Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belati Sang Arok

15 Maret 2010   04:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:25 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tujuh turunan. ”

Arok mengerti. Tetapi kutukan bukan pokok pikirannya saat itu. Didekatinya kuping lelaki tua itu dan ia berbisik, aku lebih tahu tentang kesempurnaan, juga kesempurnaan yang berhubungan dengan waktu.

Sekejap dicabutnya logam itu. Gandring terhuyung dan roboh di kaki Arok. Menggelepar, lalu lemah. Sebelum nafas terakhir, mendesis dari bibirnya,

“Atau lebih.”

Arok menunduk. Dengan keris ia mengambil sesuatu di jasad sang Mpu. Diselip keris di warangkanya dan disandangnya di pinggang.

Malam teramat larut ketika Arok membawa sebuah bungkusan keluar dari pondok kecil di kaki bukit. Di atas sebuah batu ia menyeru,

“Tumapel, jangan ingkar janji. ”

Kemudian seperti bayangan ia melesat pergi, menghilang ke dalam hutan Kaliwat.

***

Pagi gempar. Pengantar arang berlari-lari di jalan desa. “Gandring tewas. Gandring dibunuh. Dibunuh.” Orang-orang segera berkumpul di pondok di kaki bukit. Merubung jasad lelaki tua dengan luka di dada dan kuping hilang sebelah.

Tak lama, terdengar ringkikan kuda. Seorang lelaki gagah menghentikan kudanya. Di belakangnya, puluhan prajurit mengikuti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun