Bahkan, pada tahun 2021, pemerintah China memperbolehkan masyarakatnya untuk memiliki tiga anak. China juga merilis data statistik yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan gender di sana, mereka memiliki lebih banyak laki-laki.
Propaganda untuk memiliki anak banyak inilah yang kemudian membuat pemerintah China untuk mendorong perempuan muda, khususnya kelas pekerja dan perempuan berpendidikan di China untuk menikah.
Sheng nu dikatakan menjadi alat oleh pemerintah untuk menakut-nakuti perempuan muda agar tidak mau menjadi "yang tersisa" dan segera menikah.
Vice mewawancarai salah satu perempuan lajang di China. Dari video tersebut, narasumber mengatakan keengganannya untuk segera menikah karena besarnya biaya hidup alias finansial untuk menikah dan memiliki anak.
Cerminan Budaya Patriarki di China
Meski jumlah laki-laki lajang di China juga banyak, tetapi tidak ada stigmatisasi atau julukan yang disematkan untuk para leftover men ini.
Laki-laki di China cenderung tidak memiliki tekanan yang berat atas status kelajangannya.
Perempuan-perempuan lajang juga dianggap "belum utuh" apabila masih melajang. Ucapan ini juga merupakan bentuk pendiskreditan terhadap perempuan. Tentu saja tidak disematkan pada lelaki, "lelaki tidak utuh".
Ini menggambarkan masih patriarkinya masyarakat di China, yang menganggap bahwa perempuan butuh pihak lain dan memiliki kriteria tertentu agar menjadi utuh dan sepenuhnya.
Anggapan ini juga menafikan bahwa perempuan adalah makhluk utuh dan memiliki pilihan, otoritas, serta kemampuan untuk menjalani hidup.
Dalam video kampanye yang dibuat oleh SK-II, bahkan ditunjukkan bahwa di China terdapat pasar perjodohan. Di sana, para orang tua akan memajang foto anak mereka yang dilengkapi dengan keterangan pekerjaan, pendapatan, dan kepemilikan sang anak.
Para lajang menganggap pasar perjodohan ini mirip dengan "menjual anak mereka sendiri".