Dalam proses perkembangan konvensi partai Golkar selanjutnya, ternyata Cak Nur dihadapkan kepada kenyataan yang bertentangan dan tidak bisa diterima oleh nuraninya. Saat berkunjung melakukan kampanye ke beberapa DPD partai Golkar, Cak Nur ditanya soal "gizi" alias kesiapan dana untuk pencalonan dirinya yang bisa diberikan kepada partai Golkar.
Sebetulnya Cak Nur bisa memenuhi permintaan "gizi" itu. Akan tetapi menurut Cak Nur kalau itu dilakukan berarti membatalkan agenda utamanya dalam platform, yakni menciptakan good governance.
Cak Nur juga dihadapkan dengan kenyataan lain, yaitu keikutsertaan ketua umum partai Golkar Akbar Tanjung dalam konvensi. Hal itu menurut Cak Nur bertentangan dengan konsep konvensi. Keikutsertaan pengurus partai dalam konvensi, menurut Cak Nur akan menimbulkan insider trading dan membuat konvensi tidak fair.
Dua hal itu sudah cukup bagi Cak Nur untuk mundur dari  konvensi partai Golkar. Padahal jika melihat polling Soegeng Sarhadi Syndicated waktu itu, Cak Nur  mendapat suara terbesar (30,29%) sebagai tokoh yang layak dicalonkan sebagai calon presiden melalui konvensi partai Golkar.
Pasca mundur dari konvensi partai Golkar, sebetulnya Cak Nur dan "tim sukses"nya masih menjajaki kemungkinan pencalonan Cak Nur sebagai calon presiden lewat gabungan partai-partai kecil. Hanya saja dalam perkembangan selanjutnya hal itu tidak terwujud.
Cak Nur pun gagal running for president 2004. Akan tetapi hal itu tidak lantas membuat Cak Nur kecewa. Keikutsertaan dalam bursa calon presiden juga bukan sebagai ambisi pribadi, tapi lebih kepada sense of belonging Cak Nur atas bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H