Ujung pisau tahu-tahu menempel di leher Sara.
***
Setiap pulang dari arisan mama-mama sosialita, Bu Prayogo selalu membawa barang segudang. Pak Prayogo hanya menoleh santai dari tempatnya menonton TV di ruang tengah saat istrinya itu masuk rumah dan memanggil Mbok Man dengan suara keras.
“Pi, udah coba telepon dia?” tanya Bu Prayogo setelah barang-barangnya diangkut ke belakang. “Kok hapenya nggak aktif sejak semalam?”
“Alaa... paling dia lagi ngasih kuliah motivasi. Katanya ada jadwal berendeng dua hari ini. Dan biasanya kan hapenya emang sering dimatiin biar nggak ganggu konsentrasi. Udah, rileks aja! Toh besok Sabtu dia bakal mudik.”
Bu Prayogo mendesah mangkel dan melempar ponselnya ke sofa. Ia duduk, lalu ikut memerhatikan tayangan TV yang tengah menghadirkan berita kriminal soal mutilasi.
“Wah, apaan tuh? Mutilasi lagi?”
“Iya. Ada mayat cewek terpotong-potong di sesemakan nggak jauh dari kompleks Tower City di Pondok Pinang, Jakarta. Tangan, kaki, badan, terpisah. Kepala belum ditemukan. Dan yang aneh, kedua tangan korban memegang sendok sama garpu. Polisi lagi berusaha melakukan identifikasi untuk nyari identitasnya.”
Bu Prayogo bergidik. Lalu bangkit dan berlalu.
“Iiih... penjahat sekarang makin sadis. Mau jadi apa dunia ini? Eh, jadi ke sate klatak nggak nih, Pi?”
“Jadi dong. Langsung berangkat sekarang?”