Bukan karena pamornya saja benda itu merah. Panas dan membara ketika lelaki muda mencabutnya dari perapian.
Diangkatnya setinggi wajah. “Hari ini seharusnya sudah milikku” katanya.
Di depannya, lelaki tua tersenyum. Berhenti menggosok sebuah bakal warangka, ia menatap sebilah benda merah di antara dua mata pemesannya.
“Arok, kesempurnaan membutuhkan waktu, ” katanya.
Jengkrik malam masih bersahutan. Angin dingin menembus sela-sela anyaman dinding bambu. Tetapi bilik itu dihangatkan hawa logam yang membara.
“Gandring, engkau tidak menepati janji. ” kata si pemuda.
Ditatapnya mata pemuda itu. Ada kelancangan. Ada keberanian. Ada prajurit yang berbaris menabuh genderang. Ada kapal-kapal, rumah-rumah yang terbakar. Ada asap.
Asap juga mendesis di dadanya sendiri. Ngilu, amat ngilu di ulu hati, merayap ke arah punggung, menjadi dingin. Semakin dingin, menyebar ke penjuru tubuh. Arok telah menyatukan sebilah logam itu dengan dada Gandring.
“Bayar!” Dalam sekarat ia membentak.
“Yang ingkar janji tidak dibayar, ” jawab Arok.
Giginya gemeretak. Tubuhnya masih berdiri karena disangga keris. Tetapi dari bibirnya masih keluar suara.
“Tujuh turunan. ”
Arok mengerti. Tetapi kutukan bukan pokok pikirannya saat itu. Didekatinya kuping lelaki tua itu dan ia berbisik, aku lebih tahu tentang kesempurnaan, juga kesempurnaan yang berhubungan dengan waktu.
Sekejap dicabutnya logam itu. Gandring terhuyung dan roboh di kaki Arok. Menggelepar, lalu lemah. Sebelum nafas terakhir, mendesis dari bibirnya,
“Atau lebih.”
Arok menunduk. Dengan keris ia mengambil sesuatu di jasad sang Mpu. Diselip keris di warangkanya dan disandangnya di pinggang.
Malam teramat larut ketika Arok membawa sebuah bungkusan keluar dari pondok kecil di kaki bukit. Di atas sebuah batu ia menyeru,
“Tumapel, jangan ingkar janji. ”
Kemudian seperti bayangan ia melesat pergi, menghilang ke dalam hutan Kaliwat.
***
Pagi gempar. Pengantar arang berlari-lari di jalan desa. “Gandring tewas. Gandring dibunuh. Dibunuh.” Orang-orang segera berkumpul di pondok di kaki bukit. Merubung jasad lelaki tua dengan luka di dada dan kuping hilang sebelah.
Tak lama, terdengar ringkikan kuda. Seorang lelaki gagah menghentikan kudanya. Di belakangnya, puluhan prajurit mengikuti.
“Ada apa ini?”
“Suro Kuping. Brandal Suro Kuping membunuhnya. Ia pun membawa seluruh benda berharga sang Mpu.” Orang-orang menjelaskan.
“Iblis. Tidak ada dosa yang lebih besar di Tumapel dari membunuh seorang Mpu. ” kata si perwira. “Kebo Ijo, ikuti aku.”
Perwira itu menghela kudanya. Derap kaki riuh dan debu mengepul ketika pasukan itu meninggalkan kaki bukit.
Sampai di sebuah tepian sungai di pinggir hutan, Arok berseru
“Berhenti.”
“Kebo Ijo, bawa pasukanmu menyusuri kali ini. Bila sampai di sebuah batu datar besar di bawah pohon gayam, sembunyikan semua pasukanmu, sergap seorang lelaki yang akan mandi di situ.”
Bertubuh gempal dengan otot-otot menonjol dan bulu di sekujur tubuh, Kebo Ijo adalah prajurit perkasa. Walau besar, lincah ia turun dari kuda. Dengan mengendap-endap ia pun membawa empat puluh prajurit pilihan menyusuri kali menuju jantung hutan Kaliwat.
Arok masih di atas kuda. Gemricik itu diingatnya benar. Juga di sana, jauh di hilir sungai, sebuah batu datar di bawah pohon gayam.
***
“Ini dia!” Kebo Ijo mendorong tawanan ke hadapan Arok. “Dan ini kutemukan bersama iblis ini. ” Kebo menyerahkan sebilah keris.
Berandal itu memang sudah tua renta. Rambutnya panjang putih awut-awutan, tulang-tulang panjang kurus, dan keriput di sekujur tubuh.
Hanya matanya saja yang tetap tajam tak menyerah. Menatap Arok tanpa gentar, seperti menganggapnya seorang bocah kecil saja.
“Jahanam kau Arok. Tak ingatkah kau ….”
Itu saja yang dapat diucapkan Suro Kuping. Karena detik itu juga Arok menghentikan jantungnya dengan keris yang baru saja diterimanya.
Masih menyangga badan berandal tua tegak dengan kerisnya, Arok berbisik di telinga, aku lebih tahu tentang apa-apa diingat dan tidak diingat.
Dicabutnya keris dan diberikannya kembali pada Kebo Ijo.
Sejak itu, harumlah nama Arok. Ia yang membalaskan dendam Tumapel, dan membalaskan dendam seorang Mpu yang terbunuh kejam di suatu malam.
***
Dedes, suatu saat tua bangka itu akan mati juga, dan kita dapat bersama, Kebo Ijo berbisik. Dilepaskan genggaman dari tangan sutera, lalu ia mengendap-endap menuju sebuah sudut di keputren.
Pijakan-pijakan untuk mencapai bagian atas dinding itu dihafalnya benar. Sebentar saja ia sudah duduk di atas beteng keputren. Bulan di atas hanya setengah dan tersaput awan, membuat malam tetap gelap temaram. Ditatapnya kembali jendela kamar Dedes, kekasihnya yang telah hilang dan selalu ia coba curi kembali.
Tetapi di atas dinding itu ia terkejut. Sebuah benda kayu di dekatnya. “Aneh, Ini warangka dari keris Suro Kuping, ” batin Kebo Ijo sembari memungutnya. Ia masih memikirkan keganjilan hal itu ketika tiba-tiba terdengar suara dari bawah.
“Siapa itu, menyerahlah. ”
Kebo ijo melihat puluhan cahaya di bawahnya. Prajurit-prajurit Tumapel membawa obor mengepungnya.
Hanya satu hal yang dapat dipikirkannya, Sial.
***
Siang harinya, Kebo Ijo berada di ketinggian lagi. Tetapi bukan di dinding keputren. Rakyat Tumapel bersorak sorai di bawahnya, dan bundaran tali gantungan persis di depan wajahnya.
Ia memang harus menjemput maut. Tadi malam Akuwu tewas di peraduannya. Sebilah keris yang menancap di dada Akuwu telah dikenali sebagai milik Kebo Ijo.
Prajurit Tumapel menangkapnya di beteng keputren, dengan warangka keris itu di tangannya. Kebo Ijo tak bisa mengelak. Sebagaimana ia tak bisa mengelak bahwa diam-diam ia tetap mencintai istri Akuwu, Dedes, dan selalu berusaha mencuri kembali cintanya, dimalam-malam apabila bulan setengah dan tersaput awan.
Di antara ramai orang di bawahnya, dilihatnya juga Arok. Ia memegang keris tangannya, yang merupakan bukti kejahatan pembunuhan terhadap Akuwu.
Mata tajam Arok menatapnya, seperti bicara padanya, akulah yang lebih tahu arti sebuah keris.
Tali telah melilit lehernya, dan ketika algojo menendang kursi yang dipijaknya, Kebo Ijo melihat sebuah belati di mata Arok. (PCL)
Catatan: fiksi ini disadur secara bebas dengan beberapa distorsi dari cerita Ken Arok di serat Pararaton. Ilustrasi diambil dari situs ini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI