Apakah Anda tahu berapa waktu attention span orang Indonesia? Ya, hanya 40 detik, jauh menurun dibandingkan 10 tahun lalu dengan lama waktu 3,5 menit. Ditengah tsunami informasi akibat internet dan sosial media, tidak hanya waktu fokus yang diambil namun juga kemampuan critical thinking.
Critical thinking atau berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis informasi secara objektif, mengevaluasi bukti, dan membuat keputusan yang logis. Tentunya, untuk membuat keputusan yang logis dibutuhkan proses berpikir yang mendalam dan fokus pada solusi terbaik.
Dengan proses berpikir ini, seseorang diharapkan dapat melakukan identifikasi masalah, analisis data, evaluasi solusi, dan pengambilan keputusan yang rasional. Sayangnya, kemampuan ini kian menurun akibat atensi yang mudah dicuri oleh sosial media.
Cegah Sesat Pikir dengan Critical Thinking
Menurut Cambridge Dictionary, critical thinking adalah proses berpikir secara hati-hati tentang suatu subjek atau ide, tanpa membiarkan perasaan atau opini memengaruhi Anda. Sementara itu, menurut American Philosophical Association, critical thinking adalah proses berpikir yang terorganisir yang digunakan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi argumen atau klaim.
Dari pengertian diatas, dapat kita simpulkan bahwa critical thinking tersusun dari kombinasi skill-skill lainnya, seperti menganalisa informasi, menilai relevansi dan keabsahan informasi yang ada, menyusun solusi yang efektif dan efisien, dan mengambil keputusan terbaik berdasarkan data.
Tanpa critical thinking, seseorang akan mudah diprovokasi, mengambil keputusan yang salah, dan ‘sesat pikir’. Sesat pikir atau logical fallacy adalah kesalahan dalam logika atau bernalar sehingga argumen yang diberikan tidak objektif.
Hal ini terjadi saat seseorang berpikir dan memproses informasi dengan cara yang salah, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan informasi yang disampaikan. Misalnya, saya pernah membuat postingan Thread dengan kalimat argumentasi berikut:
“Aku mengapresiasi mereka yang memutuskan dengan sadar untuk menunda menikah atau memiliki anak karena tidak ingin mempersiapkan yang terbaik dan tidak menurunkan kemiskinan pada generasi selanjutnya.”
Kalimat ini mendapatkan respon dengan argumen seputar depopulasi, penurunan ekonomi, bahkan meragukan kekuasaan Tuhan. Dari respon diatas, apakah ada yang relevan dengan argumen saya? Bagi saya, tidak ada relevansi kata “menunda” dengan depopulasi, dan argumen lainnya.
Ini adalah bagian dari penalaran verbal yang kurang sehingga seseorang cenderung berargumen tidak berdasarkan konteks, tidak relevan, dan tidak objektif karena argumen tersebut dibangun berdasarkan emosi atau keyakinan-keyakinan tertentu.