jokowi) = 67% dari seluruh pemilih di Jakarta.
Perolehan Ahok akan mentok di 100 - 67 = 33% saja.
Perhitungan sederhana di atas, menemukan pembenarannya pada hasil survey akhir-akhir ini.Â
Di tengah kepuasan publik yang tinggi, elektabilitas petahana tidak pernah melampaui 50% dan selalu turun. Anomali. Ini agak mengkhawatirkan karena untuk terpilih kembali, elektabilitas petahana seharusnya di atas 50%, bila perlu 70 atau 90 persen.Â
Poltracking terakhir saja cuma membandrol 40-an persen lebih sedikit. Melihat ke perhitungan pemilu 2 tahun lalu itu, anomali ini mendapat sedikit penjelasan.
Bukan Pak Sandiaga Uno
Tapi untuk meraup "sisa suara" sebanyak 67% Â itu, Â syaratnya lawan-lawan Ahok harus mengusung kandidat yang bersih supaya masyarakat tidak golput dan bersedia datang ke TPS. Bersih ini selain bersih dari korupsi juga harus bersih dari gosip juga. Bukankan separuh pemilih pada kategori ibu-ibu atau calon ibu-ibu?
Kenapa bukan Pak Sandi? Sederhana saja, Pak Sandi bukan potongan yang mampu meraup "simpati publik" yang cukup. Simpati publik dalam arti luas ya. Kalau publik di sekitar masjid Istiqlal atau kampus UI sih beda lagi.Â
Pak Uno usahanya bergerak di bidang investasi, takutnya orang malah mengidentikannya dengan rentenir. Paling tidak identik dengan duit. Andai saja Pak Uno bergeraknya di bidang mebel atau kue-kue, mungkin ceritanya akan lain.Â
Pak Uno memang berwajah "komersiil" tapi tidak untuk dijual secara politis. Lebih baik ia diarahkan sebagai bintang sinetron. Mungkin setelah sukses jadi bintang sinetron, bisa mulai mengarah menjadi politisi.
Inilah mengapa Uno adalah "calon favorit" media pro Ahok. Karena untuk menangkal Uno, pihak Ahok tinggal merekrut artis terkait dan gosip-gosipnya sebagai jurkam. Selesai urusan.
Alternatif Lain
Alternatif lain sudah bermunculan, dan saatnya lawan-lawan Ahok menggunakan instink yang baik untuk menuju kemenangan. Keluar dulu dari komplek Istiqlal dan naik metromini untuk mendengar suara-suara alam. Â Menyusuri Jakarta dari Ragunan sampai Kota Tua. Mengamati sungai Ciliwung yang konon sudah tak meluap lagi selama tak ada tumpukan puing-puing.
Atau kembali ke rumus klasik saja, gabungkan Islamis dan Nasionalis, Sipil dan Militer, Jawa dan Luar Jawa dan seterusnya.
Contoh: Anies Baswedan + Yoyok Bupati Batang.
Bukan saya pendukung kedua orang itu. Ini adalah kalkulasi rasional. Keduanya bersih sehingga bisa dipoles secara maksimal tanpa terhambat track record buruk ataupun gosip miring.
Anies adalah representasi Islam-Sipil dan Yoyok adalah representasi Nasionalis-Militer.
Anies belum banyak berkiprah sehingga malah relatif bersih dari "dosa". Paling-paling dosanya adalah kena reshuffle. Â Malah bisa jadi poin positif karena dizolimi.
Yoyok dapat rekam jejak yang baik dari kiprahnya sebagai Bupati Batang. Dan komitmennya untuk tidak masuk Parpol. Dan komitmennya untuk tidak nyalon ke dua kali di Batang. Soal popularitas bisa dikatrol lah. Waktunya masih cukup.
Nih saya tambah argumen dari Survey Poltracking:
Tri Rismaharini-Anies Baswedan (37,95%) vs Basuki Tjahaja Purnama -Heru Budi Hartono (35,64%). Tidak menjawab : 26,41%.
Tri Rismaharini-Sandiaga Uno: 38,21% vs Basuki Tjahaja Purnama-Heru Budi Hartono (24,87%). Tidak menjawab: 24,87%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (44,62%) vs Yusril Ihza Mahendra-Sandiaga Uno (14,86%). Tidak menjawab:26,92%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (41,54%) vs Sandiaga Uno-Saefullah (27,18%). Tidak menjawab: 31,28%
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (37,95%) vs Anies Baswedan-Sandiaga Uno (36,38%). Tidak menjawab 25,67%
Basuki dikalahkan oleh Risma.Â
Selain Bu Risma, yang cukup nendang hanya Pak Anies. Basuki hanya bisa menang tipis lawan Anies-Uno. Apalagi kalau partnernya Pak Anies adalah tokoh yang lebih netral ketimbang Pak Uno. Sebenarnya kunci ada di Aniesnya. Untuk wakil, yang penting tidak mberat-mberatin.
Nah, partai-partainya ada, kandidatnya ada, peluang besar. Tinggal mau majukan apa tidak. Terimakasih. (PCL)
Sumber :
PCL 21 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H