Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sepuluh Ribu Tiga untuk Tuan Presiden

1 Februari 2010   23:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:08 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Seribu tiga, seribu tiga. "

Bukan salah judul. Kalau anda kebetulan terlahir di zaman yang cukup zadul (zaman dulu), anda mungkin ingat di pasar-pasar kaget dan terminal dijajakan barang murah seribu tiga. Sekarang di pasar yang sama, kita masih menjumpai barang-barang itu. Hanya ditawarkan dengan harga yang berbeda yaitu, "sepuluh ribu tiga".

Walaupun untuk tiga barang harus bayar sepuluh ribu, masih juga menandakan murahnya barang-barang di negeri, khususnya yang impor dari Cina-cina itu. Tapi mengingat pada zaman dulu barang-barang itu disebut seribu tiga, kita juga boleh menghakimi hal ini sebagai inflasi. Yakni menurunnya nilai rupiah yang kita pegang dan kita cintai.

[caption id="attachment_65739" align="alignleft" width="300" caption="bukan sepuluh ribu tiga (sumber: google)"][/caption]

Syukurlah bahwa Pemerintah dengan menteri-menteri yang bijaksana selalu berusaha meningkatkan pendapatan anda, baik kalau anda pejabat tinggi maupun rakyat biasa. Sehingga inflasi tersebut tidak terlalu menimbulkan dampak sistemik dalam penderitaan kita. Dan walaupun yang dulu seribu sekarang sudah menjadi sepuluh ribu, kita masih membeli tiga barang tersebut, dan masih berasa murah.

Tetapi ada lagi inflasi lain. Mudah-mudahan saja ini bukan pertanda bahwa inflasi sedang terjadi di seluruh sendi kehidupan bangsa kita yang sehat dan dinamis ini.

Inflasi yang satu ini terjadi tepat di depan Istana Merdeka. Bagi anda penjaja sepuluh ribu tiga itu, jangan gembira dulu. Ini bukan berarti di halaman Istana yang pagarnya baru dan asri, telah boleh anda menggelar lapak anda yang tidak sopan santun.

Mengenai halaman depan Istana itu, ada sebuah cerita.

Suatu saat Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, mengunjungi Soekarno di Istana Merdeka. Membanggakan kebebasan di negerinya, Kennedy bercerita, "Amerika menjunjung tinggi kebebasan. Di Amerika, kalau ada orang berdemo di depan Gedung Putih, menjelek-jelekkan Kennedy, tidak ditangkap."

Soekarno, bapak negara kita itu, tak kurang akal menjawab, "Indonesia ini pun tidak kalah bebas. Di Indonesia, kalau ada orang berdemo di depan Istana Merdeka, menjelek-jelekkan Kennedy, juga tidak ditangkap."

Maaf bila transkrip pertemuan kenegaraan di atas tidak akurat, atau kalau kejadian tersebut sepenuhnya lelucon saja.

Hari ini, sekian puluh tahun semenjak kejadian itu, seorang Presiden Amerika tak dapat lagi membanggakan hal yang sama terhadap Indonesia.

Terbukti pada demo peringatan 100 hari kepresidenan yang meriah, tidak ada yang ditangkap karena menjelek-jelekkan Presiden. Hanya sedikit gertakan (baca: early warning) dari Pak Presiden beberapa hari sebelumnya agar pasukan-pasukan pengawalan lebih waspada. Juga pengamanan standar seperti kawat berduri, polisi dan meriam-meriam air. Pada hari itu, dengan tertib kelompok-kelompok itu diatur untuk secara bergiliran menyampaikan unek-uneknya, aspirasi, dan sumpah serapahnya pada Pak Presiden.

Amatlah berbeda dengan belasan tahun yang lalu, di halaman istana yang sama, di zaman seribu tiga itu, yaitu zamannya Pak Harto.

Pada masa tersebut, unjuk rasa di depan istana, walau hanya sepuluh atau duapuluh orang, adalah sesuatu yang menggemparkan - karena bahaya yang terkandung pada aktifitas tersebut, bagi kewibawaan pemerintah dan keselamatan demonstran-demonstran itu.

Sikap represi rezim Soeharto rupa-rupanya malah dapat memaknai aksi demo itu sendiri. Yakni bahwa persoalan yang didemokan adalah penting, dan sikap mereka adalah sesuatu yang heroik. Saking pentingnya, sampai-sampai pemuda-pemuda itu berani mempertaruhkan nyawanya.

Di zaman Pak Harto demonstrasi adalah sesuatu yang tabu yang tidak boleh dilakukan atau diberitakan. Sehingga demonstrasi adalah sesuatu yang jarang. Ini juga turut memberi nilai pada aktivitas tersebut, karena kata ekonomi, sesuatu yang jarang harganya mahal.

Saat ini, unjuk rasa adalah tontonan sehari-hari. Kalau cuma ribuan orang, belum dianggap heboh. Bahkan kalau pun puluhan ribu, orang masih dapat mengklaim bahwa mereka hanyalah pihak-pihak yang kalah di pemilu yang lalu, dimana setiap pasangan kandidat memang didukung jutaan orang.

Lagi pula hari ini penguasa pun telah belajar banyak untuk menanganinya dengan baik. Bukan hanya dengan kawat duri dan meriam-meriam air. Misalnya, dengan mengerahkan demonstrasi tandingan. Rupanya unjuk rasa yang pada mulanya adalah sarana untuk menyampaikan aspirasi, ternyata dapat digunakan juga untuk menangkal unjuk rasa yang lain.

Ketika demo-demo itu semakin sering terjadi, maka harganya menjadi murah. Inflasi. Berbeda dengan inflasi pada nilai mata uang, inflasi yang ini disukai pemerintah, dan kabar duka bagi para pendemo.

Di sisi lain, penguasa akan menghindari kontak fisik dengan para pendemo dan memilih cara-cara lain.  Karena seandainya kawat duri dan meriam air itu menciderai mereka, demonstrasi itu akan memperoleh kembali sebagian nilainya yang hilang.

Para pengunjuk rasa di depan Istana Negara, dan dimana saja, tidak lagi bisa memaknai suara lantangnya dengan tajamnya peluru dan kerasnya laras senapan. Dan ketika gemanya itu semakin sunyi, mereka harus berhadapan dengan jurus citra sang Presiden, dan kalkulasi para ahli di sampingnya, yang pernah mengantarkannya ke kursi kekuasaan.

Semoga saja, di bilik-bilik temaram di dalam istana itu, Pak Presiden dan para cendekiawan, bukan hanya berdebat untuk mengukur dan memastikan turunnya nilai suara-suara lantang, di jalanan, juga jalan di depan Istana Merdeka.

Baca juga : Tuhan Tidur di Saku Pak Boediono Bukan Genjer-genjer Presiden 6.7 T

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun