Mentalitas miskin ini mempengaruhi cara berpikir dimana mereka terjebak dalam situasi sulit dan terbatas sehingga mustahil keluar dari kemiskinan. Mereka berpikir bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan hidup sehingga orang lain wajib membantu mereka.
Pikiran ini tentu membatasi kepercayaan dan gerak untuk berusaha memperbaiki hidup, namun saat dibantu, alih-alih berusaha lebih keras, yang terjadi malah menggantungkan diri dengan pemberi bantuan. Tidak cukup sampai disana, mereka merasa bahwa orang lain perlu bertanggungjawab atas kehidupan mereka.
Inilah salah satu mental miskin bahwa ‘saya adalah korban’, sehingga membuat orang lain enggan untuk membantu. Namun, tidak semua kalangan bawah memiliki mentalitas ini karena saya temui banyak orang yang mau berjuang lebih keras untuk keluar dari kemiskinan dan mau mengambil tanggungjawab untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.
Tentu, dalam hal ini mustahil untuk menuntut dari kalangan bawah langsung menjadi kalangan atas, namun naik level satu atau dua tingkat, dari tinggal di gubuk pinggir sungai menjadi tinggal di rusun (rumah susun) juga suatu bentuk perbaikan. Atau menyekolahkan anak SMA dari orangtua yang tidak bersekolah, juga termasuk bentuk perbaikan.
Penting disini untuk menyadari bahwa dunia memang tidak adil sehingga kita tidak memandang diri sebagai korban karena selalu ada peluang untuk memperbaiki keadaan bagi mereka yang mau mengusahakan.
Baca juga: Ending Film The Platform 2: Kejamnya Kapitalisme untuk Lantai Menengah dan Bawah
2. Kalangan MenengahÂ
Mentalitas sebagai korban dari kalangan menengah seakan bias karena pada nyatanya, sebagai kelas menengah, saya merasa sebagai korban dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada kalangan menengah. Tak dipungkiri, kalangan ini menjadi kalangan terbanyak di Indonesia yang berkontribusi besar pada pendapatan negara.
Namun, sekalipun banyak media dan berita mainstream yang menyebutkan bahwa kelas menengah semakin terhimpit, tentu kita tetap harus berusaha untuk keluar dari kondisi yang menghimpit ini, salah satunya adalah dengan mengubah pertanyaan.
Sebagai kalangan menengah, sering kali saat kondisi sulit terjadi, saya cenderung fokus terhadap kesulitan yang jelas terlihat dari pertanyaan-pertanyaan di pikiran saya, seperti:
Kenapa gaji saya tidak cukup?
Kenapa hidup rasanya semakin sulit?
Kenapa saya susah untuk mengatur uang?