Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

RUU PKS Ditarik dari Prolegnas, Bentuk Kegagalan DPR Melakukan Kompromi?

2 Juli 2020   21:36 Diperbarui: 3 Juli 2020   08:48 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan seksual.| Sumber: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS merupakan salah satu RUU yang sudah lama dalam pembahasan para anggota legislatif. Menilik asal usulnya, RUU PKS ini sudah melalui perjalanan panjang.

Komnas Perempuan adalah pihak yang pertama kali menginisiasi RUU PKS ini pada tahun 2012 lalu. Kemudian pada tahun 2016, DPR meminta Komnas Perempuan untuk menyerahkan naskah akademik RUU PKS tersebut. 

DPR dan pemerintah pun sepakat memasukan RUU PKS ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016.

Pada April 2017 dalam rapat Paripurna DPR, RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR. Mulanya RUU PKS ini akan dibahas di Komisi III (hukum dan keamanan) tetapi kemudian diputuskan dibahas di Komisi VIII (agama dan sosial).

Sampai tahun 2017 berakhir, RUU PKS belum juga disepakati menjadi Undang-undang. Sehingga pembahasan RUU PKS berlanjut di tahun 2018. Waktu itu Komisi VIII mengundang sejumlah elemen untuk diminta masukan dan pendapatnya. 

Akan tetapi sama saja, sampai akhir tahun 2018 pun nasib RUU PKS masih menggantung. Bahkan DPR kemudian memutuskan RUU tersebut ditunda pembahasannya sampai pemilu 2019 selesai. 

Artinya para pembahas RUU PKS kemungkinan bukan lagi anggota DPR yang sebelumnya membahas RUU ini, tapi anggota DPR baru hasil Pemilu 2019.

Setelah Pemilu 2019 usai dan DPR baru terbentuk, RUU PKS memang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020. Akan tetapi pembahasan RUU ini di Komisi VIII mengalami deadlock, karena masih banyak menuai pro kontra baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen.

Akhirnya RUU PKS sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VIII, Marwan Dasopang pada selasa (30/06/2020) dinyatakan ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020. 

Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI| Sumber: Twitter Marwan Dasopang https://twitter.com/PkbDasopang
Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI| Sumber: Twitter Marwan Dasopang https://twitter.com/PkbDasopang
Argumentasi yang disampaikan oleh Marwan adalah karena RUU PKS tersebut pembahasannya agak sulit dilakukan saat ini. Lobi-lobi fraksi dengan seluruh fraksi di Komisi VIII mengalami jalan buntu.

Walaupun ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020, tetapi Marwan menjamin RUU PKS akan didaftarkan kembali sebagai prolegnas Prioritas tahun 2021. Dalam bahasa Marwan, RUU PKS ini hanya digeser dari Prolegnas Prioritas 2020 ke 2021.

RUU PKS sebenarnya bukan satu-satunya RUU yang ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020. RUU PKS tidak sendirian. Ada 15 RUU lain yang juga mengalami hal yang sama.

Berdasarkan hasil rapat evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Badan Legislasi DPR dengan Dewan Perwakilan Daerah dan dengan Menteri Hukum dan HAM, Kamis, 02 Juli 2020 yang dirilis kompas.com.

Selain RUU PKS (Nomor Urut 16 dalam Prolegnas), RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (Nomor Urut 1 dalam Prolegnas), RUU Penyiaran (Nomor Urut 2 dalam Prolegnas), RUU Pertanahan (Nomor Urut 3 dalam Prolegnas), RUU Kehutanan (Nomor Urut 7 dalam Prolegnas), RUU Perikanan (Nomor Urut 8 dalam Prolegnas), RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Nomor Urut 9 dalam Prolegnas), RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Nomor Urut 18 dalam Prolegnas), dan RUU Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Nomor Urut 12 dalam Prolegnas) juga termasuk RUU yang ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020.

Selain itu ada RUU Gerakan Pramuka (Nomor Urut 20 dalam Prolegnas), RUU Otoritas Jasa Keuangan (Nomor Urut 22 dalam Prolegnas), RUU Pendidikan Kedokteran (Nomor Urut 32 dalam Prolegnas), RUU Sistem Kesehatan Nasional (Nomor Urut 28 dalam Prolegnas), RUU Kefarmasian (Nomor Urut 29 dalam Prolegnas), RUU Perlindungan dan Bantuan Sosial (Nomor Urut 30 dalam Prolegnas), dan RUU Kependudukan dan Keluarga Nasional (Nomor Urut 33 dalam Prolegnas).

Walaupun RUU PKS bukan satu-satunya RUU yang terjegal dari Prolegnas Prioritas 2020, karena ternyata banyak "teman" RUU lain yang bernasib sama, tetap saja RUU PKS menyisakan pertanyaan. 

Seperti pertanyaan, apakah RUU PKS sangat rumit sehingga tidak bisa diselesaikan selama bertahun-tahun? Atau, apakah para anggota DPR tidak bisa melakukan kompromi dan menemukan titik temu?

Alotnya pembahasan RUU PKS tidak terlepas dari adanya beberapa pasal yang dianggap kontroversi atau multi tafsir. Di internal DPR, Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang paling keras menentang RUU PKS ini misalnya, mempersoalkan banyak hal. Seperti masalah nama RUU dan beberapa definisi.

Mengenai nama, Fraksi PKS mengusulkan nama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kejahatan Seksual, bukan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. 

Fraksi PKS beralasan mereka ingin fokus tidak melebar kepada isu-isu di luar kejahatan seksual. Tetapi hanya fokus kepada pemerkosaan, penyiksaan seksual, penyimpangan perilaku seksual, pelibatan anak dalam tindakan seksual dan incest.

Fraksi PKS juga mempermasalahkan beberapa definisi dalam RUU PKS itu. Seperti definisi pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual.

Sedangkan di eksternal DPR, banyak pihak, baik kelompok atau perorangan yang juga memiliki pandangan hampir sama dengan Fraksi PKS. Seperti seorang guru besar dari IPB (Institut Pertanian Bogor) sekaligus Ketua Perkumpulan Penggiat Keluarga (GiGa), Profesor Euis Sunarti dan dosen jurnalistik UNPAD (Universitas Padjadjaran) Bandung, Maimon Herawati misalnya.

Profesor Euis Sunarti mempersoalkan nama RUU PKS. Menurutnya penamaan RUU PKS agar diganti menjadi Penghapusan Kejahatan Seksual (sama seperti yang diusulkan Fraksi PKS) jika RUU tersebut tidak bisa mengakomodir semua definisi kekerasan. Selain itu, menurutnya RUU PKS belum layak disahkan karena banyak permasalahan yang belum jelas di dalamnya.

Sedangkan Maimon Herawati dengan keras menyebut RUU PKS sebagai "RUU Pro-Zina", Bahkan ia kemudian membuat petisi melalui situs change.org untuk menggalang dukungan menolak RUU PKS.

Beberapa elemen masyarakat lain juga memiliki kekhawatiran lainnya, bahwa RUU PKS berpotensi melegalkan zina, aborsi, dan LGBT. Walaupun kekhawatiran itu bersifat sangat subjektif.

Apakah mereka salah memiliki pandangan yang berbeda dengan tujuan dimunculkannya RUU PKS? Tentu tidak. Siapa pun boleh berpendapat karena negeri ini adalah negara demokrasi. Setiap orang dijamin Undang-undang untuk berpendapat.

Kita percaya bahwa mereka yang menolak RUU PKS juga pasti bertujuan baik. Mereka memiliki tujuan yang sama. Yakni sama-sama ingin melindungi orang-orang agar tidak menjadi korban kekerasan atau kejahatan seksual.

Sepertinya pihak-pihak yang menolak RUU PKS sangat protektif karena mereka tidak ingin ada celah kekosongan yang justeru bisa dimanfaatkan oleh para penjahat seksual untuk melakukan kejahatan seksual lain yang ada dalam celah tadi. Ini sebagai bentuk super kehati-hatian saja.

Terlepas dari pro-kontra RUU PKS ini, yang jelas para anggota DPR yang menangani pembahasan RUU PKS ini gagal melakukan kompromi satu sama lain dan gagal menemukan titik temu. Sehingga pembahasan RUU PKS ini berlarut-larut sampai memakan waktu bertahun-tahun tapi terus menerus selalu menemui kebuntuan.

Padahal masalah kekerasan atau kejahatan seksual sesuatu yang sangat urgen. RUU PKS sebagai salah satu payung hukum bagi para korban kekerasan atau kejahatan seksual tentu sangat penting untuk segera disahkan.

Para anggota DPR yang menangani pembahasan RUU PKS seharusnya tidak berpikir menang-kalah. Apakah mereka yang mendukung RUU PKS yang menang atau mereka yang menolak RUU PKS yang menang. Tidak begitu.

Hal yang harus dijadikan pertimbangan para anggota DPR yang menangani pembahasan RUU PKS adalah substansi dari apa yang disampaikan oleh mereka yang mendukung atau yang menolak RUU PKS, bukan dari redaksi yang mereka sampaikan. 

Kalau itu yang dilakukan, nampaknya RUU PKS tidak akan sampai deadlock bertahun-tahun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun