Saya cenderung fokus dengan hal-hal buruk yang terjadi, hal ini berakibat ‘saya adalah korban’ semakin kuat saya rasakan sehingga saya menyalahkan pihak lain atas kondisi yang saya alami. Itu adalah bagian dari mental miskin.
Dari sebuah buku, saya belajar pentingnya mengubah pertanyaan dan bukan fokus pada masalah namun mencari solusi.Â
Apa yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan tambahan income?
Bagaimana caranya supaya omset jualan bulan ini meningkat?
Apa yang bisa saya lakukan supaya saya tidak boros dan lebih hemat?
Mengubah pertanyaan tidak hanya mengubah sudut pandang dalam melihat kondisi saat ini, namun juga mengubah ‘suara kecil’ yang berbicara dalam pikiran dan hati saya bahwa kondisi ini sulit dan saya tidak bisa melakukan apa-apa menjadi selalu ada jalan.
Baca juga: Think and Grow Rich, Review Buku Dahsyatnya Kekuatan Pikiran
3. Kalangan Atas
Sulit bagi saya untuk mendeskripsikan mental miskin bagi kalangan atas karena saya belum menjadi kalangan satu ini, namun yang bisa kita lihat adalah ‘tidak mengenal kata cukup’.Â
Rasa kurang dan tidak cukup mampu membuat seseorang melakukan segala cara untuk semakin menambah kekayaan, even sudah memiliki lebih banyak dari lainnya, ya tamak. Namun tidak sampai disini, kita tentu sering melihat bagaimana mereka ‘merasa dikorbankan’ akibat ketamakan terhadap uang.
Harapan saya, jika hari ini atau esok, kita menjadi bagian dari kalangan atas dengan nilai aset cash liquid minimal 15 miliar, ketahui dan sadari nilai cukup akan membantu kita untuk terlepas dari mental miskin yang selalu merasa kurang bahkan saat sudah diberi banyak.
Jadi, memang benar mental miskin adalah tantangan yang kompleks yang dapat menghambat individu untuk mencapai potensi penuh mereka, baik untuk kalangan bawah, menengah, dan atas. Potensi penuh bukan hanya bicara tentang uang, namun bagaimana menjadi bermanfaat untuk banyak orang dengan cara yang benar, bukan hanya sekedar baik.