Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"13 Bom di Jakarta" dan Jus Lele Dumbo

2 Juli 2024   11:38 Diperbarui: 2 Juli 2024   11:47 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu kisah tindak kejahatan di karya sinema dapat disebut efektif jika bisa "mengancam" penonton. Artinya, tindak kejahatan tersebut terasa benar-benar nyata karena bisa saja sungguh-sungguh terjadi. Maka ketika perencanaan dan eksekusi kejahatan yang hadir dalam cerita begitu absurd, yang tersaji di layar lebar pun tak lebih dari sekadar dongeng pengantar tidur.

Film 13 Bom di Jakarta besutan sutradara Angga Dwimas Sasongko (yang juga sekaligus bertindak sebagai penulis skenario) sayangnya termasuk dalam kategori ini. Premis yang tersaji sebenarnya cukup menjanjikan. Ada bom satu saja sudah cukup mengkhawatirkan. Apalagi ini tiga belas. Sayang ini kemudian dipungkasi dengan sesuatu yang tak berasal dari dunia nyata tempat kita semua tinggal ini.

Teror bom di film ini dilakukan oleh kawanan teroris bersenjata berat yang dipimpin seorang tokoh berjuluk Arok, diperankan oleh Rio Dewanto. Setelah menyerang satu mobil pengantar uang, Arok melaksanakan satu adegan wajib film terorisme, yaitu membajak internet dan gelombang siaran TV nasional untuk pidato.

Gerakan mereka menjadi tanggung jawab Badan Kontra Terorisme Indonesia (atau Indonesia Counter Terrorism Agency; disingkat ICTA) yang dipimpin Jenderal (Purn.) Damaskus Iryawan (Rukman Rosadi). Ia dibantu field agent Emil (Ganindra Bimo) dan kepala intelijen bernama Karin Anjani (Putri Ayudya) yang, tentu saja, keduanya harus saling bermusuhan demi tensi dan nilai-nilai dramatik sinemanya.

Jalan yang Berbeda

Penyidikan ICTA menempuh jalan yang berbeda ketika Arok dalam salah satu pidatonya menyebut-nyebut perusahaan keuangan digital Indodax saat mengajukan tuntutan tebusan tak berupa uang sejumlah Rp500 milar atau Rp1 triliun, melainkan 100 bitcoin. ICTA kemudian mengamankan dua pendiri Indodax, Oscar Darmawan (Chicco Kurniawan) dan William Sutanto (Ardhito Pramono), karena dicurigai terlibat dalam tindak terorisme tersebut.

Dari sini cerita mengalir cepat dan penuh dengan adegan kontak senjata, kejar-kejaran, serta kegiatan memelototi layar-layar monitor. 13 Bom yang menelan bujet hingga Rp75 M ini pertama kali dirilis 28 Desember 2023 lalu, dan kini bisa disaksikan lewat Netflix. Sebagaimana film sukses Angga sebelumnya, Mencuri Raden Saleh (2022), 13 Bom tergolong film yang oke dalam banyak aspek sinemateknya kecuali satu: penulisannya.

Aneka macam adegan-adegan laga hadir cukup dinamis dan watchable untuk ukuran film Indonesia. Demikian pula bobot gambar-gambar yang tersaji melalui pengadeganan, koreografi, dan efek-efek spesialnya---kecuali adegan-adegan ledakan bom. Masalah terbesar yang bisa dirasakan penonton cermat muncul hanya dari sisi skenarionya itu saja, terutama pada urut-urutan perencanaan tindak terorisme Arok.

Mengajak dua "nerd" pegiat bitcoin karena dinilai sebagai tokoh-tokoh yang pas untuk mengeksekusi ambisi Arok guna melumpuhkan keseluruhan sistem ekonomi yang "korup"? Dan ambisinya itu tak lain tak bukan adalah untuk melenyapkan semua uang lalu menggantinya pakai bitcoin?

Seriously!?

Adakah penjahat atau teroris sungguhan di alam kasunyatan ini yang serius ingin menghilangkan semua uang? Ini sama absurd dengan teroris di film lain yang menyuntikkan obat ke karung-karung beras agar ibu-ibu hamil yang memakannya kemudian melahirkan anak-anak amoral!

Padahal film ini sesungguhnya terinspirasi dari kisah nyata, yaitu kasus bom di Mall @ Alam Sutra yang meledak pada 9 Juli dan 28 Oktober 2015. Leopard, sang terpidana teroris, meletakkan empat bom, yang untung dua di antaranya gagal meledak. Sebagaimana Arok, Leopard juga meminta tebusan 100 bitcoin, yang kala itu senilai Rp300 juta.

Densus 88 berhasil menemukan Leopard setelah mereka mendapatkan bantuan dari seorang ahli IT bernama Oscar Darmawan sang pendiri Indodax. Oscar berhasil melacak lokasi keberadaan Leopard saat mencairkan bitcoin yang sudah diterimanya. Ya, tokoh ini---dan juga William Sutanto---memang adalah orang-orang nyata, bukan semata karakter fiktif.

Mungkin demi mengejar efek-efek kedahsyatan dan dramatisasi-dramatisasi, Angga dan para produser justru memodifikiasi cerita yang sangat bagus itu menjadi film aksi thriller. Alur ceritanya pun lantas berkaitan dengan hal absurd itu: upaya menghilangkan semua uang.

Setia kepada material aslinya barangkali akan membuat film ini jauh lebih kuat, terutama jika penulisnya bisa dengan jitu mengeksplorasi tokoh Oscar, yang baru berusia 30 tahun saat peristiwa itu terjadi---lengkap dengan detail soal apa itu bitcoin. Plus, dengan menghadirkan lembaga kepolisian antiteror sesungguhnya, yaitu Densus 88, dan bukan malah lembaga fiktif ICTA.

Baru Saja Nonton "NCIS"

Angga mungkin baru saja nonton serial populer NCIS dan terkesan berat pada serial satu itu saat pitching ide cerita 13 Bom ke para calon pemodal film. Ini terlihat dari cetakan singkatan di rompi antipeluru yang digunakan Damaskus, Emil, dan Karin saat menyerbu musuh!

Sebab, jika menggunakan Densus 88, dan beneran mendapatkan restu dari Mabes Polri, Angga sebagai penulis skenario akan mendapatkan satu kemewahan yang diidamkan semua penulis fiksi, yaitu riset. Pada siapa? Tentu saja pada petugas polisi antiteror sungguhan yang direkrut sebagai konsultan cerita. 

Dengan demikian ia akan dapat menampilkan prosedural kerja antiteror di (skenario) film seperti sesungguhnya yang digunakan Polri dan badan-badan kepolisian lainnya di seluruh dunia.

Misalnya, saat mengawal terduga kaki tangan tindak terorisme, para petugas dinas antiteror pastinya akan terus mengawasi dan mengikuti dengan kewaspadaan ultratinggi, dan bukannya para terduga itu dibiarkan masuk gedung sementara para polisi nunggu di pinggir jalan. Lha emangnya cuman ngantar teman mahasiswa ambil jaket yang ketinggalan di kampus trus habis itu mau ngafe secara rojali?

Dan petugas kepolisian seperti Karin yang hendak menginfiltrasi markas teroris tentunya tegas tidak menerima keterlibatan warga sipil seperti Agnes. Apalagi itu terjadi hanya karena Agnes "Tidak mau ditinggal sendirian". Lha ini urusan kepolisian yang penuh taruhan nyawa apa cuman mau masuk rumah sakit angker buat live streaming terobos mitos?

Konsultan. Satu kata inilah yang memang selama ini masih begitu asing bagi para sineas Tanah Air untuk menjaga keutuhan satu bagian penting dari film yang mereka buat, yaitu skenarionya.

Elemen kepenulisan ini juga yang bertanggungjawab terhadap begitu seragamnya karakter-karakter di 13 Bom. Mereka semua begitu emosian dan overdramatik, termasuk para polisi yang harusnya tetap cool dalam situasi-situasi krisis. 

Damaskus dan para anak buahnya harus dikursuskan ke Frank Martin atau Robert McCall untuk belajar skill menjaga emosi demi fokus dan efisiensi tindakan. Mereka itu kan menjaga keamanan nasional, bukan menjaga kesetiaan hati dalam hubungan asmara.

Hayooo... siapa itu Frank Martin dan Robert McCall...?

Sebagai tontonan hiburan pengisi waktu luang, 13 Bom di Jakarta sesungguhnya tak terlalu mengecewakan. Sayang ia seperti juru masak yang punya lele dumbo tapi bukannya diolah menjadi pecel lele atau mangut lele sebagaimana seharusnya, melainkan malah dibikin jus. Jus lele dumbo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun