Dan tentu, aku tak melepaskan pandang dari seluruh bagian belakang tubuhnya saat menemaninya memasuki telundakan berjalan.
Desy yang mungil, Desy yang kurus, Desy yang berwajah semanis gula Jawa. Aku mengenalnya dua bulan lalu di acara jumpa pengarang bersama Dee di Resto Spiegel, Jalan Pahlawan. Dia peserta, dan aku datang untuk meliput, mewakili media daring tempatku bekerja, Gi-Magazine. Lalu, sambil menunggu giliran antrean—dia mengantre fobar dan book signing, aku ngantre wawancara—kami ngobrol sana-sini.
Dan dalam hitungan menit, fokus kepentinganku berganti, dari Dee ke dia. Tadinya ngobrol dengannya untuk selingan sebelum giliran tiba. Lalu Dee mendadak jadi beban pekerjaan yang menganggu keasikan kami bicara north-to-south (ngalor-ngidul).
Suasana yang kondusif sudah pasti mengarah ke pertemanan lebih dalam. Dan itu berlangsung lancar. Kemudian pada satu titik, aku yakin aku tertarik padanya. Bukan oleh segala apa yang ada padanya, melainkan oleh kecocokan kami dalam berinteraksi. Get along very well, begitu ungkapannya dari bahasa Inggris.
Dan itu berlangsung dalam banyak hal yang sangat tak sama di antara kami. Desy kerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan financial planner, aku orang media. Dia tak mudeng bola, aku sudah masuk kategori analis. Dia selalu tidur pukul 22, aku begadanger. Dia tertib, aku chaos.
Satu hal yang sama hanyalah dalam hobi baca. Lalu dia ingin menulis, tapi tak pede. Tentu aku dengan gagah menawarkan bimbingan—sekadar alasan agar bisa terus memperpanjang obrolan. Dan kegelisahan yang makin mendalam mendesak untuk diungkap—dalam momen berduaan di luar seperti sekarang ini. Untung dia tak pernah keberatan jika diajak jalan berdua. Ke toko buku Gramedia, perpustakaan kota, ketemuan makan, sebelum berpuncak pada jawaban “Ayo, kapan?” saat aku dengan deg-degan BBM dia dengan kalimat “Captain America main tuh. Mau nonton nggak?”.
Aku rasa, bahwa dia mau diajak nonton berdua saja sudah menunjukkan angin baik. Jadi tak grogi untuk membicarakannya nanti, pas di warung sate. Tempatnya tak romantis sih untuk penembakan, tapi biar sajalah. Yang penting satenya enak.
Dengan cepat kami tiba di parkiran basement mal. Motor kami terparkir tepat berdampingan. Tadi memang berangkat dari kantor masing-masing, langsung rendezvous di Coffee Drips dekat teater. Hanya saja, ada masalah. Desy gagal menstater motornya. Dan setelah membuka tangki bensin lalu menyorotkan lampu senter dari ponsel ke dalam tangki, ketahuan bahwa...
“Pantesan. Bensin abis,” gumamnya, berkacak pinggang, sambil masih lengkap memakai jaket, helm, dan masker.
“Indikator bensinnya mati?” sahutku.
“Iya. Sejak kemarin lusa. Masih susah mengira-ira bahan bakar berdasarkan intuisi.”