"Saya sudah bilang nilai akhir kamu yang akan memperngaruhi hasil akhir." Katanya sedikit keras.
"Apa Ibu tau alasan saya kenapa. Lagi pula ibu juga hanya melihat kuantitas dari kami. Ibu juga tidak memikirkan kualitas dari proses kami untuk mendapatkannya. Ibu tidak menghargai itu?"
"Ya, saya nggak mau tau. Saya hanya menggunakan data penilaian dari hasil kalian. Dan nilai itu yang akan saya kembalikan kepada kalian," kata terakhir dari dosen itu. Menggeser sedikit satu bilik dari ruangan dosen tua, aku juga mengurus tiga nilai dari satu dosen yang bermasalah. Ternyata Cuma sepele jawaban dari dosen itu ketika aku tanya kesalahanku selama ini. "Ya, nggak tau ya mbak. Mungkin nilai kamu UASnya jelek jadi ya hasilnya gituan." Sungguh tamparan keras ketika usaha itu hanya sekadar dinilai sebelah.
Keluar dari ruangan muka ini semakin kusut. Belum lagi cibiran dari teman sekelas yang menyakitkan.
"Eh kamu aktif nggak. Aku nggak nilaiku bagus loh. Yang jujur aja belum tentubisa bagus kok. Sok pintar banget." Sindir salah seorang temanku.
"Iya ya hahahahah," tawa mereka cetar menyindirku.
Kembali aku berkumpul dengan si gerombolan anak telat. Mereka pun tidak lebih baik dari aku. Tidak habis pikir ternyata proses perkuliahan tidak lebih bagus dari semasa sekolahku dulu. Aku seolah-olah hanya menjadi bagian dari kemunafikan. Tapi justru aku yang terlihat yang munafik.
"Gimana Yuk? Jadi dapat nilai?" tanya Riyan. Aku hanya bisa menggeleng kepala karena hasilnya nihil.
"Sudah Yuk. Aku paham. Memang seharusnya kita tidak di sini. Kuliah bukan hanya untuk nilai Yuk. Kamu masih punya kelebihan lain yang bisa dibanggakan dari kuliahmu." Nasehat Riyan memecahkan kebuntuanku akan nilai.
"Nggak nyang aka aja gitu, Cuma sepele yang di nilai (suara ditegaskan) Cuma nilai akhir yang diutamakan. Mereka bahkan nggak mau tau proses kita dalam mencapai itu."
"Kamu terlalu mendewakan nilai Yuk?" Tanya Sinyo.