Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sepuluh Ribu Tiga untuk Tuan Presiden

1 Februari 2010   23:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:08 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini, sekian puluh tahun semenjak kejadian itu, seorang Presiden Amerika tak dapat lagi membanggakan hal yang sama terhadap Indonesia.

Terbukti pada demo peringatan 100 hari kepresidenan yang meriah, tidak ada yang ditangkap karena menjelek-jelekkan Presiden. Hanya sedikit gertakan (baca: early warning) dari Pak Presiden beberapa hari sebelumnya agar pasukan-pasukan pengawalan lebih waspada. Juga pengamanan standar seperti kawat berduri, polisi dan meriam-meriam air. Pada hari itu, dengan tertib kelompok-kelompok itu diatur untuk secara bergiliran menyampaikan unek-uneknya, aspirasi, dan sumpah serapahnya pada Pak Presiden.

Amatlah berbeda dengan belasan tahun yang lalu, di halaman istana yang sama, di zaman seribu tiga itu, yaitu zamannya Pak Harto.

Pada masa tersebut, unjuk rasa di depan istana, walau hanya sepuluh atau duapuluh orang, adalah sesuatu yang menggemparkan - karena bahaya yang terkandung pada aktifitas tersebut, bagi kewibawaan pemerintah dan keselamatan demonstran-demonstran itu.

Sikap represi rezim Soeharto rupa-rupanya malah dapat memaknai aksi demo itu sendiri. Yakni bahwa persoalan yang didemokan adalah penting, dan sikap mereka adalah sesuatu yang heroik. Saking pentingnya, sampai-sampai pemuda-pemuda itu berani mempertaruhkan nyawanya.

Di zaman Pak Harto demonstrasi adalah sesuatu yang tabu yang tidak boleh dilakukan atau diberitakan. Sehingga demonstrasi adalah sesuatu yang jarang. Ini juga turut memberi nilai pada aktivitas tersebut, karena kata ekonomi, sesuatu yang jarang harganya mahal.

Saat ini, unjuk rasa adalah tontonan sehari-hari. Kalau cuma ribuan orang, belum dianggap heboh. Bahkan kalau pun puluhan ribu, orang masih dapat mengklaim bahwa mereka hanyalah pihak-pihak yang kalah di pemilu yang lalu, dimana setiap pasangan kandidat memang didukung jutaan orang.

Lagi pula hari ini penguasa pun telah belajar banyak untuk menanganinya dengan baik. Bukan hanya dengan kawat duri dan meriam-meriam air. Misalnya, dengan mengerahkan demonstrasi tandingan. Rupanya unjuk rasa yang pada mulanya adalah sarana untuk menyampaikan aspirasi, ternyata dapat digunakan juga untuk menangkal unjuk rasa yang lain.

Ketika demo-demo itu semakin sering terjadi, maka harganya menjadi murah. Inflasi. Berbeda dengan inflasi pada nilai mata uang, inflasi yang ini disukai pemerintah, dan kabar duka bagi para pendemo.

Di sisi lain, penguasa akan menghindari kontak fisik dengan para pendemo dan memilih cara-cara lain.  Karena seandainya kawat duri dan meriam air itu menciderai mereka, demonstrasi itu akan memperoleh kembali sebagian nilainya yang hilang.

Para pengunjuk rasa di depan Istana Negara, dan dimana saja, tidak lagi bisa memaknai suara lantangnya dengan tajamnya peluru dan kerasnya laras senapan. Dan ketika gemanya itu semakin sunyi, mereka harus berhadapan dengan jurus citra sang Presiden, dan kalkulasi para ahli di sampingnya, yang pernah mengantarkannya ke kursi kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun