Mohon tunggu...
Wiwik TriErnawati
Wiwik TriErnawati Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah sosial

Penggerak Literasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kontroversi Nasib Ojol Sebagai Tulang Punggung Keluarga: Antara Harapan dan Tantangan

2 September 2024   14:38 Diperbarui: 3 September 2024   07:49 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, ojek online (ojol) telah berkembang menjadi salah satu sektor informal yang paling dinamis dan signifikan di Indonesia. Kehadirannya tidak hanya mengubah wajah transportasi perkotaan, tetapi juga menjadi penyelamat ekonomi bagi jutaan keluarga di seluruh negeri. 

Bagi banyak orang, bekerja sebagai pengemudi ojol adalah solusi cepat dan praktis untuk mendapatkan penghasilan, terutama di tengah situasi ekonomi yang serba tidak pasti. 

Namun, di balik pesatnya perkembangan tersebut, terdapat dinamika yang lebih kompleks terkait nasib para pengemudi ojol yang sering kali dijadikan tulang punggung ekonomi keluarga. 

Meskipun banyak yang menggantungkan harapan pada pekerjaan ini, realitas di lapangan tidak selalu seindah yang terlihat. 

Artikel ini membahas secara lebih mendetail tantangan, peluang, serta kontroversi yang melingkupi profesi ojol di Indonesia.

Selaras dengan kenyataan di atas, dikutip dari beberapa sumber, demonstrasi yang dilakukan oleh Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia di Patung Kuda, Jakarta Pusat pada hari Kamis, 29 Agustus 2024 mengajukan enam tuntutan ke pemerintah dan masih menunggu tindak lanjut dari Kementerian Perhubungan. Salah satu tuntutan yang diajukan dari enam poin tersebut adalah di poin 3 yaitu hapus Program Layanan  Tarif Hemat untuk pengantaran barang dan makanan pada semua aplikator yang dinilai tidak manusiawi.

Peran Krusial Ojol dalam Perekonomian Keluarga

Bagi sebagian besar pengemudi, ojek online tidak hanya menjadi sumber penghasilan pribadi, tetapi juga menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Banyak yang memutuskan menjadi pengemudi ojol setelah kehilangan pekerjaan atau merasa sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal. 

Dengan persyaratan yang relatif mudah dan akses yang cepat ke lapangan pekerjaan, profesi ini menarik minat banyak orang dari berbagai latar belakang, termasuk lulusan sekolah menengah, buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga mahasiswa yang ingin menambah penghasilan.

Kisah-kisah sukses para pengemudi yang berhasil memperbaiki kondisi ekonomi keluarga mereka melalui pekerjaan ini kerap menjadi inspirasi bagi yang lain. 

Penghasilan harian yang didapatkan dari layanan transportasi, pengantaran makanan, hingga pengiriman barang sering kali membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti membiayai sekolah anak, membayar sewa rumah, dan mencicil kendaraan. 

Fleksibilitas waktu kerja juga memungkinkan para pengemudi untuk menyesuaikan jam kerja mereka dengan kebutuhan keluarga, seperti merawat anak atau bekerja paruh waktu di pekerjaan lain.

Namun, keuntungan tersebut datang dengan tantangan besar. Biaya operasional yang meliputi perawatan kendaraan, bahan bakar, serta keperluan administrasi seperti SIM dan pajak, sering kali menjadi beban berat yang harus ditanggung sendiri oleh pengemudi. 

Tidak jarang, pengemudi menghadapi situasi di mana penghasilan mereka hanya cukup untuk menutup biaya operasional, tanpa ada tabungan yang bisa dialokasikan untuk kebutuhan jangka panjang.

Realitas di Lapangan: Persaingan dan Ketidakpastian

Meskipun profesi ojol menawarkan fleksibilitas dan kemudahan, kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh para pengemudi ojol adalah tingginya tingkat persaingan. 

Dengan semakin banyaknya orang yang tertarik untuk menjadi pengemudi ojol, jumlah pengemudi yang tersedia jauh melebihi permintaan dari konsumen. Hal ini menyebabkan penghasilan per pengemudi menjadi tidak menentu dan sering kali tidak mencukupi untuk menutupi biaya operasional kendaraan.

Biaya operasional yang harus ditanggung oleh pengemudi tidaklah sedikit. Mereka harus memastikan kendaraan mereka dalam kondisi baik, yang berarti harus rutin melakukan perawatan, mengganti suku cadang, dan mengisi bahan bakar. 

Semua ini mengurangi margin keuntungan yang mereka peroleh. Belum lagi, risiko kecelakaan di jalan yang tinggi dan kurangnya perlindungan asuransi membuat profesi ini penuh dengan ketidakpastian.

Perubahan kebijakan dari perusahaan aplikasi juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak pengemudi mengeluhkan perubahan algoritma dan kebijakan yang sering kali tidak transparan dan merugikan mereka. 

Misalnya, penurunan tarif per kilometer atau perubahan sistem bonus yang mengurangi insentif bagi pengemudi. Kondisi ini membuat banyak pengemudi merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpastian yang terus mengancam kesejahteraan mereka.

Sistem Bagi Hasil yang Tidak Menguntungkan

Banyak pengemudi ojol merasa bahwa sistem bagi hasil yang diterapkan oleh perusahaan aplikasi cenderung tidak adil. Mereka harus menyerahkan persentase tertentu dari setiap pesanan yang diterima kepada perusahaan aplikasi, sementara biaya operasional kendaraan sepenuhnya ditanggung oleh pengemudi. 

Pada beberapa perusahaan, besaran bagi hasil ini mencapai 20-30% dari total pendapatan. Hal ini dianggap memberatkan, terutama ketika pendapatan harian tidak mencapai target yang diharapkan.

Selain itu, sistem insentif yang diberlakukan oleh perusahaan aplikasi juga kerap berubah-ubah tanpa pemberitahuan yang memadai. Pengemudi yang sebelumnya bisa mendapatkan bonus tambahan dengan mencapai target jumlah pesanan harian atau mingguan sering kali mengeluhkan bahwa insentif tersebut tiba-tiba dihilangkan atau dikurangi, tanpa alasan yang jelas. 

Ini menambah beban psikologis dan ekonomi bagi para pengemudi yang telah menggantungkan harapan pada insentif tersebut sebagai sumber tambahan penghasilan.

Status Ketenagakerjaan yang Tidak Jelas

Salah satu isu yang paling kontroversial dalam industri ojol adalah status ketenagakerjaan para pengemudi. Hingga saat ini, status mereka masih abu-abu: apakah mereka dianggap sebagai pekerja lepas (freelancer) atau sebagai karyawan dari perusahaan aplikasi? Ketidakjelasan ini berdampak pada kurangnya perlindungan hak-hak dasar pekerja, seperti jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan hak atas cuti.

Beberapa organisasi buruh dan LSM telah mendesak pemerintah untuk menetapkan regulasi yang lebih jelas terkait status pengemudi ojol. Mereka berpendapat bahwa pengemudi ojol harus dianggap sebagai pekerja dengan hak-hak yang layak, mengingat mereka bekerja penuh waktu dan berkontribusi langsung terhadap keuntungan perusahaan aplikasi. Di sisi lain, perusahaan aplikasi berdalih bahwa mereka hanya menyediakan platform, dan pengemudi adalah mitra yang mandiri, bukan karyawan.

Kebijakan Tarif: Antara Konsumen dan Pengemudi

Kontroversi lain yang tak kalah penting adalah kebijakan tarif. Sejak awal kehadirannya, ojek online menarik minat konsumen dengan tarif yang lebih rendah dibandingkan ojek pangkalan atau moda transportasi lainnya. Namun, kebijakan tarif rendah ini sering kali menjadi pedang bermata dua. 

Di satu sisi, konsumen diuntungkan dengan biaya transportasi yang lebih murah, tetapi di sisi lain, pengemudi sering kali harus menanggung beban berat dari rendahnya pendapatan per trip.

Penetapan tarif minimum yang adil menjadi tuntutan utama para pengemudi ojol. Mereka menginginkan tarif yang tidak hanya menguntungkan perusahaan dan menarik bagi konsumen, tetapi juga memberikan penghasilan yang layak bagi pengemudi. Namun, usaha untuk menetapkan tarif minimum yang lebih tinggi sering kali berhadapan dengan resistensi dari perusahaan aplikasi yang khawatir kehilangan pangsa pasar.

Masa Depan Ojol di Tengah Dinamika Ekonomi Digital

Nasib pengemudi ojol sebagai tulang punggung ekonomi keluarga berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, profesi ini menawarkan peluang yang fleksibel dan dapat diakses oleh banyak orang, terutama di tengah kesulitan ekonomi. Di sisi lain, tantangan yang meliputi ketidakpastian pendapatan, biaya operasional yang tinggi, serta kurangnya perlindungan ketenagakerjaan membuat profesi ini penuh risiko.

Dibutuhkan langkah konkret dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa para pengemudi ojol mendapatkan perlindungan dan hak-hak yang layak. Pemerintah, perusahaan aplikasi, serta masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil dan berkelanjutan bagi para pengemudi. 

Dengan regulasi yang lebih tegas dan perlindungan sosial yang lebih baik, profesi ojol dapat terus berperan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga tanpa mengorbankan masa depan mereka yang bekerja di dalamnya.

Kontroversi ini menyoroti betapa pentingnya perlindungan yang lebih komprehensif bagi para pengemudi ojol dalam menghadapi dinamika ekonomi digital yang terus berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun