Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cak Nur, Guru Bangsa dan Calon Presiden 2004

30 Agustus 2020   09:45 Diperbarui: 30 Agustus 2020   19:14 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. DR. Nurcholish Madjid (nurcholishmadjid.org)

Tulisan Pak Tjiptadinata Effendi tentang almarhum Cak Nur yang berjudul "Putra Terbaik Bangsa Itu Terlalu Cepat Pergi", telah mengingatkan saya kepada sosok cendekiawan muslim Indonesia yang meninggal tepat 15 tahun yang lalu itu. Tanggal 29 Agustus kemarin memang merupakan hari berpulangnya kembali Cak Nur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.

Cak Nur adalah sebutan akrab atau populer dari Prof. DR. Nurcholish Madjid. Cak Nur merupakan salah seorang cendekiawan muslim Indonesia yang sangat populer dan dikenal luas di era tahun  80 an dan 90 an. Banyak pemikiran-pemikiran dari Cak Nur mengenai toleransi, keberagaman, dan keindonesiaan yang sangat relevan untuk Indonesia yang majemuk, walau tak jarang menghadirkan kontroversi.

Selain dikenal sebagai seorang cendekiawan muslim, Cak Nur juga dikenal sebagai seorang guru bangsa. Ia menjadi teladan bagi banyak orang. 

Selain Cak Nur, ada dua orang cendekiawan muslim lain yang juga populer dan dikenal pada era tahun 80 an dan 90 an itu. Mereka adalah (alm.) Abdurrahman Wahid alias  Gus Dur dan Prof. DR. Amien Rais. Cak Nur, Gus Dur, dan Amien Rais, mereka merupakan cendekiawan muslim yang cukup berpengaruh di kalangan kampus dan kaum intelektual waktu itu.

Banyak kajian dan penelitian ilmiah, seperti skripsi, tesis, atau disertasi yang dilakukan terkait pemikiran ketiga tokoh diatas. Tak sedikit pula tulisan-tulisan yang lahir dalam bentuk buku tentang ketiga tokoh itu.

Saya ingat menjelang Pemilu 2004, yaitu pemilihan umum yang termasuk di dalamnya pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya. Waktu itu Cak Nur pernah menyatakan diri bersedia untuk dicalonkan (bukan mencalonkan) sebagai calon presiden.

Kesediaan Cak Nur untuk menjadi calon presiden sebetulnya bukan murni keinginan dirinya. Hal itu lebih karena desakan-desakan dan permintaan banyak pihak sejak lama. Banyak pihak meminta Cak Nur untuk mau maju menjadi calon presiden.

Menurut Cak Nur, banyak pihak selalu mendesak dirinya, selalu menanyakan kesiapan dirinya. Bahkan banyak pihak mengatakan bahwa dirinya cuma bisa bicara, tidak berani terjun langsung sebagai pemain (menjadi orang yang mengelola langsung pemerintahan, yakni menjadi seorang presiden).

Ihwal kesediaan Cak Nur menjadi calon presiden waktu itu karena dilatarbelakangi keadaan. Pergantian rezim dari orde baru ke orde reformasi ternyata tidak serta merta mengubah keadaan. Negara yang aman, adil, dan makmur yang didambakan tidak juga terwujud.

Para tokoh yang semula diyakini dan diharapakan akan dapat membawa bangsa dan negara keluar dari krisis, ternyata tak bisa memenuhi harapan yang dibebankan ke atas pundak mereka. Orang-orang parpol (partai politik) dinilai telah gagal memenuhi amanat rakyat tidak bisa mengelola negara secara maksimal.

Cak Nur memang memiliki modal sosial yang cukup tinggi untuk menjadi calon presiden, sekalipun ia tidak memiliki partai. Menurut jajak pendapat APPROACHING 2004 INDONESIAN PRESIDENCY IN THE MAKING : WHO IS ALL-ROUND BEST yang dilakukan pada tanggal 11-17 September 2002, Cak Nur berada di posisi ke-2 (11,82%) di bawah Sri Sultan Hamengku Buwono (12,65%).

Sebagai bentuk keseriusannya menjadi calon presiden, Cak Nur diam-diam telah menyiapakan "tim sukses", berupa tim kecil. Mereka antara lain Sudirman Said (ketua MTI /Masyarakat Transparansi Indonesia), Erry Ryana Harjapamekas (Koordinator Pembenahan Manajemen Yayasan Paramadina), Utomo Dananjaya (sahabat dekat Cak Nur dan pengurus Yayasan Paramadina), dan lain-lain.

Bentuk keseriusan lain Cak Nur maju sebagai calon presiden adalah dengan menyusun dan menyiapkan 10 (sepuluh) platform untuk mewujudkan reformasi dan menata Indonesia pada masa mendatang. Kesepuluh platform itu antara lain mewujudkan good governance pada semua lapisan pengelolaan negara, menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan bernegara, dan lain-lain.

Kesepuluh platform Cak Nur itu menjadi syarat mutlak dari Cak Nur jika partai politik akan mengajukan namanya  sebagai calon presiden. Jika partai politik lebih memilih nama, namun tidak mau menerima kesepuluh platform yang diajukannya, maka Cak Nur dengan tegas menolaknya.

Cak Nur menegaskan bahwa pendekatan yang ia lakukan adalah platform, bukan dirinya pribadi. Oleh karena itu Cak Nur menyebut tidak akan mendekati kelompok-kelompok tertentu. Namun ia akan menunjukkan platformnya kepada kelompok-kelompok yang mendekatinya. Kalau kelompok-kelompok itu tidak setuju, maka dirinya lebih suka tetap mengajar para mahasiswa.

Sikap seperti itu menurut Cak Nur memang angkuh betul. Akan tetapi justru hanya dengan keangkuhan seperti itu Indonesia nantinya akan beres.

Dalam perkembangan selanjutnya, walau pun banyak tokoh lintas partai mendukung pencalonan Cak Nur sebagai calon presiden, tapi secara institusi partai tak ada satu pun yang secara formal mengajukan Cak Nur sebagai calon presiden. Masalahnya bukan karena mereka meragukan kualitas personal Cak Nur, tetapi karena parta-partai politik yang memenuhi syarat boleh mengajukan calon presiden hampir semuanya telah memiliki calon presiden.

Sebut saja PDI-P, sejak lama partai berlambang sapi gemuk dengan moncong putih itu telah mengamanatkan ketua umumnya Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. PAN, dari jauh-jauh hari telah menyiapkan Amien Rais sang ketua umum waktu itu sebagai calon presiden. Begitu juga dengan PKB yang telah menggadang-gadang Gus Dur sebagai calon presiden.

Sementara itu PKS dan PPP ada kecenderungan akanmendukung calon presiden dari partai lain.  Termasuk partai baru, partai Demokrat yang memperoleh suara cukup signifikan telah pula menyiapkan "orang dalam"nya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden.

Hanya partai Golkar yang belum memiliki calon presiden. Tidak seperti partai politik lain yang menyiapkan calon presiden dari kalangan internal partai, partai Golkar selangah "lebih maju". Partai Golkar menentukan calon presiden melalui mekanisme "konvensi". Siapa saja, baik dari kalangan internal partai maupun eksternal partai boleh ikut dalam konvensi partai Golkar tersebut.

Banyak petinggi partai Golkar "merayu" Cak Nur untuk ikut konvensi partai Golkar. Arus dukungan dari DPD-DPD partai Golkar kepada Cak Nur untuk maju sebagai calon presiden juga sangat kuat. Oleh karena itu kemudian Cak Nur menyatakan ikut konvensi partai Golkar.

Langkah Cak Nur mengikuti konvensi partai Golkar mengundang pro dan kontra. Banyak pihak yang mendukung, tetapi banyak pula pihak yang menyayangkannya. Pihak yang kedua berpendapat bahwa Cak Nur akan "dikerjain", hanya akan dijadikan alat untuk mendulang suara partai Golkar.

Dalam proses perkembangan konvensi partai Golkar selanjutnya, ternyata Cak Nur dihadapkan kepada kenyataan yang bertentangan dan tidak bisa diterima oleh nuraninya. Saat berkunjung melakukan kampanye ke beberapa DPD partai Golkar, Cak Nur ditanya soal "gizi" alias kesiapan dana untuk pencalonan dirinya yang bisa diberikan kepada partai Golkar.

Sebetulnya Cak Nur bisa memenuhi permintaan "gizi" itu. Akan tetapi menurut Cak Nur kalau itu dilakukan berarti membatalkan agenda utamanya dalam platform, yakni menciptakan good governance.

Cak Nur juga dihadapkan dengan kenyataan lain, yaitu keikutsertaan ketua umum partai Golkar Akbar Tanjung dalam konvensi. Hal itu menurut Cak Nur bertentangan dengan konsep konvensi. Keikutsertaan pengurus partai dalam konvensi, menurut Cak Nur akan menimbulkan insider trading dan membuat konvensi tidak fair.

Dua hal itu sudah cukup bagi Cak Nur untuk mundur dari  konvensi partai Golkar. Padahal jika melihat polling Soegeng Sarhadi Syndicated waktu itu, Cak Nur  mendapat suara terbesar (30,29%) sebagai tokoh yang layak dicalonkan sebagai calon presiden melalui konvensi partai Golkar.

Pasca mundur dari konvensi partai Golkar, sebetulnya Cak Nur dan "tim sukses"nya masih menjajaki kemungkinan pencalonan Cak Nur sebagai calon presiden lewat gabungan partai-partai kecil. Hanya saja dalam perkembangan selanjutnya hal itu tidak terwujud.

Cak Nur pun gagal running for president 2004. Akan tetapi hal itu tidak lantas membuat Cak Nur kecewa. Keikutsertaan dalam bursa calon presiden juga bukan sebagai ambisi pribadi, tapi lebih kepada sense of belonging Cak Nur atas bangsa dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun