Sangat jarang perjalanan ini mereka lakukan mengingat jauhnya kampung mereka dengan ibukota kabupaten. Lagipula di mana-mana pemandangan yang mereka jumpai masih berupa hutan belantara sekali pun itu di ibukota kabupaten.
Selama dua jam Dina dan teman-temannya mengitari kota Raha. Ada perasaan senang karena mereka bisa berlebaran di ibukota kabupaten sekaligus berekreasi sebelum akhirnya kembali ke kampung Ndoke dengan berjalan kaki lagi. Mereka bercanda di sore yang sangat cerah dan mereka sudah memasuki hutan lagi tapi bukan hutan yang semalam mereka lalui.
"Dina, kita tersesat!" Seru Tini tiba-tiba. Ada peluh yang membasahi dahinya.
"Jadi kira-kira kita harus mengambil jalan mana?" Tanya yang lainnya hampir beruntun. Dina sejenak terdiam. Ia yang dipercaya teman-temannya sebagai pemimpin rombongan harus bisa menemukan jalan pulang.Â
Tapi ia tak juga bisa memutuskan jalan mana yang harus mereka tempuh. Di depan mereka ada beberapa jalan setapak yang mereka tak tahu akan menuju ke mana. Namun Dina mempunyai ide.
"Kita masing-masing berjalan di jalan setapak yang berbeda. Jika salah satu di antara kita yakin telah menemukan jalan menuju kampung, dia harus berteriak keras agar semua bisa mendengar dan mengikuti jalannya", papar Dina yang kemudian diiyakan oleh teman-temannya. Dina membagi teman-temannya untuk menyusuri jalan-jalan setapak yang berbeda. Dia sendiri mengambil jalan yang menuju ke Barat.
Beberapa menit berselang, masing-masing yang telah mengambil jalan yang berbeda tak ada yang bersuara. Hingga waktu telah menunjukkan pukul lima sore, salah satu dari mereka belum juga ada yang berteriak memberikan kode. Mereka memang tak berani berjalan lebih jauh karena takut akan lebih tersesat dan terpisah dengan teman-teman lainnya.
Dina merasakan letih telah menguasai tubuhnya. Sejak perjalanan semalam, mereka hanya beristirahat sebentar di rumah neneknya karena sehabis menyantap nasi sisa lapa-lapa yang telah masak, mereka tak langsung tidur melainkan bertukar cerita dengan neneknya sampai pukul dua dini hari tentang perjalanan mereka dan "keanehan" yang dialami Dina ketika melihat bayangan seseorang berkelebat di kebun tebu.
Dina menyandarkan tubuhnya sebentar. Dipasangnya telinganya lebar-lebar siapa tahu ada di antara temannya yang sudah menemukan jalan pulang. Pandangannya bergerak ke sekeliling sampai matanya tertuju pada kuntum-kuntum bunga yang bermekaran indah berwarna ungu muda.Â
Tapi ada yang aneh. Bunga-bunga itu berasal dan tumbuh dari sebuah batu besar yang sedang disandarinya! Ia segera berdiri dan berbalik. Betapa takjubnya ia memandangi berpuluh-puluh kuntum bunga yang cantik bermekaran dari sebuah batu.Â
Dirabanya batu itu seolah tak percaya dengan penglihatannya. Ia merinding. Entah, apakah ia takjub atau "ngeri" dengan apa yang dilihatnya. Dengan suara senang bercampur heran ia berteriak sekencang-kencangnya memanggil teman-temannya.