Berandal itu memang sudah tua renta. Rambutnya panjang putih awut-awutan, tulang-tulang panjang kurus, dan keriput di sekujur tubuh.
Hanya matanya saja yang tetap tajam tak menyerah. Menatap Arok tanpa gentar, seperti menganggapnya seorang bocah kecil saja.
“Jahanam kau Arok. Tak ingatkah kau ….”
Itu saja yang dapat diucapkan Suro Kuping. Karena detik itu juga Arok menghentikan jantungnya dengan keris yang baru saja diterimanya.
Masih menyangga badan berandal tua tegak dengan kerisnya, Arok berbisik di telinga, aku lebih tahu tentang apa-apa diingat dan tidak diingat.
Dicabutnya keris dan diberikannya kembali pada Kebo Ijo.
Sejak itu, harumlah nama Arok. Ia yang membalaskan dendam Tumapel, dan membalaskan dendam seorang Mpu yang terbunuh kejam di suatu malam.
***
Dedes, suatu saat tua bangka itu akan mati juga, dan kita dapat bersama, Kebo Ijo berbisik. Dilepaskan genggaman dari tangan sutera, lalu ia mengendap-endap menuju sebuah sudut di keputren.
Pijakan-pijakan untuk mencapai bagian atas dinding itu dihafalnya benar. Sebentar saja ia sudah duduk di atas beteng keputren. Bulan di atas hanya setengah dan tersaput awan, membuat malam tetap gelap temaram. Ditatapnya kembali jendela kamar Dedes, kekasihnya yang telah hilang dan selalu ia coba curi kembali.
Tetapi di atas dinding itu ia terkejut. Sebuah benda kayu di dekatnya. “Aneh, Ini warangka dari keris Suro Kuping, ” batin Kebo Ijo sembari memungutnya. Ia masih memikirkan keganjilan hal itu ketika tiba-tiba terdengar suara dari bawah.