Poverty mindset atau mental miskin seringkali dianggap hanya dimiliki oleh mereka yang miskin, nyatanya, mental miskin bisa dimiliki oleh siapa saja. Mentalitas ini mempengaruhi perilaku dalam melihat dunia, khususnya memperlakukan uang.
“Sulit bagi saya untuk menjadi sukses, saya tidak punya apa-apa untuk memperbaiki hidup saya. Dunia ini tidak adil!”
Sering mendengar kalimat diatas? Ya, kalimat yang sering terdengar saat seseorang menganggap bahwa dunia harus berperilaku adil. Nyatanya, hidup memang tidak pernah adil karena banyak faktor yang mengambil peran dalam kehidupan ini.
“Uang saya tidak cukup, saya perlu dibantu, saya perlu diberikan fasilitas, saya perlu mendapat lebih banyak.”
Atau, Anda sering mendengar kalimat diatas dari seseorang yang secara finansial cukup, mapan, bahkan kaya? Banyak sekali saya temui individu yang secara finansial hidup cukup namun selalu merasa kurang dalam hidupnya, itu adalah mental miskin.
Bahkan, jika melihat scope yang lebih luas, Indonesia menempati posisi ke 109 CPI (Corruption Perceptions Index), di bawah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina. Jadi, Indonesia punya risiko tinggi terhadap korupsi di sektor publik. Apakah mereka yang korupsi adalah dari kalangan miskin? Tentu tidak.
Baca juga: Pentingnya Margin dalam Keuangan dan Aspek Kehidupan
Mental Miskin, Saya adalah Korban
Salah satu mental miskin adalah selalu merasa menjadi korban. Kita sering melihat bagaimana pejabat yang terjerat OTT (Operasi Tangkap Tangan) sering mengeluarkan statement bahwa mereka dijebak dan menjadi korban. Itu kasus untuk mereka yang secara finansial adalah kalangan atas.
Nah, hal yang sama juga terjadi untuk di kalangan bawah, “Saya adalah Korban” kerap kali menjadi mentalitas yang sering ditemui. Mentalitas korban ini secara konsisten dimiliki oleh banyak orang dari kalangan bawah, menengah, dan atas, sehingga memberikan peluang untuk ‘cuci tangan’ atau lepas tanggung jawab terhadap orang lain.
Dalam hal memperlakukan uang, setiap kalangan memperlakukan kata ‘korban’ dengan berbeda. Apa perbedaannya?
1. Kalangan bawah
Mentalitas miskin ini mempengaruhi cara berpikir dimana mereka terjebak dalam situasi sulit dan terbatas sehingga mustahil keluar dari kemiskinan. Mereka berpikir bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan hidup sehingga orang lain wajib membantu mereka.
Pikiran ini tentu membatasi kepercayaan dan gerak untuk berusaha memperbaiki hidup, namun saat dibantu, alih-alih berusaha lebih keras, yang terjadi malah menggantungkan diri dengan pemberi bantuan. Tidak cukup sampai disana, mereka merasa bahwa orang lain perlu bertanggungjawab atas kehidupan mereka.
Inilah salah satu mental miskin bahwa ‘saya adalah korban’, sehingga membuat orang lain enggan untuk membantu. Namun, tidak semua kalangan bawah memiliki mentalitas ini karena saya temui banyak orang yang mau berjuang lebih keras untuk keluar dari kemiskinan dan mau mengambil tanggungjawab untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.
Tentu, dalam hal ini mustahil untuk menuntut dari kalangan bawah langsung menjadi kalangan atas, namun naik level satu atau dua tingkat, dari tinggal di gubuk pinggir sungai menjadi tinggal di rusun (rumah susun) juga suatu bentuk perbaikan. Atau menyekolahkan anak SMA dari orangtua yang tidak bersekolah, juga termasuk bentuk perbaikan.
Penting disini untuk menyadari bahwa dunia memang tidak adil sehingga kita tidak memandang diri sebagai korban karena selalu ada peluang untuk memperbaiki keadaan bagi mereka yang mau mengusahakan.
Baca juga: Ending Film The Platform 2: Kejamnya Kapitalisme untuk Lantai Menengah dan Bawah
2. Kalangan Menengah
Mentalitas sebagai korban dari kalangan menengah seakan bias karena pada nyatanya, sebagai kelas menengah, saya merasa sebagai korban dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada kalangan menengah. Tak dipungkiri, kalangan ini menjadi kalangan terbanyak di Indonesia yang berkontribusi besar pada pendapatan negara.
Namun, sekalipun banyak media dan berita mainstream yang menyebutkan bahwa kelas menengah semakin terhimpit, tentu kita tetap harus berusaha untuk keluar dari kondisi yang menghimpit ini, salah satunya adalah dengan mengubah pertanyaan.
Sebagai kalangan menengah, sering kali saat kondisi sulit terjadi, saya cenderung fokus terhadap kesulitan yang jelas terlihat dari pertanyaan-pertanyaan di pikiran saya, seperti:
Kenapa gaji saya tidak cukup?
Kenapa hidup rasanya semakin sulit?
Kenapa saya susah untuk mengatur uang?
Saya cenderung fokus dengan hal-hal buruk yang terjadi, hal ini berakibat ‘saya adalah korban’ semakin kuat saya rasakan sehingga saya menyalahkan pihak lain atas kondisi yang saya alami. Itu adalah bagian dari mental miskin.
Dari sebuah buku, saya belajar pentingnya mengubah pertanyaan dan bukan fokus pada masalah namun mencari solusi.
Apa yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan tambahan income?
Bagaimana caranya supaya omset jualan bulan ini meningkat?
Apa yang bisa saya lakukan supaya saya tidak boros dan lebih hemat?
Mengubah pertanyaan tidak hanya mengubah sudut pandang dalam melihat kondisi saat ini, namun juga mengubah ‘suara kecil’ yang berbicara dalam pikiran dan hati saya bahwa kondisi ini sulit dan saya tidak bisa melakukan apa-apa menjadi selalu ada jalan.
Baca juga: Think and Grow Rich, Review Buku Dahsyatnya Kekuatan Pikiran
3. Kalangan Atas
Sulit bagi saya untuk mendeskripsikan mental miskin bagi kalangan atas karena saya belum menjadi kalangan satu ini, namun yang bisa kita lihat adalah ‘tidak mengenal kata cukup’.
Rasa kurang dan tidak cukup mampu membuat seseorang melakukan segala cara untuk semakin menambah kekayaan, even sudah memiliki lebih banyak dari lainnya, ya tamak. Namun tidak sampai disini, kita tentu sering melihat bagaimana mereka ‘merasa dikorbankan’ akibat ketamakan terhadap uang.
Harapan saya, jika hari ini atau esok, kita menjadi bagian dari kalangan atas dengan nilai aset cash liquid minimal 15 miliar, ketahui dan sadari nilai cukup akan membantu kita untuk terlepas dari mental miskin yang selalu merasa kurang bahkan saat sudah diberi banyak.
Jadi, memang benar mental miskin adalah tantangan yang kompleks yang dapat menghambat individu untuk mencapai potensi penuh mereka, baik untuk kalangan bawah, menengah, dan atas. Potensi penuh bukan hanya bicara tentang uang, namun bagaimana menjadi bermanfaat untuk banyak orang dengan cara yang benar, bukan hanya sekedar baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H