Menikah, agaknya bagi sebagian orang dianggap sebagai tahapan hidup. Tahap yang jika tidak dicapai, maka mungkin akan dianggap gagal. Sering kali menikah menjadi pembicaraan basa-basi di masyarakat. Di Indonesia, umumnya dijumpai di momen spesial atau hari besar.
"Calonnya mana?", "Kapan nikah", dan "Masih lajang aja, nih!" mungkin pernah didengar oleh sebagian perempuan muda. Atau bahkan, "Jangan pilih-pilih, loh. Nanti gak laku".
Basa-basi yang memang  sepertinya sangat basi. Ini biasanya menyinggung atau bahkan menyakiti hati sebagian kaum lajang.
Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di China. Di sana, dikenal julukan sheng nu.
Apa Itu "Sheng Nu"?Â
Sheng nu adalah julukan yang disematkan untuk perempuan-perempuan di China yang belum menikah. Kata sheng nu dalam bahasa Inggris berarti leftover women, atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bisa menjadi "perempuaan sisaan".
Pemerintah China menggunakan kata sheng nu untuk merujuk pada perempuan umur 27 tahun yang belum menikah. Kata ini tidak hanya menghantui perempuan di umur 27, tetapi juga menghantui para perempuan lajang yang mendekati umur tersebut.
Sheng nu bersifat peyoratif (merendahkan), ia menggambarkan perempuan sebagai yang pemilih, egois, dan matre. Sedemikian intensifnya hingga kata sheng nu ini dimasukkan dalam daftar kosa kata resmi di China.
Kenapa Ada Julukan "Sheng Nu"?Â
Maraknya pelabelan sheng nu pada perempuan lajang di China ini tentu saja berlatar belakang. Semua ini berawal dari aturan "punya anak satu" di China.
Pada tahun 1980, pemerintah China meresmikan kebijakan "punya satu anak" untuk menghentikan kelebihan populasi yang terjadi.
Namun, pada 2016, tampaknya China sudah mulai memberlakukan dan menyarankan agar setiap keluarga memiliki dua anak. Hal ini karena China justru telah mengalami pertambahan populasi manula dan diproyeksi akan mengalami penurunan angka tenaga kerja produktif.
Bahkan, pada tahun 2021, pemerintah China memperbolehkan masyarakatnya untuk memiliki tiga anak. China juga merilis data statistik yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan gender di sana, mereka memiliki lebih banyak laki-laki.
Propaganda untuk memiliki anak banyak inilah yang kemudian membuat pemerintah China untuk mendorong perempuan muda, khususnya kelas pekerja dan perempuan berpendidikan di China untuk menikah.
Sheng nu dikatakan menjadi alat oleh pemerintah untuk menakut-nakuti perempuan muda agar tidak mau menjadi "yang tersisa" dan segera menikah.
Vice mewawancarai salah satu perempuan lajang di China. Dari video tersebut, narasumber mengatakan keengganannya untuk segera menikah karena besarnya biaya hidup alias finansial untuk menikah dan memiliki anak.
Cerminan Budaya Patriarki di China
Meski jumlah laki-laki lajang di China juga banyak, tetapi tidak ada stigmatisasi atau julukan yang disematkan untuk para leftover men ini.
Laki-laki di China cenderung tidak memiliki tekanan yang berat atas status kelajangannya.
Perempuan-perempuan lajang juga dianggap "belum utuh" apabila masih melajang. Ucapan ini juga merupakan bentuk pendiskreditan terhadap perempuan. Tentu saja tidak disematkan pada lelaki, "lelaki tidak utuh".
Ini menggambarkan masih patriarkinya masyarakat di China, yang menganggap bahwa perempuan butuh pihak lain dan memiliki kriteria tertentu agar menjadi utuh dan sepenuhnya.
Anggapan ini juga menafikan bahwa perempuan adalah makhluk utuh dan memiliki pilihan, otoritas, serta kemampuan untuk menjalani hidup.
Dalam video kampanye yang dibuat oleh SK-II, bahkan ditunjukkan bahwa di China terdapat pasar perjodohan. Di sana, para orang tua akan memajang foto anak mereka yang dilengkapi dengan keterangan pekerjaan, pendapatan, dan kepemilikan sang anak.
Para lajang menganggap pasar perjodohan ini mirip dengan "menjual anak mereka sendiri".
Bagaimana dengan Perempuan Lajang di Indonesia?
Para perempuan lajang di China kini mulai mencoba bangkit dan menghiraukan julukan sheng nu pada diri mereka. Beberapa mengajak orang tua untuk memahami pilihan yang mereka ambil. Lainnya, memilih untuk tetap berkarya tanpa memedulikan stigma.Â
Lalu bagaimana dengan para perempuan lajang kita?
Di Indonesia, memang tidak ada julukan sheng nu, tapi mungkin Anda pernah mendengar julukan "perawan tua". Pertanyaan seperti "kapan menikah?" masih ada dan beredar di sekitar kalangan muda.
Alasan "susah punya anak kalau udah tua", juga masih diucapkan agar perempuan di Indonesia menikah di usia muda.
Padahal, memang ada sekian banyak pertimbangan dan alasan para perempuan muda untuk memilih melajang. Tentu, memilih pasangan tidak semudah "membeli gorengan".
Ada pertimbangan kebahagiaan, kecocokan, kemapanan, dan kesiapan mental untuk menikah. Dan pilihan-pilihan ini seharusnya tidak bisa digugat atau diusik dengan segala cemoohan atau julukan.
Alih-alih memberikan julukan dan menyarankan untuk segera menikah, alangkah baiknya kita mendorong penduduk muda, khususnya perempuan Indonesia untuk lebih berkembang dan berprestasi.
Membiarkan anak muda untuk bebas memilih kebahagiaannya juga merupakan jalan yang lebih menyenangkan ketimbang memberikan stigma pada mereka-mereka yang masih lajang.
Sumber:Â
SK-II Youtube Video, Vice Asia Youtube Video, BBC, New York Times, University of British Columbia, Vogue, VOA Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H