Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rendang Terakhir

29 April 2016   21:22 Diperbarui: 29 April 2016   21:42 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: noshon)

“Bagaimana rendangnya tadi?”

Sara tak langsung bisa menjawab. Sebagian karena lidahnya masih merasakan... yah, orgasme—sebut saja begitu. Sebagian lagi karena ia ikut sibuk menyingkirkan buku-buku dan majalah di meja agar Toni bisa menaruh dua gelas jus jeruk dingin dan dua piring puding cokelat yang amat menggiurkan. Pencuci mulut dari acara makan malam romantis barusan.

“Kalau bukan karena aku tadi melihat sendiri kamu memasaknya, pasti sudah kukira itu masakan langsung dari Nirwana. Diturunkan ke Bumi untuk menyiksaku... karena ingin lebih.”

Toni tertawa. Pria itu duduk, tepat di samping Sara.

“Terima kasih atas pujiannya.”

Dan seperti biasa, Sara langsung mendekat. Miring. Menjatuhkan sekujur tubuhnya ke tubuh Toni yang bidang. Memeluk seperti khawatir bisa saja ada iblis betina yang dalam sekejap mata membawa pria itu terbang entah ke mana—lepas darinya.

“Ayo, dinikmati pudingnya!” kata Toni kemudian, karena melihat Sara tetap bergeming dengan pelukannya. “Itu satu lagi yang aku mau kamu cicipi.”

Namun Sara tetap bergeming. Ia belum mau ke mana-mana, atau bahkan untuk bergeser seinci menjauh. Setidaknya untuk 60 atau 120 detik ke depan.

Ia malah sibuk mengamati keberadaannya saat ini. Detik ini.

Ya, harus dinikmati. Kesibukan mereka tak memberi celah leluasa bagi momen semacam ini. Berdua melewatkan waktu lapang sesudah makan malam di apartemen penthouse milik Toni di Menara Peninsula, kompleks superblok eksklusif Tower City di bilangan Pondok Pinang, adalah suatu kemewahan tersendiri. Layar TV raksasa tepat di seberang sofa tengah menayangkan Spotlight di HBO, tapi ia tak peduli. Yang terpenting adalah kebersamaannya bersama Toni saat ini.

Dan ia tengah tak punya rencana atau jadwal apa pun hingga besok sore. Jadi bebas baginya untuk bermalam di sini, lalu—jika nanti semua memungkinkan, atau Toni memintanya—ia bersedia melepaskan semuanya bagi laki-laki itu. Dan yang ia maksud benar-benar semua. Apa saja.

Sebab pria seperti Antonio Napolitano tak datang tiap hari, atau bahkan dalam tiap masa hidup. Dia tampan dengan wajah bule Italia-nya yang mengguncang. Dan bila tengah melepas baju, seluruh lekuk tonjolan otot-ototnya di lengan, dada, perut, dan perut bagian bawah, membuat Sara rela dijuluki pervert.

Toni peranakan Florence dan Bandung. Kedua orang tuanya bercerai saat ia masih SMP, dan tak ikut Marco Napolitano pulang ke Italia, melainkan malah menetap di Kota Kembang hingga SMA sebelum kuliah dan bekerja di sini, di Jakarta. Dan ia pun menjadi anomali yang aneh: berlogat Sunda kental namun bule.

Mereka berkenalan tiga minggu lalu dalam sebuah gala dinner penggalangan dana untuk penderita autisme yang digelar Erick Tohir. Lalu pesona fisik yang sama-sama berada di tingkatan teratas membuat keduanya lekas tenggelam satu sama lain. Toni begitu memuja Sara, itu pasti. Sara yang berkulit bersih, berwajah campuran Eropa-Oriental, dan berdada penuh, adalah impian terbanal semua pria. Dan terlebih, dengan usia belum menginjak 27 tahun, Sara Palupi Affandi telah malang melintang di Eropa dan Amerika memberikan berbagai ceramah mengenai motivasi dan kecerdasan emosional, juga menulis buku-buku yang semuanya best-seller.

Dan di sisi itulah Toni masih menjadi misteri bagi Sara. Apa pekerjaan Toni? Ia memberikan donasi Rp 2 miliar di acara gala dinner itu, dan mengendarai Bentley atau Rolls Royce Phantom. Lalu tempo hari bertelepon dengan Jack Ma untuk janji akan bertemu di Bali bulan depan.

Tiap kali ditanya, pria itu hanya tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Dan Sara sudah kehabisan imajinasi untuk mencoba menebak apa kira-kira profesi prianya itu. Pialang saham? Investor? Pengusaha perminyakan? Bos laman e-commerce sukses? Produser film Hollywood?

“Aku seorang supplier.”

Sara melengak. Ia melepaskan pelukannya. Duduk tegak sedikit menjauh agar bisa menatap Toni.

Are you reading my mind now...?”

Toni tertawa. “Ah, kau sedang memikirkan itu rupanya. Fortunately, malam ini sudah kuputuskan untuk cerita semuanya, agar kau tidak penasaran lagi.”

“Baguslah kalau begitu,” Sara menarik napas lega. “Supplier ya? Barang apa yang kamu suplai? Tentunya ceritamu juga akan sampai ke sana kan?”

“Yang baru saja kita makan tadi.”

Rendang?”

“Bukan. Dagingnya.”

Sara manggut-manggut. “Kau punya perusahaan importir daging? Distributor? Pabrik pengolahan daging?”

Toni tak langsung menjawab. Ia menjangkau dua piring puding. Satunya ia berikan pada Sara.

“Jadi ada sebuah klub eksklusif dan rahasia bernama The Supper Club. Mereka ada di seluruh negeri ini, di setiap kota. Dalam beberapa waktu tertentu, mereka selalu berkumpul untuk mengadakan perjamuan. Dan untuk mereka, hanya aku yang bisa menyediakan dagingnya. Hanya aku. Maka tak aneh aku cukup berduit, kalau tak mau dikatakan sebagai multimiliuner. Untuk setiap pesanan, mereka membayarku antara 100 juta hingga 2 em. Sementara dalam seminggu, aku bisa menerima hingga tiga atau empat order. Bisnis ini bagus buatku karena belum ada kompetitor.”

Sambil menyantap puding, alis Sara berkernyit. “Memang daging apa harga orderannya semahal itu? Sapi New Zealand? Burung kasuari? Cenderawasih?”

Toni menghabiskan pudingnya. Ia letakkan piring kosong ke meja, lalu mengambil tisu untuk menyeka bibirnya.

“Bukan daging apa, tapi siapa.”

Sara terpaku. “Hah!?”

Toni menatap lurus gadisnya itu. “Dan ini sekaligus ujian cintamu padaku—apakah kau masih tetap ingin bersamaku sesudah tahu apa sebenarnya pekerjaanku. Sejauh yang bisa kuingat, ini adalah untuk keduapuluh atau duapuluh satu kali. Tak pernah ada yang berhasil. Untukmu, aku sungguh ingin kamu bertahan,” Toni menggenggam tangan Sara. “Aku sangat tergila-gila padamu. Aku tak mau kamu hilang.”

Sara meneguk ludah. “M-maksudmu apa?”

“Mereka perlu daging untuk dimasak, dan aku mencarikannya untuk mereka. Di mana? Di jalanan. Banyak yang terbuang di dunia ini. Yang hidup sendiri dan tak akan ada yang mencari seandainya hilang. Yang orang normal sungguh berharap, dunia akan sedikit lebih baik andai mereka tak ada. Gelandangan, anak jalanan, pengedar narkoba, penjahat jalanan, predator pedofil. Tugasku mengambil dan mempersiapkannya sehingga bisa kukirim dalam paket praktis siap masak.”

Sara terbatuk hebat. “Demi Tuhan! Maksudmu, itu daging orang!?”

Toni menunduk dengan ekspresi dingin. Datar. Ia mengangguk.

“Dan untuk harga empat kali lipat, aku juga menerima pesanan untuk target tertentu—orang-orang yang ingin nama-nama tertentu dieliminasi. Dihilangkan, dari muka Bumi, permanently. Mungkin pesaing untuk jabatan di kantor, menantu atau mertua yang mengerikan, orang yang memikat kita dengan pelet, sahabat yang membawa lari harta, istri, suami. Dan juga Dylan.”

Sara menatap Toni dengan tangan bergetar. “Ap-apa?”

“Dylan Firmansyah. Mantan yang sakit, yang selalu menerormu selama ini dengan telepon tengah malam, mengirim paket berisi sbangkai ayam, dan meneror pula siapapun pria yang tengah dekat denganmu. Aku juga pernah dia teror, lewat inbox FB. Tentunya kau mau manusia semacam itu dihilangkan saja, bukan?”

Wajah cantik Sara yang berkulit bersih memucat. “Memang Dylan kenapa?”

Well, kita baru saja menyantapnya sebentar tadi... yang kaubilang sebagai masakan dari Nirwana.”

Dua tangan Sara mendekap mulut. Perutnya mual.

“Dan pertanyaannya...” Toni mengambil entah dari mana sesuatu yang berbentuk seperti pisau bedah, “...Akankah kau masih bersamaku setelah ini? Jika tidak, tentu aku tak bisa membiarkan kau masih memberi ceramah motivasi sesudah ini. Aku sayang padamu, percaya padamu, tapi aku tak bisa ambil risiko ada yang dengar pekerjaanku dari kamu...”

Ujung pisau tahu-tahu menempel di leher Sara.

***

Setiap pulang dari arisan mama-mama sosialita, Bu Prayogo selalu membawa barang segudang. Pak Prayogo hanya menoleh santai dari tempatnya menonton TV di ruang tengah saat istrinya itu masuk rumah dan memanggil Mbok Man dengan suara keras.

“Pi, udah coba telepon dia?” tanya Bu Prayogo setelah barang-barangnya diangkut ke belakang. “Kok hapenya nggak aktif sejak semalam?”

“Alaa... paling dia lagi ngasih kuliah motivasi. Katanya ada jadwal berendeng dua hari ini. Dan biasanya kan hapenya emang sering dimatiin biar nggak ganggu konsentrasi. Udah, rileks aja! Toh besok Sabtu dia bakal mudik.”

Bu Prayogo mendesah mangkel dan melempar ponselnya ke sofa. Ia duduk, lalu ikut memerhatikan tayangan TV yang tengah menghadirkan berita kriminal soal mutilasi.

“Wah, apaan tuh? Mutilasi lagi?”

“Iya. Ada mayat cewek terpotong-potong di sesemakan nggak jauh dari kompleks Tower City di Pondok Pinang, Jakarta. Tangan, kaki, badan, terpisah. Kepala belum ditemukan. Dan yang aneh, kedua tangan korban memegang sendok sama garpu. Polisi lagi berusaha melakukan identifikasi untuk nyari identitasnya.”

Bu Prayogo bergidik. Lalu bangkit dan berlalu.

“Iiih... penjahat sekarang makin sadis. Mau jadi apa dunia ini? Eh, jadi ke sate klatak nggak nih, Pi?”

“Jadi dong. Langsung berangkat sekarang?”

“Mami cuci muka dulu.”

“Okey, Mi.”

Pak Prayogo memencet tombol remote control untuk mematikan TV. Ia bangkit, dan tahu-tahu lupa di mana terakhir kali ia menaruh kunci mobil.

-- Lebih lengkap mengenai The Supper Club ada di buku ini.

the-supper-club-1-57236dad9a93732a0a61335e.jpg
the-supper-club-1-57236dad9a93732a0a61335e.jpg
(Foto: Gramedia Pustaka Utama)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun