“Tujuh turunan. ”
Arok mengerti. Tetapi kutukan bukan pokok pikirannya saat itu. Didekatinya kuping lelaki tua itu dan ia berbisik, aku lebih tahu tentang kesempurnaan, juga kesempurnaan yang berhubungan dengan waktu.
Sekejap dicabutnya logam itu. Gandring terhuyung dan roboh di kaki Arok. Menggelepar, lalu lemah. Sebelum nafas terakhir, mendesis dari bibirnya,
“Atau lebih.”
Arok menunduk. Dengan keris ia mengambil sesuatu di jasad sang Mpu. Diselip keris di warangkanya dan disandangnya di pinggang.
Malam teramat larut ketika Arok membawa sebuah bungkusan keluar dari pondok kecil di kaki bukit. Di atas sebuah batu ia menyeru,
“Tumapel, jangan ingkar janji. ”
Kemudian seperti bayangan ia melesat pergi, menghilang ke dalam hutan Kaliwat.
***
Pagi gempar. Pengantar arang berlari-lari di jalan desa. “Gandring tewas. Gandring dibunuh. Dibunuh.” Orang-orang segera berkumpul di pondok di kaki bukit. Merubung jasad lelaki tua dengan luka di dada dan kuping hilang sebelah.
Tak lama, terdengar ringkikan kuda. Seorang lelaki gagah menghentikan kudanya. Di belakangnya, puluhan prajurit mengikuti.